Adrian tidak langsung menjawab. Tatapannya terpancang pada wajah Alma selama beberapa detik, cukup lama untuk membuat putrinya itu mulai gelisah. Ujung bibirnya melengkung tipis, bukan senyum, melainkan sinyal bahwa ia sedang mengukur setiap kata yang barusan ia dengar. “Why that question, Alma?” suaranya rendah, tapi jelas, nyaris seperti interogasi. “Apa yang bikin kamu tiba-tiba datang ke sini dan nanyain hal seperti itu?” Alma mengerutkan kening. “Kalau nggak ada apa-apa, kenapa Papa sembunyi-sembunyi punya tempat seperti ini?” Nada suaranya meninggi, tapi ada getar kecil di ujung kata, campuran marah dan kecewa. Adrian bersandar lebih dalam di sofa, kakinya menyilang santai. “Having a property doesn’t automatically mean I’m married,” ucapnya datar, tenang, seakan sedang membacakan

