Bab 2. Kabur Dari Tempat Maksiat

1490 Kata
Aku janji akan membalas mereka, mereka harus merasakan rasa sakit ini. Aku akan merebut kembali aset milik orang tuaku, mulai dari rumah, mobil, hingga usaha resto milik Papa. "Meri, cepat bawa Kirana dari sini!" titah Ibu tiriku dengan nada yang keras. Dua pria sangar dan menyeramkan itu kembali memegang tanganku. Aku sengaja diam saja, untuk saat ini aku akan mengikuti permainan mereka, sampai nanti aku mendapatkan cara untuk merebut kembali milikku. "Ayo, kita pergi," bentak salah satu anak buah Tante Meri dengan nada yang kasar. Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat Ibu tiriku menerima amplop tebal dari Tante Meri. "Terima kasih, Ratna. Kamu sudah memberikan barang segar untuk para tamuku," ucap Tante Meri dengan nada yang manis. "Senang bekerja sama dengan kamu, Mer," balas Ibu tiriku sambil mengambil amplop dari tangan Tante Meri dengan wajah berbinar bahagia. Aku menatap sengit ke arah mereka, merasa marah dan kecewa dengan apa yang aku lihat. Hari ini aku berjanji, suatu saat akan membuat mereka menyesal! "Lihatlah, Mbak Kirana. Kamu tidak akan bisa membalas kami, karena hari ini juga selamanya kamu akan berada di tempat neraka," ujar Chika tertawa terbahak-bahak masih bergelayut mesra dilengan pria pengkhianat. Sekali lagi aku menatap Mas Rayyan, pria itu langsung melengos membuang pandangan kearah lain. Dua tahun kami pacaran dan sebentar lagi kami akan menikah, ternyata tidak membuat pria itu berbelas kasih denganku. Kubuang napas kasar, untuk menetralkan emosi yang bersarang di dalam d**a. Percuma juga aku melawan mereka karena akhirnya aku kalah. "Ayo, kita pergi dari sini," perintah Tante Meri menyuruh anak buahnya untuk membawaku keluar dari rumah penuh kenangan. Dua pria menyeramkan itu menarikku dengan kasar, tidak berprikemanusiaan. Tiba di depan mobil, mereka mendorong tubuhku masuk ke dalam. Aku duduk diapit mereka. Tante Meri duduk di depan sambil tersenyum kearahku. "Kirana, sebenarnya Tante kasihan sama kamu. Tapi, ini bisnis. Tante tidak mau rugi, kamu cantik pasti banyak pengusaha atau orang kaya ingin membeli kamu dengan harga tinggi. Apa lagi kalau kamu masih virgin," ucap Tante Meri. Aku hanya diam, tidak menanggapi omongan Tante Meri. Mobilpun berjalan meninggalkan rumah masa kecilku. Selama diperjalanan di dalam otakku, aku terus menyusun rencana, agar bisa kabur dari mereka. Sampai tanpa terasa mobil sudah berhenti disebuah tempat, dari luar terlihat ruko berlantai empat. "Ayo, keluar," bentak salah satu pria menyeramkan itu sambil mendorong tubuhku agar keluar dari dalam mobil. Tante Meri sudah turun dari mobil terlebih dahulu. "Bawa dia ke mes," titah Tante Meri ke anak buahnya. "Nanti suruh, Susan untuk mendandaninya, karena nanti malam ada Bos William datang ingin melihat barang baru." "Siap, Mi." Mereka menarikku dengan kasar masuk ke dalam ruko. Aku tercengang melihat dalam ruko yang begitu luas, aku pikir ruko ini toko, ternyata aku salah. Kami menaiki lift yang terdapat di samping meja seperti meja resepsionis. Sampai di lantai empat, kami keluar. Aku melihat banyak pintu bernomor, seperti hotel saja. Sampai di sebuah pintu dengan nomor tiga, mereka mengetuk pintu. "Mbak Susan," panggil salah satu dari mereka. Tak lama seorang wanita cantik dan seksi membuka pintu. Aku menatap wanita itu dengan seksama, aku seperti mengenali wajah wanita cantik di depanku. "Ada apa, Jo?" tanyanya. "Mbak, kami disuruh mami untuk membawa dia ke sini," jawabnya. Wanita bernama Susan menatapku dengan sedikit terkejut, tapi hanya sesaat. "Nama kamu siapa?" tanyanya. "Kirana, Mbak," jawabku. "Sudah kalian pergi, biar dia jadi urusanku," ucap Mbak Susan. "Baik, Mbak. Nanti malam Bos Wiliam akan datang," kata mereka. "Ok, kalian tenang saja. Sebelum Bos datang semua sudah siap," balas Mbak Susan. "Kalau begitu kami pergi dulu," ucap mereka meninggal kami berdua. "Masuk," perintah Mbak Susan sambil menggerakkan tangannya agar aku masuk ke dalam kamar. Kupandangi sekeliling kamar, walau kamar ini tidak luas tapi terlihat sangat nyaman. "Kenapa kamu bisa sampai disini?" tanyanya sambil menyilangkan tangan di d**a. Aku berbalik badan ke arah Mbak Susan. Sekali lagi menatap intens wajahnya. "Mbak, apa kita pernah bertemu atau mungkin kita saling mengenal?" tanyaku memberanikan diri. Ekspresi wanita di depanku langsung berubah menjadi salah tingkah. "Kita tidak saling kenal atau pernah bertemu," jawabnya cepat. Aku mengerutkan kening, berusaha terus mengingat wajah di depanku. Aku yakin pernah melihat dia, tapi di mana? Akhirnya, setelah aku berusaha mengingat keras wajah itu. Sekelebatan aku mengingat wanita di depan pernah datang ke rumah. Saat itu aku masih sekolah, Mbak Susan datang ke rumah untuk bertemu dengan ibu tiriku. "Mbak Susan, yang pernah datang ke rumahku' kan? Untuk menemui ibu tiriku--Ibu Ratna?" tanyaku dengan penuh keyakinan. Mbak Susan mengembuskan napas dengan kasar, lalu dia melangkah ke sisi ranjang. Kemudian dia duduk dengan santai. "Jadi, kamu anak Pak Rangga?" tanyanya. "Iya, Mbak. Aku Kirana," jawabku. "Kamu ternyata sudah besar, ya. Cantik, pantas saja si Ratna menjual kamu ke tempat ini," ucapnya dengan suara begitu tenang. Mendengar kata menjual, kembali emosiku naik. "Iya, aku dijual untuk membayar hutang mereka," ketusku. Mbak Susan menatapku, lalu dia tersenyum simpul. "Kamu tidak pantas berada di tempat ini. Tempat ini untuk orang yang sudah hancur masa depannya." Aku menekuk wajahku, memangnya aku suka berada di tempat ini. Aku juga tidak mau berada di sini, walau aku tidak memiliki apa pun. Aku tidak mau berada di tempat penuh dosa ini. "Aku juga tidak mau di sini! Mereka sudah mengambil seluruh harta orang tuaku," kataku dengan napas memburu karena marah. "Tidak heran, Ratna pasti akan melakukan hal yang sama. Dia akan terus mencari mangsa," jawab Mbak Susan. Aku menoleh ke arah Mbak Susan, dengan ekspresi tidak mengerti. Apa mungkin Mbak Susan juga salah satu korban kejahatan dari ibu tiriku juga? "Apa maksud, Mbak Susan? Apa Mbak Susan salah satu korban dari kejahatan ibu tiriku?" tanyaku penasaran. "Iya, Ratna sudah menghancurkan keluargaku, sampai aku terlempar di tempat ini," jawabnya. "Berarti kita senasib, Mbak." Mbak Susan hanya mengangkat bahu, kupikir Mbak Susan karena senasib akan membantuku. "Kalau begitu kamu mandi dulu, nanti aku akan mendandani kamu," ucapnya ekspresi dingin. Akhirnya, aku mengikuti perintah Mbak Susan untuk membersihkan diri. Selesai mandi, aku keluar dari kamar. Mbak Susan sudah menyiapkan dres ketat berwarna merah. Aku melongo menatap dres kurang bahan itu. "Pakailah, setelah itu aku akan mempercantik wajah kamu." "Mbak, apa Mbak Susan tidak bisa membantuku untuk keluar dari sini?" tanyaku. Siapa tahu saja aku ada harapan bisa keluar dari sini. "Tidak, karena wanita yang sudah masuk ke dalam sini tidak akan bisa keluar lagi," jawabnya sambil mengaplikasikan wajahku dengan make up. Satu jam berlalu, kulirik jarum jam sudah menunjukkan ke angka sepuluh malam. "Ayo, kita keluar. Sebelum Bos datang kamu harus keluar menemani tamu-tamu," ucap Mbak Susan. Mbak Susan memberikan sendal high heels yang sangat tinggi. Aku tidak terbiasa memakainya, beberapa kali aku hampir terjatuh karena keseleo. Mbak Susan membawaku ke tempat orang-orang berpesta, lampu berkelap-kelip dan suara musik memekakan telinga. Aku berjalan terseok karena gelap, penerangan hanya dari lampu disco. Beberapa pria menggoda Mbak Susan dan aku, membuatku risih dan ketakutan. Aku belum pernah ke tempat seperti ini. Namun, baru saja aku dan Mbak Susan duduk terdengar suara keributan. Aku berdiri ingin melihat siapa yang membuat ribut di sini. "Mbak, ada apa?" tanyaku. "Sepertinya ada yang berantem," jawab Mbak Susan sambil menunjuk dua pria yang saling adu jotos. Suasana semakin tidak terkendali, meja dan kursi berantakan. Orang-orang hanya melihat tanpa melerai, sampai beberapa orang bertubuh kekar masuk melerai mereka. "Kirana, ayo ikut aku." Tiba-tiba Mbak Susan menarikku dengan kencang meninggalkan tempat ini. "Mbak, kita mau kemana?" tanyaku sambil terseok-seok mengikuti jalan Mbak Susan yang sangat cepat. "Ikut saja, jangan banyak bicara!" bentaknya. Aku akhirnya menyerah mengikuti Mbak Susan, turun melalui tangga darurat. Sampai di lantai bawah, Mbak Susan berusaha membuka pintu. Aku tertegun melihat dibalik pintu ternyata pelataran yang cukup sepi. "Mbak, apa ini?" tanyaku masih bingung. "Kamu ingin keluar dari tempat ini, bukan? Cepat kamu pergi dari sini," perintahnya. "Tapi, Mbak Susan kenapa tidak ikut?" tanyaku. "Hidup kamu masih panjang, sedangkan hidupku sudah hancur. Lebih baik cepat kamu pergi dari sini, sebelum orang-orang mami Meri menyadari kamu tidak ada!" bentaknya sambil mendorongku keluar. Aku menatap Mbak Susan dengan mata berkaca-kaca, merasa berterima kasih atas kebaikan yang dia tunjukkan. "Terima kasih, Mbak. Aku tidak akan melupakan kebaikan kamu," ucapku dengan suara yang bergetar. Mbak Susan menatapku dengan wajah yang penuh dendam, membuatku merasa bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang Mbak Susan sembunyikan. "Kirana, aku hanya minta satu permintaan. Balas Ratna untukku, kamu harus merebut kembali milik kamu yang telah diambil oleh dia, buat dia hancur dan miskin," ucap Mbak Susan dengan suara yang dingin dan menantang. Aku mengangguk mantap, merasa bahwa aku telah membuat keputusan yang tepat. "Aku janji, akan membalas ibu tiriku untuk Mbak Susan, dan membuat dia miskin dan menderita!" ucapku dengan penuh keyakinan. Tapi, sebelum aku melangkah lebih jauh, aku mendengar suara yang membuatku berhenti. "Mbak Susan, apa yang kamu lakukan?" suara itu menggema dari belakangku. Aku berbalik, dan apa yang aku lihat Mbak Susan dipukuli orang-orang suruhan Tante Meri mungkin karena sudah membantuku kabur. Dari jauh, aku bisa melihat Mbak Susan menyuruhku untukku cepat pergi. "Mbak, pengorbanan kamu akan selalu aku ingat. Aku akan membuat orang yang menyakitimu menderita!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN