Di kediaman Adrian dan Safira, Safira menatap jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam. Sejak suaminya pulang dari kantor sore tadi, ia belum melihat Adrian keluar dari ruang kerjanya. Biasanya, walau sibuk, Adrian selalu menyempatkan diri untuk makan malam bersamanya. Namun malam ini, tidak ada tanda-tanda pintu ruang kerja itu akan terbuka. Dengan napas panjang, Safira akhirnya berdiri dari kursinya dan melangkah menyusuri koridor menuju ruang kerja suaminya. Suara langkahnya nyaris tak terdengar di lantai marmer yang dingin. Di tangannya, ia masih membawa serbet kecil, kebiasaan lamanya setiap kali menunggu seseorang dengan cemas. Begitu sampai di depan pintu kayu berwarna cokelat tua itu, Safira berdiri sejenak. Cahaya dari lorong hanya temaram, membuat bayangan tubuhnya jat

