Bab 5. Melanggar Perjanjian

1616 Kata
Aku dan Dewa keluar dari kamar, saling bergandengan tangan. Semua mata menatap kami, ternyata tetangga kompleks sudah pulang, hanya tinggal keluarga inti yang memenuhi ruangan. Mami Dewi menepuk sofa kosong di sampingnya, aku dan Dewa duduk berdampingan. Mereka terlihat tersenyum penuh arti, berbeda dengan Saka yang wajahnya begitu dingin. "Dewa, Kirana, ini ada titipan dari Bude Lasmi. Beliau minta maaf karena tidak bisa hadir di acara istimewa ini. Pakde Marto sedang sakit, tidak bisa ditinggal. Apa lagi Dewi memberitahunya kami mendadak," kata Tante Isna sambil memberikan amplop ke tanganku. Satu persatu, keluarga Dewa memberikan amplop, ada juga yang memberikan kado. "Saka, katanya kamu mau memberikan hadiah untuk Dewa? Kenapa diam saja?" tegur Tante Isna. Tanpa bicara, Saka memberikan amplop coklat dan sebuah kunci ke arah Dewa. Entah apa isinya, karena aku tidak bisa melihatnya. Tapi, dari raut wajah Dewa yang sumringah, mungkin Saka memberikan sejumlah uang yang banyak. "Terima kasih, adikku. Kamu memang pengertian sekali. Besok kami akan kesana," ucap Dewa. Aku mengernyitkan kening, tidak mengerti. Memangnya Saka memberikan hadiah apa? "Sayang, Saka memberikan hadiah untuk kita berbulan madu di villa. Besok kita kesana," jelas Dewa seraya menatapku lembut. Apa? Saka menyewakan villa untuk kami berbulan madu? Ini tidak bisa dibiarkan. Sepertinya aku harus mengingatkan kembali isi perjanjian itu. "Ya sudah, kami pamit pulang," ucap Tante Isna berpamitan. Saka menepuk bahu Dewa, lalu melangkah pergi tanpa melihat ke arahku. Kami mengantar mereka sampai teras rumah, menunggu satu persatu mobil mereka pergi. Melihat semuanya meninggalkan rumah, kami kembali masuk ke dalam rumah. Namun, aku terkejut melihat Mami Dewi seakan menghadang kami. "Dewa, Kirana, sepertinya kita harus bicara serius," ucap Mami Dewi dengan nada tajam. "Mi, ada apa?" tanya Papi mertuaku. "Nanti Papi akan tahu sendiri kelakuan anak Papi ini," ketus Mami mertuaku. Aku dan Dewa saling memandang, tidak mengerti dengan situasi ini. Kenapa tiba-tiba Mami Dewi marah? Memangnya apa yang salah? Mami Dewi menghempaskan tubuhnya di sofa dengan kasar, seraya menatap kami dengan ekspresi yang sulit aku artikan. Aku mengikuti Mami duduk di sofa, bersebrangan dengan kedua mertuaku. Mami Dewi memberikan kertas ke arah suaminya. Aku dan Dewa terbelalak, melihat kertas yang sangat kami kenali. Ya Tuhan, jadi Mami mertuaku mengetahui perjanjian kontrak nikah kami. Tak berselang lama, bentakan terdengar dari Papi Brata, disusul isakan tangis Mami Dewi. "Dewa, jelaskan ini! Maksudnya apa?" tanya Papi Brata, jari telunjuknya menunjuk ke surat perjanjian nikah kontrak kami. Bisa kulihat wajah Dewa berubah pias, sedangkan Mami mertuaku terlihat wajahnya semakin marah dan kecewa. "Pi, Mi, Dewa bisa jelaskan ini semua," kata Dewa berusaha menenangkan. "Cepat jelaskan, Papi tidak suka mempunyai anak seorang pecundang. Kamu tahu mempermainkan pernikahan itu, Papi anggap pria itu seorang pecundang!" sentak Papi mertuaku. Aku bergidik ngeri melihat Papi mertuaku sangat marah. Beliau yang terlihat friendly dengan anak-anaknya, begitu melihatnya marah, aku begitu was-was. "Dewa, kamu sudah membuat Mami kecewa!" Mami Dewi kembali menangis. "Apa kamu tidak lihat akibat yang kalian lakukan? Lihat Mami kamu, Dewa. Mami sudah bahagia kembali, tapi dengan mudah kamu membuat Mami seperti ini lagi!" Papi Brata mengusap wajahnya kasar, begitu melihat istrinya lemas di sofa. "Mi, maafin Dewa," kata suamiku berdiri hendak mendekatkan diri ke wanita yang sudah melahirkannya. Sedangkan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Rasa bersalah begitu besar melihat Mami Dewa terluka dengan kebohongan kami lakukan. "Stop!" Mami Dewi menyuruh Dewa berhenti di tempat. "Mami, kita ke dalam, yuk. Wajah Mami pucat sekali," ajak Papi mertuaku. Dewa kembali menghempaskan tubuhnya di sofa dengan lesu. "Dewa, setelah ini Papi mau mendengar keputusan kamu," tegasnya lalu meninggalkan kami. Kedua mertuaku masuk ke dalam kamar, dengan penuh kecewa. Dewa masih terpekur, wajahnya begitu frustasi. Melihatnya seperti itu, ada rasa iba. Kupegang punggung tangannya, mungkin saja bisa sedikit mengurangi bebannya. Walau aku juga merasakan hal sama, rasa bersalah sudah membuat Mami Dewi kecewa dan terluka. "Kita bicarakan ini di dalam saja," ucapku pelan. Dewa mengangkat wajahnya, lalu dia menatapku lekat dengan mata berkaca-kaca. Tiba di kamar, beberapa saat kami terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Helaan berat terdengar dari Dewa di sampingku. Kami duduk di bibir ranjang, sampai akhirnya Dewa membalikkan badan menghadap ke arahku. "Rana, apa kamu mau melanjutkan pernikahan ini?" tanyanya serius. Aku menatap lekat garis wajahnya yang sempurna: hidung mancung dengan alis lebat seperti semut berjejer, bulu mata lentik dengan bibir begitu sensual. Aku yakin di luar banyak wanita yang menginginkannya menjadi suaminya. Seketika, sekelebat bayangan saat Dewa mencium bibirku membuat pipiku memanas. "Tapi, aku ...." "Rana, aku tidak mau membuat Mami sakit seperti saat kehilangan Deswita dulu," ucapnya dengan wajah sedih. "Sepeninggalnya Deswita, jiwa Mami terguncang. Kami melakukan berbagai cara agar Mami kembali seperti ceria lagi, ke psikiater, sampai berobat alternatif saran dari beberapa keluarga. Aku tidak mau Mami sakit seperti dulu." Untuk pertama kalinya, aku melihat Dewa menangis seperti anak kecil. Reflek, kupeluk dirinya, menepuk bahu kekarnya. "Kita tidak boleh membuat Mami terluka lagi," bisikku. Suamiku merenggangkan pelukannya, menatapku dengan wajah berbinar. "Kamu mau melanjutkan pernikahan ini?" tanyanya lagi. Kubalas dengan mengangguk yakin. Di rumah ini, aku menemukan keluarga utuh, aku tidak mau kembali kehilangan keluarga. Mami Dewi sudah kuanggap sebagai pengganti mama, mana mungkin aku membuat dia kecewa. "Kita temui Mami," ajak Dewa. Suamiku berdiri, lalu mengulurkan tangannya. Dengan senang hati, kusambut uluran tangannya. Kami bergandengan tangan ke kamar mertuaku. Dewa mengetuk pintu kamar Mami, tidak lama, sahutan terdengar dari dalam menyuruh kami masuk ke dalam kamar. Dewa memutar knop pintu, lalu membukanya. Pandangan pertama kulihat Mami sedang duduk bersandar di dinding ranjang, melihat kami, wajah Mami melengos, tidak mau menatap kami. Seketika, ada yang terluka di hati ini, wajah Mami begitu pucat. "Apakah kalian sudah membuat keputusan?" tanya Papi yang duduk di pinggir ranjang, seraya menatap kami. "Pi, kami sudah membuat keputusan. Kami akui kami salah sudah menipu Mami, Papi," sahut Dewa. "Mami malu kalau sampai kalian bercerai. Mau ditaruh di mana muka Mami? Mami sudah merencanakan resepsi pernikahan kalian, Mami tidak sanggup membayangkan seluruh keluarga jika tahu kalian hanya nikah kontrak," potong Mami dengan suara bergetar. "Mi, kami tidak akan membuat Mami kecewa lagi. Kami sudah membuat keputusan untuk melanjutkan pernikahan ini," balas Dewa. Wajah Mami yang tadi enggan melihat kami, akhirnya mau melihat kami lagi. "Kalian serius? Tidak membohongi kami lagi?" tanya Mami dengan mimik begitu serius. "Kami janji, Mi," ucapku barengan dengan Dewa. "Alhamdulillah," ucap Papi bersyukur. "Dewa, Papi kali ini percaya kalian tidak akan mengecewakan kami lagi. Kamu harus menjaga kepercayaan kami," pesan Papi. "Iya, Pi, Mi, kami janji," ucapku dengan Dewa. "Pi, mana surat perjanjian itu?" tanya Mami. "Buat apa, Mi?" tanya Papi. "Sudah, sini saja." Papi pun memberikan surat perjanjian itu ke tangan Mami. Aku dan Dewa kaget begitu Mami merobek kertas itu menjadi bagian kecil-kecil. "Dengan dirobeknya kertas ini, kalian tidak boleh bercerai seperti di perjanjian kontrak itu. Dan, Mami mau secepatnya kamu memberikan cucu untuk Mami." "Mi, membuat cucu untuk Mami tidak segampang itu," keluh Dewa. "Mami tahu, asal kalian berusaha, pasti kalian bisa punya anak. Contohnya, Mami, sebulan menikah, hamil kamu," sahut Mami. "Iya, deh. Terserah Mami, kami akan berusaha," sahut Dewa lemas. "Oh, iya, besok kalian akan ke villa buat bulan madu. Mami dan Papi ikut, Mami akan kasih resep agar cepat ngasih cucu ke kami." Mendengar ucapan Mami, pria di sampingku hanya mampu menggaruk kepalanya. Aku yakin dia sedang pusing memikirkan permintaan sang ibu. "Mi, jangan dipaksa. Apa lagi mereka belum saling mencintai, kita serahkan sama yang di atas. Biarkan mereka saling mengenal satu sama lain, lalu saling mencintai," sela Papi pengertian. "Pi, jangan lembek begitu. Mami melakukan ini juga demi mereka," tegas Mami. "Iya, deh, Papi kalah. Jadi, besok kita ke puncak, neh, Mi?" tanya Papi sambil mengedipkan satu matanya ke arah Mami. "Mata Papi kenapa? Kelilipan, ya?" tanya Mami. "Ih, Mami masa lupa kode Papi, seh. Kita nanti di villa ikutan bulan madu juga, ya." "Iya, juga ya, Pi. Kita bulan madu kedua." Mereka tertawa bersama. Aku dan Dewa hanya jadi penonton kemesraan mereka, walau pernikahan mereka sudah lama, mereka tetap terlihat romantis seperti pasangan pengantin baru. "Lebih baik kita tinggalkan mereka," bisik Dewa. Aku pun mengiyakan ucapan Dewa, memilih keluar dari kamar mertuaku. Rasanya lega, Mami kembali bahagia. Lebih baik aku mengalah, mungkin inilah takdirku menikah dengan Dewa, si pria galak. "Kirana, aku bantu bereskan barang-barang kamu," ucap Dewa. "Membereskan barang? Untuk apa?" tanyaku tidak mengerti. "Kamu itu sudah menjadi istriku, memangnya kamu mau tidur di kamar tamu terus? Istri itu harus ikut ke mana pun suami pergi." "Tidak usah dijelaskan, aku sudah tahu," ketusku. "Kalau sudah tahu, sekarang kamu bereskan pakaian kamu, lalu pindahkan ke kamarku di lantai atas," perintahnya dengan tingkah sok berkuasa. "Jangan mentang-mentang kamu suamiku, memerintahku seenaknya saja. Sekarang itu zamannya emansipasi wanita, kedudukan kita sama," balasku ketus. "Ish... Ish, memangnya kamu tidak pernah dengar ceramah? Seorang istri itu harus patuh dengan suami." Kuputar bola mata malas, dia membawa-bawa agama. Aku juga tahu tugas istri tidak perlu dijelaskan lagi. Akhirnya, tanpa membalas perkataannya, aku masuk ke dalam kamar mengambil koper di atas lemari. "Biar aku bantu." Tiba-tiba Dewa sudah berdiri di sampingku mengambil alih koper dari tangan ini. Dengan cekatan, pria itu membuka lemari, lalu mengambil satu persatu pakaian milik mendiang Deswita yang aku pakai ke dalam koper. "Aku memang belum beli pakaian, semua milik mendiang Deswita--adik Dewa yang sudah meninggal, kebetulan muat di badan ini." "Rana, nanti aku transfer uang bulanan untuk kamu. Kamu bisa membeli baju baru dan kebutuhan wanita kamu," ucapnya. "Terima kasih, tapi tidak perlu. Aku punya uang untuk kebutuhanku sendiri," tolakku. Dewa menaruh pakaian yang sedang dia pegang di atas ranjang, lalu berbalik menghadap ke arahku. "Mau tidak mau, kita sudah menjadi suami istri, dan kewajibanku menafkahi kamu. Aku tidak mau Mami marah karena aku tidak memberikan kamu uang nafkah," tegasnya. Baru beberapa menit dia baik dan berkata lembut, sekarang kembali sikap galaknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN