Bab 3. Terpaksa Menikah Kontrak

2008 Kata
Dengan langkah terseok aku terus berlari menembus pekatnya malam, dibelakang orang suruhan Mami Meri terus saja mengejarku. Baju kurang bahan yang tipis dan ringan hampir tidak bisa menutupi tubuh ini. Tak jauh di depanku terlihat sebuah mobil mewah terparkir di dekat jembatan. Kusungingkan senyum kecil melihat pintu mobil terbuka. Kulihat dari jauh ada seorang pria berdiri dipinggir jembatan. Aku ingin mendekatinya, aku takut pria itu akan bunuh diri karena berdiri di pinggir jembatan dengan posisi yang siap melompat ke bawah. Tapi, aku harus menyelamatkan diri ini terlebih dahulu. Dengan cepat, aku menyelipkan tubuhku ke dalam jok mobil yang sempit, berharap aku tidak akan terlihat dari luar. Nasib baiknya, di jok mobil ada jaket yang bisa aku gunakan untuk menutupi tubuhku, sehingga aku tidak akan terlihat oleh orang-orang suruhan Mami Meri. Jantungku berdetak begitu cepat ketika aku mendengar derap langkah kaki yang kian mendekat di samping mobil. Aku berharap aku tidak akan ketahuan dan bisa selamat dari kejaran mereka. Tak lama suara pintu mobil terbuka dan kembali tertutup dengan kasar membuat tubuhku berjingkat kaget. "Aaaargh! Kurang ajar, Tania tunggu saja pembalasanku," teriak pria itu sembari memukul setir mobilnya. Aku menarik napas lega, karena bisa lepas dari kejaran anak buah Tante Meri. Suara mesin menyala, tak lama mobil meluncur. Posisi tubuh terjepit disela jok belakang membuat badan ini sedikit sakit karena goncangan. Apa lagi pria itu mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, dan beberapa kali mengerem mendadak. Begitu lelah tanpa sadar aku ketiduran. Aku terbangun dari tidur begitu mendengar suara pintu mobil tertutup, pria itu sudah tidak ada. Dirasa sudah aman kurenggangkan seluruh otot tubuh yang kaku karena kelamaan meringkuk. Mataku membulat sempurna ketika melihat sebuah bangunan rumah dua lantai begitu mewah dan indah di depan mata. Mungkinkah rumah ini milik pria yang sudah menolongku. Jika benar, aku akan membalas kebaikan pria itu karena tanpa ia sadari sudah menolongku dari neraka. Kucoba membuka pintu mobil, ternyata terkunci. Ya Tuhan, bagaimana aku keluar dari mobil ini? Melihat sekeliling rumah tampak sepi sepertinya pemilik rumah ini sudah terbuai mimpi. Kuhembuskan napas berat, terpaksa malam ini aku tidur di mobil ini. Kurebahkan tubuhku jok mobil. Aku terlonjak kaget begitu mendengar suara pintu mobil terbuka. Di depan pintu seorang pria muda memakai seragam putih abu-abu menatapku dengan mulut terbuka. "Bidadari dari surga," gumamnya dengan pandangan tak lepas dari wajah ini. Gegas, kututup tubuhku dengan jaket jens karena tidak pantas pria muda itu melihat tubuhku yang hanya memakai pakaian kurang bahan. "Hai," sapaku tak lupa kuberikan senyum termanisku. "Mami, Bang Dewa membawa bidadari dari surga," teriak pria itu membuatku terkejut. "Dion, ada apa seh teriak-teriak. Ini masih pagi," balas suara seorang wanita. Ya Tuhan, aku harus bagaimana? Benar saja, tidak lama sosok wanita paruh baya yang terlihat masih cantik menghampiri pintu mobil. Wajahnya berubah kaget, menatapku tanpa berkedip dengan wajah syok. "Dewaaaaaa!" teriak wanita itu histeris. "Mi, tenang dulu." Pria muda memakai seragam putih abu-abu berusaha menenangkan sang ibu. Aku yang belum siap mendadak lidah ini kelu. "Dion, kamu bilang mami suruh tenang. Lihat kelakuan Abang kamu sudah membuat darah tinggi mami naik," hardiknya. "Iya, Mi. Tapi mami harus tenang, kita tanyain dulu bidadari surga ini siapanya Bang Dewa setelah itu mami bisa marahi Bang Dewa." "Kamu mau membela abang kamu, hah!" bentak wanita paruh baya itu. "Aduh, bukan begitu, Mi. Dion hanya ingin mami jangan teriak-teriak, memangnya mami mau tetangga pada tau kelakuan Bang Dewa membawa wanita ke rumah ini. Mami nanti yang malu sendiri jadi bahan gosipan ibu-ibu Genk sosialita mami." Sesaat wanita itu mencerna ucapan anaknya. Beberapa kali menghela napas mungkin sedang mengontrol emosinya. "Kamu benar, Dion. Hei, nama kamu siapa? Apa kamu dan anakku pacaran?" tanya wanita yang dipanggil mami dengan ketus. "A--aku, Kirana ..." Entah mengapa lidah ini kelu. Menatap wanita di depan teringat mendiang mama yang sudah di surga. "Mi, dari tadi papi tungguin ternyata kalian ngumpul di sini?" "Pi, papi harus lihat kelakuan anak kesayangan kamu ini," balasnya sembari menunjuk kearahku. "Memangnya apa yang sudah dilakukan Dion?" "Bukan, Dion tapi Dewa," balas mami dengan wajah frustasi. "Dewa? Memangnya apa yang dilakukan anak itu?" Pria paruh baya yang dipanggil papi belum melihatku karena terhalang pintu mobil. "Papi lihat sendiri, Dewa membawa wanita ke rumah kita." "Apa?" Pria paruh baya itu menundukkan kepala melihat ke dalam mobil. Wajahnya seketika berubah kaget. "Dewaaaa!" teriaknya. "Kakak, cantik. Ayo, turun," ajak Dion. Akhirnya, aku turun dari dalam mobil dengan kikuk. Satu tanganku berusaha membenarkan rok pendek ini yang sedikit terangkat. Aku harus menyelesaikan kekacauan ini, kasihan pria bernama Dewa. Aku tidak mau karenaku ia harus mendapatkan amukan dari kedua orang tuanya. "Papi harus tegas dengan Dewa. Sebaiknya kali ini kita nikahkan saja Dewa, dari pada membuat malu keluarga." Kedua orang tua Dewa melenggang masuk ke dalam rumah dengan tergesa, mengabaikan keberadaanku. Hanya Dion yang berdiri mematung disampingku. "Sebenarnya aku dan pria pemilik mobil ini tidak ada ...." Belum selesai kulanjutkan ucapanku jemari telunjuk pria bernama Dion sudah membungkam mulut ini. "Ssst, kakak cantik tenang saja. Aku akan membantu kakak cantik," ucapnya sok dewasa. "Sebaiknya, kita masuk ke dalam. Kupastikan abangku akan bertanggung jawab dengan apa yang sudah dia lakukan," lanjutnya tanpa memberikan kesempatan aku berbicara lagi dia sudah menarik pergelangan tangan ini memasuki rumahnya yang begitu mewah. Tiba di dalam, suara keributan terdengar dari lantai atas. Aku masih berdiri mematung, kenapa jadi seperti ini? "Pokoknya kamu harus menikahi gadis itu." "Mi, gadis yang mana? Dewa tidak membawa gadis ke rumah ini?" Perdebatan di lantai atas menggema keseluruh penjuru rumah. Dion disamping sejak tadi memandangku sambil tersenyum. Terdengar suara langkah kaki menuruni anak tangga, tak lama terlihat seorang pria gagah dengan tubuh atletis. Sorot tajam bak elang menghunus tepat ke jantung ini. Wajah tampan dengan alis bak semut berjalan, seketika membuat tulang kaki ini melemah. 'Ya Tuhan sungguh sempurna sekali ciptaanmu," gumamku dalam hati. Di susul kedua orang tua Dewa dibelakang menuruni anak tangga. Pria bernama Dewa memandangku dari ujung kaki hingga kepala dengan pandangan membunuh. "Siapa kamu?" tanyanya dengan wajah dingin. "Bang Dewa, kenapa tanya siapa dia," protes Dion. "Diam kamu anak kecil! Aku sedang berbicara dengan wanita ini!" bentak Dewa. "Jadi kamu benar tidak mengenal gadis ini, Dewa?" tanya maminya Dewa. "Mi, Sudah. Kita bicarakan dulu ini baik-baik. Kita dengarkan dulu penjelasan Dewa dan gadis ini," sela sang suami. Aku bingung harus menjelaskan seperti apa ke mereka. Saat ini, aku sedang butuh pertolongan. Apa aku harus pura-pura saja mengaku kalau aku pacar pria itu yang bernama Dewa? "Aku... aku pacar Dewa," ucapku ragu, dengan jantung yang nyaris berhenti. Aku bisa merasakan detak jantungku yang cepat dan keras. Bola mata Dewa langsung membulat karena kaget. Dia terlihat tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Aku bisa merasakan tatapan maut dan mematikan dia arahkan ke wajahku. "Dewa," teriak wanita yang dipanggil Mami. "Kalian ikut Mami ke dalam," titahnya dengan nada yang tegas. Dewa terlihat mengeraskan rahangnya, dengan kedua tangan terkepal. Pria bernama Dion membimbingku masuk ke dalam rumah. Suasana di dalam ruangan terasa mencekam, karena melihat tatapan tajam dari Dewa yang membuatku merasa tidak nyaman. Aku duduk di atas sofa dengan perasaan tidak tenang, seakan-akan aku duduk di atas duri. "Mi, jangan percaya sama dia. Aku tidak mengenal wanita ini," elak Dewa dengan tegas, matanya tetap menatapku dengan curiga. "Mami, gimana Mami mau percaya sama ucapan kamu! Sedangkan dia berada di mobil kamu dengan pakaian seperti ini? Jangan bilang kalian habis melakukan itu?" tanya Mami dengan wajah merah karena emosi, suaranya meninggi. "Mi, jangan menuduh sembarangan. Aku tidak mungkin melakukan hal seperti itu, aku masih perjaka, Mi," jawab Dewa dengan tegas, suaranya tetap tenang dan percaya diri. "Mi, jangan begitu. Siapa tahu anak kita benar," sela papinya--Dewa. "Pi, ini keadaan sudah darurat. Mami mana mungkin diam saja, mereka harus menikah. Dewa harus menjadi pria bertanggung jawab," tegas mami membuatku dan Dewa langsung menoleh ke arah mami. "Apa menikah!" teriakku bersamaan dengan Dewa. "Iya, kalian nanti siang menikah," tegas mami. "Mi, aku itu bukan kucing yang langsung di kawinin!" protes Dewa. "Mi, apa yang dikatakan Dewa benar. Kita jangan gegabah," sela papinya--Dewa. "Kalian pria tidak akan mengerti apa yang dirasakan kaum wanita, pokoknya Dewa harus menikah dengan wanita ini," tegas maminya--Dewa terlihat tidak mau dibantah. Sejujurnya, aku ingin menolak ide dari maminya--Dewa. Tapi, saat ini aku tidak memiliki pilihan lain. Kalau aku sekarang keluar dari rumah ini, pastinya akan ditangkap orang suruhan Tante Meri. Aku tidak bisa membalaskan dendamku dan dendam Mbak Susan ke ibu tiriku dan Chika. "Mi, jangan seperti ini!" protes Dewa. maminya--Dewa menatap putranya dengan tatapan marah. "Kamu harus menuruti perintah mami, atau kamu mau mami jodohkan dengan anak temen mami!" ancamnya. Dewa menggeleng cepat. "Terserah mami saja!" ketusnya. "Sementara kalian menikah siri, nanti setelah itu resepsinya," jawab mami. Dewa kembali menatapku sangat tajam, lalu pria itu berdiri meninggalkan ruangan ini. Aku semakin tidak enak, membiarkan Dewa berada diposisi tidak bisa memilih. "Dion, antarkan Kak Kirana ke kamar tamu, mami akan mencari penghulu," titah maminya--Dewa. "Mi, Dion sebenarnya tidak setuju Bang Dewa buru-buru menikah," protes Dion dengan suara pelan. "Kamu lagi, ngapain ikutan tidak setuju. Kamu masih kecil tidak mengerti masalah ini!" bentak mami. Akhirnya, Dion memilih diam lalu mengantarku ke kamar tamu. "Terima kasih ya, Dion," ucapku. "Sama-sama, Kak Kirana bidadari surga. Kalau butuh apa-apa jangan sungkan panggil nama Dion," katanya dengan senyum manis. "Kalau begitu aku berangkat sekolah dulu." "Iya, hati-hati ya," ucapku. Dion, sebelum pergi melambaikan tangan. Setelah pria muda itu sudah tidak terlihat, gegas aku menutup pintu kamar tapi sebelum pintu tertutup rapat sebuah tangan kekar mendorong pintu. Aku terkejut, begitu melihat Dewa sedang menghalangi pintu. Pria itu langsung masuk ke dalam kamar, lalu menutupnya. Aku menatap pria itu dengan takut, apa lagi wajahnya dingin dan begitu menyeramkan. "Katakan sebenarnya apa tujuan kamu datang ke sini!" tanyanya tanpa basa-basi. "Aa--aku tidak ada tujuan apapun," jawabku dengan tubuh gemetar. Dewa menatapku dengan tajam, lalu berjalan mendekatiku, membuat tubuhku tersudut di pintu. Kedua tangannya diletakkan di sisi kanan kiri tubuhku, sehingga tidak ada jarak di antara kami. Embusan napasnya yang berbau mint langsung tercium oleh indra penciumanku. "Aku tidak tahu tujuan kamu apa, tapi aku pasti akan mencari tahu itu. Kedatanganku kesini hanya ingin bernegosiasi," katanya masih terus menatap wajah ini dengan menusuk. "Bernegosiasi seperti apa?" jawabku dengan gugup. "Karena mami tidak bisa dibantah, aku ingin membuat perjanjian sama kamu. Kita nikah kontrak, selama 365 hari kontrak kita sebagai suami istri! Setelah itu, kamu boleh pergi dari sini. Tapi, ingat walau kita menikah tidak akan ada kontak fisik. Kamu tanda tangani kertas ini!" Dewa memberikan sebuah kertas kearahku bersama dengan bolpoin. Aku mengambil kertas itu, karena saat ini aku tidak memiliki pilihan lain. Aku goreskan tinta di atas kertas dengan tanda tanganku, lalu menyerahkan kembali ke tangan Dewa. Setidaknya, aku memiliki waktu untuk mengumpulkan kekuatan dan membalas dendam kepada Ibu tiriku, Chika, dan Mas Rayyan. "Kerja sama kita dimulai dari sekarang," katanya lalu melipat kertas itu. Pria itu keluar dari kamar setelah mendapatkan tanda tangan pernikahan kontrak kami. ***** "Saya terima nikah dan kawinnya Kirana Safana Abiya binti Rangga Abiya dengan mas kawin 50 gram emas dibayar tunai," ucap Dewa dengan lantang dan jelas. "Bagaimana para saksi, Sah?" tanya Pak Penghulu dengan nada yang tegas. "Sah!" Suara menggema di dalam ruangan, para saksi mengucapkan kata yang sama dengan serempak. Aku mengulurkan tangan, dan Dewa menyambutnya dengan hangat. Aku mencium takzim punggung tangannya, walau kami menikah kontrak, tetap saja ada yang bergetar di dalam dadaku. Sedikit tersentak ketika Dewa mengecup keningku dengan lembut, seakan kami pasangan saling mencintai. Aku merasakan jantungku berdegup kencang, tapi aku berusaha untuk tidak menunjukkan perasaanku. Tiba-tiba, Dewa mendekatkan wajahnya ke samping wajahku, membuatku merasa terkejut. "Kirana, jangan senang dulu," bisiknya dengan suara yang rendah dan berat. "Ingat, kita hanya menikah kontrak! Jangan bermimpi ingin menjadi nyonya Dewaraja Akananta. Dan, sekali lagi aku ingatkan jangan sampai kamu jatuh cinta denganku! Karena jika itu terjadi, aku akan membuat kamu menyesalinya selamanya." Seketika aku merasa takut dengan ucapan Dewa. Suaranya terdengar dingin dan mengancam. Oh, Tuhan, semoga aku tidak jatuh cinta dengannya. Tapi, mengapa aku merasa hati ini berdegup kencang ketika Dewa memandangku dengan mata yang tajam dan dingin? Apakah aku sudah terlambat untuk menghindari perasaan yang tidak diinginkan ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN