Laras baru berbalik mengikuti Rendra ketika suara berat memanggil pelan di belakangnya. “Laras… tunggu.” Langkah Laras terhenti. Ia tidak berani langsung menoleh. Rendra sempat melirik, tapi memilih tetap berjalan menuju lift sambil menggendong Shaka. Adrian mendekat pelan. Wajahnya masih pucat, matanya merah, entah karena amarah atau penyesalan. “Maaf.” Laras menggenggam jemarinya sendiri. “A-aku harus pergi.” “Sebentar saja,” suara Adrian merendah. “Aku cuma… aku mau minta maaf.” Laras akhirnya menoleh. Tatapannya kosong, lelah. “Maaf untuk apa, Mas?” Adrian menelan ludah. “Untuk semua. Karena ninggalin kamu. Karena nggak ada waktu Shaka lahir. Dan karena jadi pengecut.” Laras mengalihkan pandangan, dadanya terasa sesak. “Mas, jangan begini di sini.” Adrian mendekat satu langkah

