Bab 4. Ciuman Pertama

1614 Kata
"Dewa, kamu sudah menjadi suami. Papi harap kamu bisa menjadi pria sejati dan tidak menyakiti istri kamu," pesan Papa mertuaku. "Siap, Pi." "Mami juga mau kalian secepatnya memberikan cucu untuk kami," sela Mami Dewi. Cucu? Aku dan Dewa saling memandang, tak lama pria yang sudah sah menjadi suamiku tersenyum aneh. Bagaimana kami akan memberi cucu, sedangkan aku mengajukan syarat dalam perjanjian kontrak bahwa tidak boleh ada kontak fisik? "Kamu tenang saja, aku akan mengatasinya," bisik Dewa di sampingku sembari menarik turun alisnya. Mengatasi dengan cara apa? Jangan bilang dia ingin melakukan itu dengan membuatku hamil anaknya. Tidak, aku tidak mau. Melihat kedua mertuaku begitu bahagia, aku hanya mengiyakan permintaan mereka. Aku diperkenalkan satu persatu kepada keluarga besar Dewa, mulai dari tantenya hingga sepupunya. Aku tidak menyangka bahwa mami mertuaku telah mengundang seluruh keluarga mereka dengan waktu yang sangat singkat. Mereka menyambutku dengan hangat, namun aku melihat Saka dan Dion duduk di pojok dengan wajah yang murung, seolah-olah mereka sedang merasakan patah hati bersama. Awalnya, aku terkejut melihat Saka yang ternyata masih saudara dengan Dewa, mantan pacarku saat sekolah sebelum aku mengenal Mas Rayyan. Adel, sepupu Dewa, sangat ceriwis dan mengajakku mengobrol, sementara yang lain menikmati hidangan yang telah disediakan di atas meja sambil bersenda gurau. Pernikahan ini sangat sederhana, namun sakral. Hanya keluarga inti dan beberapa tetangga yang hadir. Aku mencari keberadaan Dewa dengan mengedarkan pandangan, namun pria itu tidak terlihat lagi setelah meminta restu dari kedua orang tuanya. Rasanya sudah lelah, dan kepalaku yang memakai sanggul membuatku merasa tidak nyaman. Akhirnya, aku memutuskan untuk melangkahkan kakiku ke arah taman kecil di depan rumah. Pelan-pelan, aku menurunkan bobot tubuhku ke kursi taman. Tamu di dalam rumah sibuk mengobrol sambil menikmati hidangan, mereka pasti tidak menghiraukan pengantin karena tidak ada acara apapun setelah selesai ijab kabul. Mereka hanya menganggapnya sebagai kumpul keluarga biasa. Baru beberapa menit aku duduk, Saka datang dan duduk di kursi sebelahan denganku. "Saka," ucapku sembari mengedarkan pandangan ke dalam rumah. Aku tidak mau mereka berpikiran yang macam-macam karena pengantin wanitanya berbicara akrab dengan pria lain, meskipun pria itu adalah sepupu sang pengantin pria. Di dalam rumah, bukan hanya keluarga inti Dewa saja yang hadir, tetapi juga ada tetangga kompleks perumahan mama mertuaku. "Rana, selamat, ya," ucap Saka dengan suara yang bergetar. "Eh, kamu tadi bilang apa?" tanyaku, karena tadi aku fokus melihat ke dalam rumah dan tidak mendengar apa yang diucapkan Saka. "Rana, selamat ya. Dewa itu pria baik, kamu beruntung bisa menikah dengannya." Aku merasa pernikahan ini seperti mimpi buruk, bukan beruntung. "Terima kasih, Saka," ucapku tulus. "Sayang kamu ternyata ada di sini? Aku tadi mencarimu," kata Dewa. Tiba-tiba Dewa memelukku dari belakang. Saka tidak jadi melanjutkan ucapannya. "Dewa, lepas," ujarku sambil berusaha melepaskan tangannya yang melingkar di bahuku. Bukannya melepaskan pegangannya, pria itu malah menyenderkan dagunya di pundakku. "Sayang, kita sudah sah menjadi pasangan suami istri. Saka juga pasti mengerti, iya, kan, Saka?" tanya Dewa sambil melempar pandangan ke arah Saka. "Ya sudah, aku ke dalam dulu. Kalian lanjutkan," kata Saka sambil berdiri dan meninggalkan aku dan Dewa. "Lepas," ujarku sambil menepis tangan Dewa yang masih melingkar di leherku. "Kamu kenapa? Jangan bilang Saka itu mantan pacar kamu?" tanya Dewa dengan nada penasaran. "Bukan urusan kamu," jawabku dengan nada ketus. Aku berdiri dari tempatku duduk, lebih baik aku pergi ke kamar saja. Malas meladeni pria galak ini. "Kirana, tunggu!" panggil Dewa. Aku terus melangkah masuk ke dalam rumah, tujuanku adalah mau ke kamar. Belum sempat kututup pintu kamar, sebuah tangan menahan daun pintu dari luar. Aku tersentak, ternyata Dewa mendorong pintu kamar dan masuk ke dalam kamarku tanpa permisi. "Aku ini suami kamu, jadi aku berhak masuk ke dalam kamar ini!" tegasnya. Dia mendekati ranjang, lalu menghempaskan bobot tubuhnya di atas ranjang dengan kedua tangan direntangkannya. Aku diam terpaku, sambil mengeram kesal melihat pria yang sudah menjadi suamiku melentangkan tangan dan kakinya di atas ranjangku. "Sepertinya kamar ini enak juga, cocok buat kita memberikan cucu untuk mami dan papi," ocehnya sambil mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar. "Jangan mimpi, cepat kamu keluar!" usirku dengan kesal. "Hush, jangan keras-keras. Di luar masih banyak orang, jangan membuat rencana kita gagal. Kita sudah sah menjadi suami istri, selama masa kontrak, mau tidak mau, kita akan satu kamar," balasnya dengan santai. Aku heran dengan pria ini, sikapnya cepat sekali berubah. Aku mendengkus kasar, lebih baik aku membersihkan diri. Toh, acaranya sudah selesai, dan aku merasa kepalaku sakit karena membawa beban sanggul yang berat. "Aku mau ganti baju, kamu menghadap ke sana," kataku dengan nada ketus. "Ganti saja, jangan pikirkan aku," sahutnya dengan enteng. "Tuan Dewa, kita itu nikah kontrak, tidak boleh ada kontak fisik. Lebih baik kamu ikuti perintahku," tegasku. "Ok," jawabnya sambil tidur menyamping berlawanan arah denganku. Pria itu ternyata penurut juga kalau aku tegas. Lebih baik aku cepat ganti baju sebelum pria itu melihatku tanpa sehelai benang pun. Hingga sepuluh menit, aku belum bisa membuka kebaya modern yang kukenakan. Model kebaya ini memiliki resleting di belakang, dan tangan ini susah sekali menjangkau bagian bawahnya. "Kirana, sudah sepuluh menit kamu belum ganti baju," keluh Dewa yang masih setia dengan perintahku tidak mencuri pandang ke arahku. "Aduh, susah sekali," gerutuku. Aku masih berusaha membuka resleting kebaya tanpa harus meminta bantuan siapapun, walau dia sudah sah menjadi suamiku. Aku tidak ingin memberinya kesempatan untuk melakukan tindakan yang merugikan diriku. "Lama sekali," kata Dewa sambil membalikkan badannya ke arahku yang sejak tadi berusaha membuka resleting belakang. Spontan, aku berusaha menutup bagian punggungku yang sudah separuh terbuka, lalu berbalik menghadap ke arahnya. "Eh, ngapain kamu berbalik!" protesku. Dewa terlihat menghela napas panjang. "Kalau butuh bantuan, jangan gengsi. Sini, aku bukain," katanya sambil bangun dari tidurnya dan hendak mendekatiku. "Stop! Jangan mendekat," kataku sambil mengulurkan tangan untuk memberi kode agar pria itu tidak mendekatiku. "Kirana, aku tidak akan macam-macam. Tapi, jika kamu tidak butuh bantuanku, juga tidak apa-apa. Aku tidak akan memaksa. Dan, satu lagi, aku hanya ingin berpesan sama kamu, tolong suruh Saka bersabar, jangan sampai aku melihat kamu berdekatan lagi dengannya sampai kontrak selesai," ucapnya tegas. Kuputar bola mataku, jengah melihat sikapnya yang tiba-tiba berubah seperti setelan pabrik. Apa maksudnya Saka harus menunggu dengan sabar sampai kontrak selesai? Dasar tidak masuk akal. "Ehem." Suara deheman di belakang membuyarkan lamunanku. Pria itu menatapku dengan pandangan yang membuatku tidak nyaman ke arahku, sesekali bisa kulihat jakunnya naik turun. Dasar pria yang tidak bisa diprediksi, apa dia baru sadar kalau sebenarnya aku ini gadis cantik? Dewa beberapa kali mengusap wajahnya, seolah-olah dia sedang berusaha menghilangkan rasa tidak nyaman yang tiba-tiba muncul. "Kirana, kamu cantik sekali," pujinya sambil terus menatapku, membuatku merasa tidak nyaman. Sedetik kemudian, tanpa sadar, kami sudah tidak ada jarak lagi. Kutelan ludah dengan susah melihat wajah tampannya begitu dekat. Nafas berbau mint memanjakan indra penciumanku. "Tunggu, kamu mau apa?" kutanya dengan gugup. "Aku mau kamu," bisiknya dengan suara berat. Kulebarkan kedua bola mata, mencerna perkataannya barusan. Belum sempat kudapatkan jawaban dari ucapannya, dia sudah membungkam mulutku dengan bibirnya secara lembut. Jantungku seakan dikejutkan oleh sengatan listrik ribuan volt, membuat tubuhku memanas karena serangan tiba-tiba. "Dewa." Di luar kamar, terdengar suara mami mertuaku memanggil nama Dewa sambil mengetuk pintu. Melihat dia sedikit mengendurkan pegangan bibirnya, aku cepat-cepat mendorong dadanya agar menjauhiku. Pria itu menghentakkan napas kasar, tanpa merasa bersalah, berbalik badan, lalu berjalan ke arah pintu. Kutarik napas lega, berterima kasih karena Mami mertua sudah menyelamatkanku dari anaknya, yang lupa dengan surat perjanjian kontrak yang tadi pagi baru kita sepakati. "Ada apa, Mi?" tanya Dewa setelah membuka pintu kamar. Mami mertuaku tersenyum kecil melihat kami secara bergantian. "Maafin mami sudah mengganggu kalian, mami hanya mau memberitahu kalian semua keluarga mau pamit pulang," jelas Mami Dewa. "Dewi, seharusnya kamu tidak usah mengganggu mereka. Wajar pengantin baru mau cepat-cepat, seperti tidak pernah merasakan pengantin baru saja," celetuk Tante Isna tepat di belakang Mami Dewi. Aku mendekati mereka, dan wajah mereka sedikit terkejut begitu melihat wajahku. Tak lama, mereka terkikik bersama. Kulemparkan pandangan ke arah Dewa dengan tatapan tidak mengerti kenapa mereka malah menertawakanku. Apa mungkin ada yang salah? "Maaf, ya, Sayang. Mami sudah menertawakan kamu, habis kalian itu lucu," ucap Mami Dewi masih diselingi tawa mereka. "Kirana, kamu bersihkan make up kamu dulu, terus ganti baju. Masa menemui mereka dengan lipstik yang belepotan, dan kebaya yang melorot?" sela Tante Isna lembut. "Pasti ini kerjaannya kamu, Dewa. Mami kan bilang pelan-pelan saja," tegur Mami Dewa ke anak sulungnya. Wajahku seketika memerah, jadi mereka menertawakanku karena itu. Pasti mereka mengira kami sedang "belah duren" "Ish, mami seperti tidak pernah merasakan saja menjadi pengantin baru," balas Dewa santai. "Sudah, sudah, cepat kalian ganti baju. Tante dan keluarga tunggu di luar, ada yang ingin mereka berikan untuk pengantin baru," potong Tante Isna. Aku dan Dewa kembali menutup pintu kamar, dan seketika itu juga rasa canggung mendera kami. Kulangkahkan kaki menuju lemari pakaian, memilih baju untuk mengganti kebaya yang kupakai. "Sini, aku bantu membuka resletingnya," kata Dewa tanpa menunggu jawabanku. Dewa melangkah mendekatiku lalu membukakan resleting kebaya. "Terima kasih," ucapku. Kutinggalkan pria itu di dalam kamar mandi. Hanya lima menit, aku sudah selesai berganti pakaian. Di dalam kamar, kulihat Dewa juga sudah berganti pakaian dengan pakaian santai. Kulewati pria itu yang sedang mengancing kemejanya. Aku memilih duduk di kursi meja rias untuk menghapus make up. Pantas saja Mami Dewi dan Tante Isna tertawa melihatku. Ternyata lipstikku berantakan karena adegan tadi. Aku menatap Dewa yang sedang mengancing kemejanya. Dia menatapku kembali dengan senyum misterius. "Kita belum selesai, Kirana," katanya dengan suara rendah. "Setelah ini, kita lanjutkan lagi." Aku merasa jantungku berdegup kencang. Tiba-tiba, Dewa melangkah mendekatiku, matanya menatapku dengan intens. "Dan kali ini, tidak ada yang akan mengganggu kita," katanya dengan suara yang membuatku merinding. Aku mencoba mundur, tapi kaki ini terasa berat, seperti tertanam di tempat. Dewa semakin mendekat, napasnya mengenai wajahku ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN