Bab 6. Mengaku Sahabat Tapi Ingin Memiliki

1300 Kata
Aku membereskan kosmetik di atas meja rias. Sedangkan, Dewa menggeret koper sudah terisi pakaian keluar kamar. Aku mengikutinya dari belakang menuju lantai dua. Kuedarkan ke penjuru kamar, walau pernah sekali ke kamarnya, tapi aku tidak memperhatikan setiap sudut kamar. Lumayan juga kamar ini untuk ukuran pria dewasa, begitu rapi dan estetik desain interiornya, warna catnya juga soft membuat pemilik betah berlama-lama di kamar. "Kenapa? Ada yang kurang dengan kamar ini?" tanyanya. "Oh, kamu pasti butuh meja rias, nanti kamu bisa beli yang meja rias. Di sudut sana masih ada tempat untuk meja rias," lanjutnya. Ternyata Dewa peka juga kebutuhan wanita. "Apa boleh aku membeli sesuatu untuk kamar ini? Karena kita sudah suami istri, aku ingin membeli semua kebutuhanku, dan kamu tidak boleh keberatan kalau aku menambah interior kamar ini." Dewa menatapku sejenak, lalu dia menganggukkan kepalanya tanda setuju aku mengubah kamarnya. Baiklah, karena ini kamarku juga, aku akan membuat kamar ini sesuai seleraku. Dreet ... Dreet! Suara telepon terdengar dari ponsel Dewa, pria itu gegas merogoh saku celananya. Aku hanya melirik sekilas, kemudian melanjutkan membereskan pakaianku. "Apa? Kamu sekarang sudah balik di Indonesia? Ok, sekarang juga aku akan menjemputmu," ucap Dewa disambungan telepon entah dia sedang berbicara dengan siapa. Mau bertanya rasanya segan, walau dia sudah menjadi suamiku. Setelah mematikan sambungan telepon, dia mengambil jaket yang digantung di lemari. "Rana, aku harus pergi. Temanku minta dijemput di bandara. Kamu lanjutkan sendiri ya," pungkasnya. "Iya," jawabku. Dewa menyambar kunci mobil di atas meja kerjanya, namun saat membuka pintu kamar, ternyata Mami sudah berdiri di depan pintu kamar kami. "Loh, Dewa, kamu mau kemana?" tanya Mami sembari mengerutkan kening melihat putranya sudah rapi. "Mau menjemput Clara, Mi. Dia sudah kembali dari Indonesia." "Clara sudah balik dari Indonesia, kalau begitu kebetulan sekali kamu ajak Kirana menjemput Clara, terus bawa dia ke rumah kita untuk makan malam bersama. Teman kecil kamu juga harus tahu kamu sekarang sudah menikah, biar nanti Clara bisa merubah sikap manjanya sama kamu karena mulai sekarang kamu sudah beristri, jadi tidak boleh seenaknya bawa suami orang," ucap Mami dengan wajah serius. "Kirana, Sayang. Kamu temani suami kamu, walau mereka berteman sedari kecil tapi mulai sekarang kamu berhak membatasi Dewa agar tidak memanjakan sahabat kecilnya," ucap mami begitu lembut. "Tapi, Mi. Aku dan Clara hanya teman, kasihan Clara di Indonesia tidak punya siapa-siapa masa aku harus menjauhinya," protes Dewa. Mami menghela napas pelan, lalu memandang putranya. "Dewa, mami itu seorang wanita. Mami tahu perasaan Clara sama kamu, kamunya saja tidak peka. Mami hanya tidak mau hubungan kamu dengan Kirana rusak. Mami juga menyayangi Clara seperti anak mami sendiri, tapi disini mami sebagai orang tua hanya mengingatkan kamu sebagai kepala rumah tangga harus punya batasan dengan teman wanita," jelas mami begitu pengertian. "Baik, Mi. Kirana kamu cepat bersiap, aku tunggu di bawah," titah Dewa. Pria itu melangkah keluar meninggalkanku dengan mami tanpa membantah ucapan mami. "Mi, terima kasih," ucapku. "Jangan terima kasih, ini sudah menjadi kewajiban mami untuk mengingatkan anak mami. Mami tidak mau kedekatan Dewa dengan Clara membuat kamu sakit hati." "Iya, Mi." "Oh, iya. Mami sampai lupa, mami ke sini mau ngasih kamu ini. Karena kamu sudah menjadi menantu di rumah ini, kamu berhak memakainya, ini kalung turun temurun keluarga kami yang nanti diberikan ke menantu di rumah ini," terang mami sembari memperlihatkan kalung dengan liontin berwarna biru Rubi, begitu cantik. "Ini buatku, Mi?" tanyaku masih tidak percaya. Kalung itu terlihat banyak sejarahnya, apa aku pantas memakainya. "Iya, sini mami pakaikan." Kugulung rambut hitam panjangku ke atas, dengan penuh kelembutan mami memakaikan kalung itu di leher ini. "Cantik sekali kamu memakai kalung ini, Kirana," puji mami. "Terima kasih, Mi," ucapku penuh haru. "Sama-sama, Sayang. Oh, iya, sebaiknya kamu cepat bersiap Dewa pasti marah kalau kamu lama," ucap mami. "Iya, Mi." Satu jam berlalu, mobil Dewa sudah memasuki bandara. Sengaja aku menunggu Dewa di parkiran, biar saja dia menyambut teman kecilnya sendiri. Tak berselang lama, aku melihat Dewa dan seorang perempuan cantik dengan rambut blonde seperti orang bule menggandeng mesra suamiku seakan mereka pasangan kekasih. Dewa bahkan menggeret koper sahabat kecilnya. Perempuan itu begitu manja dengan Dewa, sesekali dia mencubit pipi Dewa sambil berjalan kearah mobil. Aku sengaja berpura-pura tidur saat perempuan itu akan membuka pintu mobil disamping kemudi. "Loh, Dewa gadis ini siapa?" tanya Clara. Aku membuka mata seolah baru bangun tidur. "Clara, dia Kirana istriku," ucap Dewa memperkenalkanku. Sontak gadis cantik berkulit putih dengan bola mata berwarna coklat itu terbelalak kaget, melihat wajahnya syok kuberikan senyum termanisku. Jika dilihat wajahnya, bau-baunya Clara menyukai Dewa seperti ucapan mami. Aku harus waspada, mami juga berpesan agar aku bisa menjaga Dewa. "Dewa kamu tidak sedang bercanda, kan? Hari ini bukan ulang tahunku atau pun April mop," ocehnya masih belum juga percaya dengan kenyataan di depan mata. "Clara, aku tidak bercanda. Kami baru menikah beberapa jam yang lalu," jelas Dewa tepat disamping sahabat kecilnya. "What?!" Wajah itu semakin syok. "Iya, Mbak Clara. Aku dan Dewa baru beberapa jam lalu menikah, seharusnya malam ini kami berbulan madu tapi karena Dewa ingin menjemput kamu, kami tunda dulu," ucapku berpura-pura sedih karena rencana malam pertamaku gagal. Mulut Clara melongo kaget, dia memijit pelipisnya. "Ini tidak mungkin," ucapnya dengan tubuh lemas. Melihat Clara lemas dengan sigap Dewa disamping Clara memegang bahu sahabatnya agar tidak terjatuh. Melihat perhatian Dewa, entah kenapa ada perasaan tersentil di hati ini. "Clara kamu tidak apa-apa?" tanya Dewa khawatir. Kini bola mataku yang terbelalak kaget melihat Dewa begitu perhatian, sepertinya gadis itu sengaja mengambil kesempatan dalam kesempitan, Clara menyenderkan kepalanya di d**a bidang suamiku. Dia menangis tersedu, mungkin tidak bisa menerima kenyataan kalau sekarang sahabatnya sudah milik orang lain. Aku menahan geram, ketika Clara melirikku sambil tersenyum seakan mengejekku karena di peluk suamiku. "Kepalaku sakit, Dewa," lirihnya manja. "Mas Dewa sebaiknya kita bawa Mbak Clara ke rumah sakit saja, siapa tahu ada penyakit serius di tubuhnya," ucapku berpura-pura ikut khawatir. Akhirnya, untuk pertama kalinya aku memanggilnya mas. "Dewa, aku tidak sakit separah itu. Aku hanya pusing mungkin mabok pesawat. Oh, iya. Kata kamu Tante Dewi menyuruhku ke rumah, aku mau kesana saja sudah kangen sama masakan Tante Dewi," balasnya masih dengan wajah lemas. "Ya sudah, ayo kita ke rumah." Dewa yang hendak membuka pintu mobil bagian belakang, Clara menahannya. "Dewa, aku mau duduk di depan. Kalau di belakang kepalaku semakin pusing, aku tidak terbiasa duduk dibelakang," keluh Clara. Dewa menatapku, mungkin meminta persetujuan kalau aku harus mengalah. Kubalas dengan tatapan tajam, tidak lupa kugelengkan kepala tegas menolak permintaan konyol Perempuan itu. "Mbak Clara, maaf ya, aku ini istri Dewa. Jadi, yang pantas duduk disamping Dewa hanya aku. Kalau kamu tidak mau duduk dibelakang, aku bisa pesankan taksi online. Mbak Clara bisa bebas duduk di samping pengemudi," balasku selembut mungkin. Clara menghentakkan sepatu hak tingginya, kesal. Dia pikir aku akan mengalah, jangan mimpi. "Ya sudah, aku duduk dibelakang saja," ocehnya sembari memanyunkan bibirnya. Aku tersenyum puas, akhirnya dia kalah dan duduk dibelakang. Tiba di rumah, mami menyambut kami. Clara terlihat manja ke mami, suaranya juga dibuat-buat mendayu-dayu agar semua orang perhatian dengannya. Sejak turun dari mobil sengaja kugandeng Dewa, dan bersyukur pria itu tidak protes dia membalas menggenggam jemariku. "Tante, apa kabar? Clara kangen sekali sama Tante," ucap Clara sambil cipika-cipiki. "Alhamdulillah, Tante baik. Kamu sendiri gimana Clara kabarnya?" tanya mami balik. "Clara baik, Tan." Selesai melepas kangen Clara dengan mami mertuaku, mami mengajak kami makan malam. Di atas meja sudah terhidang banyak menu menggugah selera. "Wah, Tante pasti sengaja memasak ini untuk menyambut kedatanganku ya? Terima kasih, Tan," ucap Clara begitu percaya diri sekali. Mami mertuaku tersenyum melihat gadis disampingnya begitu sumringah. "Clara, tante memasak banyak karena ingin merayakan pernikahan Dewa dan juga Kirana," balas mami. Seketika senyumnya memudar mendengar penuturan mami. Spontan aku tertawa melihat wajah Clara membeku di tempat. Dia pikir dia siapa sampai disambut, memangnya anak presiden. Melihatku tertawa, wajah Clara memerah seraya mengepalkan kedua tangan tandanya dia begitu marah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN