Bab 1. Membuat Perhitungan
"Bu, aku mohon jangan jual aku!" teriakku, berusaha melepaskan diri dari pegangan dua orang berwajah sangar dan bertato. Ibu tiriku, Tante Meri, mendekatiku dengan senyum menyeringai yang membuatku merasa muak.
"Kirana, hanya kamu yang bisa melunasi hutang kami," kata ibu tiriku tanpa rasa bersalah sedikitpun. Suaranya dingin dan tidak berperasaan, membuatku merasa seperti barang yang bisa dibeli dan dijual oleh ibu tiriku.
"Hutang itu milik anda, kenapa aku harus yang membayarnya?" bentakku, emosi. Aku tidak bisa lagi menyembunyikan rasa benciku terhadap ibu tiriku. "Kenapa bukan Chika?"
Ibu tiriku tertawa keras, suaranya menggema di ruangan. "Hahaha, Kirana. Mana mungkin aku menjual anakku sendiri? Sudah, bawa gadis ini pergi! Aku sudah muak melihat wajahnya!" katanya, menyuruh anak buahnya Tante Meri.
Aku merasa darahku mendidih. Aku tidak mau menyerah. "Aku tidak mau!" teriakku, berontak dengan menggerakkan seluruh tubuhku. Aku berusaha melepaskan diri dari pegangan tangan mereka, tapi mereka terlalu kuat.
Chika, gadis remaja yang dulu aku sayangi, kini berdiri di depanku dengan wajah yang amgkuh. "Mbak, sudahlah, ikut saja sama mereka. Kami tidak mau menampung Mbak Kirana lagi di sini!" katanya dengan nada yang kasar.
Rasanya sangat sakit mendengar kata-katanya. Ini rumahku, tempatku tumbuh dewasa. Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. "Ini rumahku, kalian yang harus pergi dari sini!" jawabku dengan keras, berusaha menahan emosi.
Chika dan ibu tiriku, tersenyum dengan wajah yang angkuh. "Kirana, rumah ini dan segala isinya sekarang milikku. Papa kamu tidak meninggalkan secuilpun harta warisan untuk kamu!" ujar ibu tiriku. Suaranya keras dan meremehkanku, membuatku merasa seperti tidak berharga.
"Tidak, mana mungkin papa melakukan itu," kataku, berusaha menahan air mata. Aku tidak bisa percaya bahwa papaku akan meninggalkan aku tanpa apa-apa. Aku yakin ada sesuatu yang tidak beres di sini.
Merasa pegangan tangan dua orang itu mengendur, aku langsung memanfaatkan kesempatan itu. Dengan cepat, aku menginjak kaki salah satu dari mereka dengan sekuat tenaga. "Aaaw!" jerit salah satu pria sangar itu, merintih kesakitan.
Kemudian, dengan gerakan yang cepat dan tepat, aku menyikut perut pria sangar satunya. Kedua orang itu melepaskan pegangan tangannya, dan aku langsung berlari keluar dari rumah untuk meminta bantuan warga.
"Aku tidak akan membiarkan kalian melakukan ini!" teriakku, sembari membuka pintu pagar dan berlari ke luar. "Tolong!" teriakku dengan kencang, berharap ada seseorang yang bisa mendengar dan membantuku.
Aku mendengar suara teriakan instruksi ibu tiriku, membuatku merasa semakin terdesak. "Kejar dia, jangan sampai ada orang yang melihat ini!" teriaknya, membuatku seperti seorang buronan.
Aku menarik napas lega melihat ada warga berjalan ke arahku. Mereka adalah harapanku terakhir. Dengan cepat aku berlari menghampiri mereka, berharap bisa meminta bantuan sebelum ibu tiriku dan anak buah Tante Meri menangkapku.
"Pak, tolong!" kataku dengan napas ngos-ngosan, berusaha menarik perhatian mereka. Aku merasa jantungku berdegup kencang, dan keringatku mengalir deras. Aku harus mendapatkan bantuan mereka, atau aku akan terjebak dalam bahaya yang lebih besar.
Bapak itu terkejut melihatku berlari menghampirinya. "Loh, Mbak Kirana, ada apa?" tanyanya dengan nada khawatir.
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Pak, tolong. Aku mau dijual oleh ibu tiriku," kataku dengan napas memburu, berusaha menahan air mata.
Bapak itu terlihat kaget. "Apa! Ibu Ratna ingin menjual Mbak Kirana?" tanyanya lagi, seolah tidak percaya apa yang aku katakan.
Aku mengangguk dengan wajah memohon. "Iya, Pak. Tolong panggilkan polisi," ucapku, berharap bapak itu bisa membantuku.
Tiba-tiba, aku mendengar suara ibu tiriku. "Kirana," panggilnya dengan nada yang manis.
Jantungku berdegup kencang. Aku langsung berjalan mendekati bapa itu lalu berdiri di belakang tubuh bapak itu berharap ibu tiriku tidak akan berani melakukan apa-apa. "Pak, tolong," ucapku lagi, berharap bapak itu bisa melindungiku.
Bapak di depanku menatap ibu tiriku dengan wajah serius. "Ibu Ratna, ada apa ini? Apa benar ibu Ratna ingin menjual Mbak Kirana?" tanyanya dengan nada yang tegas.
Wajah ibu tiriku langsung berubah sendu, dan tiba-tiba dia menangis. "Pak, mana mungkin saya menjual Kirana. Bapak tahu sendiri saya sayang dengan Kirana, walau dia anak tiri saya, sudah menganggapnya anak kandung sendiri," jawabnya dengan suara yang bergetar, seolah-olah dia benar-benar sedih.
Aku merasa marah melihat ibu tiriku berpura-pura. "Bohong, Pak! Jangan percaya, dia akan menjualku di tempat hiburan malam!" elakku dengan keras, berusaha membuat bapak itu percaya padaku.
Namun, bapak itu terlihat bingung. Wajahnya penuh dengan keraguan. Ibu tiriku melihat kesempatan itu dan langsung memanfaatkannya. "Pak, Kirana sakit. Semenjak papanya meninggal, dia sering mengamuk sampai memecahkan barang-barang di rumah. Saya hanya ingin membawa Kirana berobat ke psikiater, saya tidak mau Kirana sampai gila," jawabnya dengan lirih, berusaha membuat bapak itu percaya bahwa aku yang sakit, bukan dia yang berbohong.
"Pak, jangan percaya!" ucapku dengan tegas, berusaha membuat bapak itu tidak percaya pada ibu tiriku dan Tante Meri.
Namun, Tante Meri langsung menyela dengan suara yang menyakinkan. "Benar, Pak. Saya saksinya, Kirana semenjak papanya meninggal mengalami depresi berat. Saya disuruh Ibu Ratna untuk membantu Mbak Kirana untuk ke psikiater, tapi Mbak Kirana malah mengamuk tidak terima, mengira kami ingin menjualnya."
Bapak itu terlihat semakin bingung. "Kalau begitu, maaf bapak tidak bisa membantu Mbak Kirana. Bapak mengerti Mbak Kirana sangat kehilangan papanya, tapi Ibu Ratna benar, mbak Ratna harus berobat."
Aku merasa putus asa. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. "Pak, aku mohon percaya denganku. Mereka jahat, pak."
Tiba-tiba, sebuah mobil datang dan berhenti di depanku. Aku menarik napas lega begitu melihat mobil Mas Rayyan, calon suamiku. Dua bulan lagi kami akan menikah, dan aku yakin Mas Rayyan pasti akan membantuku. Aku merasa mendapat harapan baru dengan kedatangan Mas Rayyan.
Mas Rayyan turun dari dalam mobil dan aku langsung berlari menghampirinya, merasa lega dan aman karena kehadirannya. "Mas, tolong! Mereka ingin menjualku!" aduku dengan panik, berusaha menjelaskan situasi yang terjadi.
"Mbak Kirana, bapak harus pergi. Sekarang Mbak Kirana sudah ada Mas Rayyan," ucapnya dengan senyum.
Aku mengangguk dan berterima kasih karena ada bapa itu setidaknya bisa membantuku sampai Mas Rayyan datang. "Iya, Pak. Terima kasih," ucapku. Aku kemudian memandang Mas Rayyan, berharap dia bisa membantuku menghadapi ibu tiriku dan Tante Meri.
Setelah bapak itu pergi, Mas Rayyan berbalik ke arahku dan memegang kedua pundakku dengan lembut. "Sayang, kamu tenang dulu. Sebaiknya kita masuk ke dalam, kita bicarakan ini dengan baik-baik," ucapnya dengan suara yang menenangkan.
Aku khawatir dengan keselamatan Mas Rayyan karena ada dua orang preman di dalam rumah. "Tapi, Mas. Di dalam ada dua orang preman, aku tidak mau kamu dihajar mereka. Sebaiknya, kita pergi dari sini," kataku dengan cemas.
Mas Rayyan tersenyum dan berusaha menyakinkanku. "Mereka tidak akan bisa macam-macam, kamu tenang saja ada aku yang akan melindungi kamu. Terus rumah itu juga rumah kamu," ucapnya dengan penuh keyakinan.
Aku merasa lega mendengar kata-kata Mas Rayyan. Ibu tiriku dan Tante Meri yang tadi kasar dan ingin menjualku, sekarang terlihat tidak berkutik dan hanya diam saja. Aku merasa aneh, tapi juga merasa lega karena Mas Rayyan ada di sini untuk melindungiku.
Aku pun menyetujui untuk kembali masuk ke dalam rumah. Ibu tiriku dan Tante Meri mengikuti kami, tapi mereka terlihat tidak berani berbicara atau melakukan apa-apa. Aku merasa kehadiran Mas Rayyan telah membuat mereka takut.
"Mas Rayyan, akhirnya kamu datang juga," teriak Chika dengan suara yang manja, berlari ke arah Mas Rayyan dengan langkah yang cepat.
Aku yang sedang digandeng Mas Rayyan, melebarkan kedua mataku terkejut. Melihat Chika dengan Mas Rayyan begitu dekat, membuatku tidak suka. Chika bergelayut manja di lengan kekar Mas Rayyan, seperti sepasang kekasih yang saling mencintai.
Aku rasa ada yang tidak beres di sini. Chika adalah adik tiriku, tapi aku tidak pernah melihatnya begitu dekat dengan Mas Rayyan sebelumnya.
"Mas, ada apa ini?" tanyaku dengan jantung berdebar kencang, aku kesal melihat Chika bergelayut manja di lengan Mas Rayyan.
Chika tertawa terbahak-bahak, tapi aku menghiraukannya dan terus menatap Mas Rayyan, menunggu penjelasannya. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Mas Rayyan tersenyum ke arahku, tapi senyumnya semakin membuatku curiga. "Kirana, aku dan Chika berpacaran," jawabnya dengan nada yang santai, seolah-olah tidak ada yang salah.
Aku menatap Mas Rayyan dengan tatapan tak percaya, sambil menggelengkan kepala berharap ini hanya mimpi.
"Apaa, Mas. Kamu pasti bohong!" ujarku, tidak percaya apa yang aku dengar. Bagaimana mungkin Mas Rayyan, calon suamiku, berpacaran dengan adik tiriku? Aku merasa duniaku runtuh orang yang kuharapkan tega mengkhianatiku.
Chika tersenyum sinis. "Mbak, Mas Rayyan bilang bosan dengan kamu. Kamu itu terlalu monoton, sok suci."
Aku masih berusaha untuk tidak percaya dengan perkataan mereka. Kami sebentar lagi menikah, kami sudah mempersiapkan segalanya, dari pakaian, undangan, hingga resepsi. Aku tidak bisa memahami mengapa Mas Rayyan bisa mengatakan hal seperti ini.
"Mas, pasti semua ini bohongkan?" tanyaku sekali lagi dengan suara yang bergetar.
Namun, Mas Rayyan tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia sedang bercanda. "Apa yang Chika katanya itu benar, Kirana. Aku sudah bosan sama kamu, apa lagi sekarang kamu sudah tidak punya apa-apa lagi, lalu apa yang harus aku banggakan dari kamu? Kamu juga sok suci."
Rasanya begitu sakit, seperti pisau tajam menusuk jantungku. Aku merasa sesak, seperti udara di sekitarku telah habis dan aku tidak bisa menarik napas. Aku hanya bisa berdiri di sana, kaku dan lemas.
"Kalian jahat! Aku akan membalas semua kejahatan kalian, aku juga akan mengambil kembali harta orang tuaku," teriakku dengan lantang dan percaya diri. Suaraku menggema diseluruh menjuru rumah.
Mas Rayyan dan Chika terkejut, mereka berdua terlihat pucat dan gemetar.
"Kamu tidak akan bisa melakukan apa-apa, Kirana ...!" jawab Mas Rayyan dengan nada yang bergetar. Aku tahu Mas Rayyan pasti tahu, aku bukan orang yang lemah dan main-main.
Aku menyeringai ke arah mereka, menikmati rasa takut yang terlihat di wajah mereka. "Kenapa kalian takut?" tanyaku dengan nada yang dingin dan menantang.