Megan tiba-tiba terbangun. Bukan karena suara, bukan pula karena mimpi. Tapi karena firasat, sesuatu yang dingin dan berat mencengkeram dadanya. Jantungnya berdegup cepat, seolah berusaha memberi tahu sesuatu yang belum bisa dicerna oleh pikirannya. Matanya menyapu gelap kamar, lalu menoleh ke sisi ranjang yang kosong, dimana seseorang itu biasanya berada.
Kemana laki-laki, yang merupakan suaminya itu perginya??
Bola mata Megan kini nampak menyapu sebuah jam, yang menempel pada dinding kamar ini. Sudah lewat dari tengah malam begini. Ia juga menatap kosong ke arah pintu, yang masih tertutup rapat. Ada getaran aneh di benaknya, rasa tidak tenang yang mengalir dari ujung jari hingga ke dasar hatinya. Seolah sesuatu yang buruk sedang terjadi... atau akan terjadi. Nafasnya tertahan, sementara tangannya refleks meraih ponsel di atas meja kecil. Layar menyala. Tidak ada pesan. Tidak ada panggilan masuk.
Ia duduk di tepi ranjang, dengan sebuah firasat buruk yang tak mau pergi dan justru malah makin kuat. Bukan sekadar kekhawatiran sesaat. Ia coba hubungi nomor laki-laki itu. Tetapi, nomornya malah tidak aktif. Sebenarnya, kemana dia pergi??
Apa mungkin, pekerjaan yang seringkali ia lakukan serta ucapkan itu di malam hari, yang saat ini sedang ia lalui??
Megan bangun dari sisi tempat tidurnya ini sambil membetulkan outer, yang sempat tak beraturan dan ia ikatkan kembali tali outer di bagian depan tubuhnya lagi. Kemudian, ia kelilingi setiap sudut dari apartemen yang ia tinggali ini. Ia cari ke sana kemari, tapi tetap saja tidak menemukan keberadaan pria, yang merupakan suaminya itu dimanapun juga.
Suara pintu apartemen yang dibuka, membuat Megan yang berada di dalam apartemennya itu berlari sampai ke depan pintu. Ia tunggu-tunggu, apa pria itu yang datang dan saat pintu terbuka, orang yang datang malah terperanjat dan segera menaruh tangan kirinya ke belakang.
"Kamu habis darimana??" tanya Megan, kepada pria yang kelihatan pucat dan juga berkeringat.
"A-aku... Aku habis ada urusan sebentar di luar," ucap Maxime, yang melakukan sedikit ringisan.
"Kamu kenapa bangun?? Ayo sana, tidur lagi. Ini masih malam," perintah Maxime yang berjalan seperti kepiting, hingga Megan harus memunculkan banyak sekali kerutan di dahinya itu.
"Aku akan ganti baju dulu," ucap Maxime, yang segera masuk ke dalam kamar mandi dan bergegas membuka pakaiannya, hingga bagian atasnya polos, tetapi ada cairan merah yang malah keluar dari pangkal lengan kirinya ini.
Tadi, ia sempat tertembak. Tapi tidak ada yang tahu, karena tidak mau membuat teman-temannya terbebani, ia hanya berdalih, bila darah ini adalah milik temannya yang tertembak, tanpa mereka tahu, bila ia juga telah mendapatkan tembakan di lengannya.
Sakit.
Maxime segera mengeluarkan kotak obat-obatan dan berusaha untuk menanganinya sendiri. Tetapi, pintu kamar mandinya malah terbuka secara mendadak dan wanita yang berada di ambang pintu itu, melihatnya dalam kondisi yang menyedihkan begini.
"Pergilah! Jangan mendekat ke sini!!" seru Maxime, kepada wanita yang tengah membekap mulutnya sendiri itu.
Bekapan tangan dilepaskan. Megan, malah maju dan mengambil pisau yang ada di tangan Maxime.
"Apa ada peluru di dalam sini??" tanya Megan sambil melirik tangan kiri Maxime yang terlihat mengeluarkan darah.
"Iya," jawab Maxime, yang sudah pucat pasi dan lemas sekali kelihatannya.
Megan merobek outer pakaian tidurnya yang tengah ia kenakan sekarang. Kemudian, ia ikat pangkal lengan Maxime, untuk menghentikan pendarahannya. Kalau tidak berhenti, dia bisa mati kehabisan darah nanti.
Botol alcohol Megan buka dan ia lumuri pisau itu dengan alcohol tersebut.
"Sudah kamu kasih anestesi belum??" tanya Megan.
"Iya. Sudah," jawab Maxime sambil meringis dan semakin berkeringat banyak.
"Tahan ya? Mungkin akan sangat sakit," ucap Megan yang mulai berusaha untuk mengeluarkan peluru yang bersarang di lengan Maxime ini.
Maxime melipat bibirnya. Sakit. Tapi lama kelamaan, rasa sakit itu malah tidak lagi terasa. Apa lagi, saat Megan kedapatan menjahit lukanya ini. Kemudian menutupnya dengan perban.
Sisa bercak darah dan juga peluh diusap menggunakan handuk kecil berwarna putih, yang berubah warnanya, karena sisa-sisa darah dari lengan Maxime yang terluka tadi.
Setelah tubuh Maxime dibersihkan oleh Megan. Megan tinggalkan dulu, segala macam bekas obat-obatan di dekat wastafel. Ia bawa Maxime ke dalam kamar dengan merangkul tangan kanannya. Ia bawa berjalan, pria yang sudah mulai berjalan dengan sempoyongan ini dan setelah tiba di dekat ranjang, Megan dudukkan perlahan tubuh Maxime ini dan setelah itu, ia tarik bantal dan ditumpuk menjadi satu tumpukan yang lumayan tinggi dan membantu Maxime untuk merebahkan tubuhnya perlahan-lahan di atas tumpukan bantal itu.
Kini, kaki Maxime pun Megan angkat satu persatu dan taruh di atas ranjang. Kemudian, ia tarik selimut untuk menutupi tubuh pria yang malah menggenggam tangannya ini.
"Jangan kemana-mana. Temani aku di sini," pinta Maxime sambil mencengkram erat tangan Megan.
"Iya. Aku di sini kok. Nggak akan pergi kemana-mana. Sudah, kamu tidurlah. Istirahat. Supaya cepat sembuh," ucap Megan sembari menarik tangannya dari cengkraman tangan Maxime.
"Kamu mau kemana??" tanya Maxime, ketika melihat Megan, yang malah mau pergi darinya itu.
"Aku mau bereskan yang tadi dulu. Nanti aku buatkan teh juga. Baru aku kesini lagi," ucap Megan.
"Ya sudah," ucap Maxime, yang akhirnya mau melepaskan Megan juga.
Megan pergi melakukan apa yang ia katakan tadi. Dimulai dari kamar mandi yang sangat berantakan, penuh noda darah, yang berceceran di lantai maupun di dalam wastafelnya juga.
Pertama-tama, Megan rapikan obat-obatannya terlebih dahulu, ke dalam sebuah kotak penyimpanan obat. Ia susun dengan rapi semua obat-obatan itu lagi. Lalu selanjutnya, ia bersihkan lantai, yang ia lap dan peras airnya di wastafel. Setelah beres. Giliran wastafel yang ia bersihkan. Ia lap sampai kembali pada warna aslinya lagi.
Selesai sudah. Hanya tinggal membuatkan teh hangat, bagi orang yang sedang terbaring di atas ranjang. Megan pergi ke dapur dan lalu mengambil cangkir dan juga tehnya. Ia masukkan ke dalam cangkir air panas maupun gula low sugarnya juga dan setelah itu, ia bawa secangkir teh yang sudah jadi itu ke kamar. Megan letakkan di atas nakas sambil melakukan helaan napas.
Melelahkan juga. Megan lihat Maxime yang sudah terlelap di atas ranjang ini dan ia perbaiki letak selimutnya saja, tanpa membangunkannya.
Tetapi, pria ini lantas membuka matanya sedikit dan dengan menyipit. Ia lihat Megan sambil meraih tangannya lagi lalu menggenggamnya.
"Sudah?" tanya Maxime sembari menelan salivanya sendiri.
"Iya. Sudah," jawab Megan.
"Ayo naik. Temani aku di sini," pinta Maxime.
"Minum dulu tehnya. Sudah aku buatkan untuk kamu," ucap Megan.
Maxime membuka mata dengan lebih lebar lagi. Ia hendak bangun dan cepat-cepat dibantu oleh Megan, yang merangkul bahunya.
Setelah Maxime bisa duduk bersandar. Sekarang, giliran Megan memberikan teh hangat itu kepadanya, yang langsung diseruput oleh Maxime.
Tiga kali seruput saja, Maxime sudah enggan minum lagi. Ia pejamkan matanya itu dan Megan pun meletakkan cangkir tehnya ke atas nakas lagi, kemudian naik ke atas tempat tidur, saat Maxime memanggil dirinya.
"Ayo kemari lah," pinta Maxime.
Megan pun naik dan duduk di sisi Maxime. Ia duduk di samping Maxime, sambil menatap pria, yang sempat terpejam sebelumnya dan sekarang malah menatap kepada Megan.
"Kenapa kamu bisa melakukan itu??" tanya Maxime.
"Melakukan apa??" tanya Megan.
"Mengeluarkan peluru, dari tanganku seperti tadi," ujar Maxime.
"Aku ini seorang Perawat. Aku jelas bisa, kalau cuma jahit menjahit luka. Pasang jarum infus dan juga ambil darah, ya bisa semua," jelas Megan.
Guratan senyum tampil di bibir Maxime. Seperti mendapatkan harta Karun yang berharga. Kalau terluka, ada istri yang merawatnya secara langsung.
"Tapi aku cuma bisa dibagian yang nggak terlalu fatal lho ya?? Kalau fatal, tetap kamu harus pergi ke rumah sakit dan di rawat di sana!" omel Megan yang seperti sudah membaca pikiran pria ini.
"Tapi ya mudah-mudahan ini yang terakhir kalinya! Kalau sampai aku lihat kamu begini lagi... Aku biarkan kamu sampai kehabisan darah sekalian!" imbuhnya lagi.
"Benarkah? Apa kamu setega itu, kepada ayah dari anak kamu sendiri??" ucap Maxime dengan begitu nyeleneh.
"Ya aku bisa tega kok! Makanya, nggak usah aneh-aneh lah!! Apa-apaan pakai- pakai senjata begitu segala?? Kamu pikir, kamu itu jagoan apa?? Kalau sampai pelurunya tembus ke jantung gimana?? Emangnya, kamu nggak mau lihat anak kamu ini lahir huh!??" omel Megan lagi tapi senyuman di bibir Maxime malah semakin lebar lagi saja.
"Apa kamu takut kehilanganku?" tanya Maxime sambil menaikkan kedua alisnya bersamaan.