"Hei, ada apa ini? Sepertinya kalian bahagia sekali?" tanya papi mertuaku yang baru keluar dari kamar menghampiri kami.
"Om, gimana kabarnya?" tanya Clara sembari menyalami papi mertua.
"Wah, ada Clara ternyata. Kabar om baik, Burhan gimana kabarnya?"
"Papa baik, Om. Tapi, semenjak mama meninggal kesehatan papa sering menurun," jelas Clara begitu akrab.
"Kamu harus menjaga papa kamu Clara, Burhan hanya punya kamu. Om doakan semoga papa kamu cepat sehat kembali."
"Terima kasih doanya, Om."
"Eh, ada Kak Clara." Dion yang baru keluar kamar menyapa Clara.
"Hai, Dion apa kabar. Kamu sudah besar ya, tambah ganteng saja," puji Clara, sepertinya Clara pintar mengambil hati keluarga ini.
"Kak Clara bisa saja, Kak Clara juga makin cantik. Nanti pria yang menjadi suami Kak Clara pasti beruntung mendapatkan wanita cantik, cerdas, mandiri, mapan seperti kakak," puji Dion sembari melirik kearah Dewa.
"Nanti saja ngobrolnya, kita makan dulu pasti kalian sudah lapar." Mami sepertinya sengaja memotong obrolan putra bungsunya.
"Iya, papi udah lapar," sahut sang suami.
Kami duduk di tempat masing-masing, awalnya Clara mau duduk disamping Dewa berhubung aku sudah lebih dulu duduk disamping suamiku, gadis itu mengalah duduk disamping Dion tepat di depan Dewa hanya dibatasi meja makan.
Aku mengambilkan nasi di piring Dewa, untuk pertama kali aku melayani suamiku. Dewa menatapku lalu tersenyum manis sekali, sengaja kubalas senyumannya dengan penuh cinta. Ah, semoga aku nggak diabetes.
"Aduh, mentang-mentang pengantin baru yang lain berasa ngontrak," sindir mami menggoda kami.
Aku tersipu malu saat yang lain melihatku, apa lagi kulihat Clara meremas kuat sendok dan garpu yang dia pegang.
"Kan sudah kewajiban seorang istri melayani suami, Mi," balasku.
"Iya, Sayang. Tugas istri harus melayani suami 24 jam," balas mami.
Tanpa bicara lagi kami makan bersama dengan lahap, masakan mami benar-benar juara. Andai tidak banyak orang dan tidak ada si Clara mungkin aku sudah nambah nasi dua piring.
"Tante, boleh tidak malam ini aku tidur di sini. Tante kan tahu rumah di Menteng semenjak aku dan papa di luar negeri tidak ada yang mengurusnya. Besok aku akan menyuruh orang untuk membersihkan rumah dulu," pinta Clara dengan wajah dibuat memelas.
Mami mertua melihat kearahku, mungkin beliau tidak enak denganku. "Aku mohon, Tan. Aku takut kalau tidur di sana sudah 2 tahun rumah itu kosong terus belum dibersihkan." Mohon Clara seraya menangkupkan tangan di d**a.
"Kak Clara boleh tinggal disini sementara waktu," sahut Dion.
"Dion, kamu apa-apaan membuat keputusan tanpa persetujuan mami," tegur Mami mertua.
"Mi, memangnya ada yang salah? Dulu, Kak Clara sering menginap disini boleh, tapi sekarang kenapa mami nggak bolehin Kak Clara menginap disini," protes Dion.
"Sekarang sudah beda, Dion. Abang Dewa sudah menikah, nanti apa tanggapan tetangga kalau ada gadis lajang menginap di sini," jawab mami memberi pengertian sang putra bungsu.
"Bedanya apa, Mi? Mau Bang Dewa sudah menikah atau belum sama saja. Dulu, waktu orang tua Kak Clara ke luar negeri mami mengizinkan Kak Clara menginap disini," bantah Dion.
Mami mertua melihat kearahku, dari wajah beliau sepertinya kebingungan.
"Mi, aku tidak apa-apa Mbak Clara sementara menginap disini," ucapku akhirnya buka suara. Aku tidak mau mami dan Dion berdebat.
"Kamu tidak apa-apa, Rana?" tanya mami sekali lagi.
"Aku nggak apa-apa, Mi. Toh, besok juga aku dan suamiku mau bulan madu di puncak, jadi tidak masalah," jawabku dengan semangat ingin memanas-manasi Clara.
"Oh, iya, Mami sampai lupa. Besok kalian mau bulan madu, jadi tidak apa-apa Clara menginap di sini," balas Mami.
Aku tertawa puas di dalam hati, Clara pasti berpikir dengan menginap di sini, dia bisa mendekati suamiku. Jangan harap ya!
Kusunggingkan senyum sinis ke arah Clara yang kembali terkejut.
"Jadi, besok Dewa mau pergi ke Puncak?" tanya Clara dengan wajah pucat.
"Iya, Saka memberikan hadiah pernikahan dengan menyewakan villa untuk bulan madu Dewa dan Kirana, supaya kami secepatnya dikaruniai cucu," sahut Mami dengan entengnya, tanpa melihat perubahan wajah lawan bicaranya yang menegang.
"Dan, satu lagi, Tante sama Om juga akan ikut ke villa. Anggap saja bulan madu kedua," imbuh Mami mertua menjelaskan ke Clara.
Dada Clara naik turun, melihatku tersenyum mengejeknya.
"Lalu, aku sama siapa?" tanya Clara dengan suara bergetar, sepertinya gadis itu sebentar lagi akan menangis.
"Ada Dion, nanti kamu ditemani Dion," balas Papi mertua.
Dion di samping Clara hanya diam, tidak protes lagi. Toh, keinginannya mengizinkan Clara menginap di sini sudah aku setujui.
"Tapi aku pulang ke Indonesia mau sama Dewa, Tan. Aku mau mengajak Dewa jalan-jalan, nonton seperti dulu. Dua tahun aku tidak ketemu Dewa," lirihnya begitu sedih.
"Clara, kamu bukannya akan menetap di Indonesia? Kapan-kapan saja kita jalan-jalan, nonton. Sekarang aku sudah punya istri, aku harus memprioritaskan istriku dulu," balas Dewa.
Akhirnya, tangis Clara pecah.
"Kamu jahat, Dewa! Aku ini sahabat kamu dari kecil, sedangkan dia baru kenal kamu dan baru jadi istri kamu. Kenapa aku yang harus mengerti? Aku di sini nggak punya siapa-siapa, hanya kamu, Dewa, orang yang bisa menjagaku," isaknya dengan histeris.
Ini akibat Dewa selalu memanjakan sahabatnya, dia tidak bisa membedakan status sahabat dengan status seorang istri yang lebih berhak.
Mami melihat Clara menangis, beranjak dari tempat duduknya, lalu mendekati Clara. Beliau merengkuh bahu Clara dengan lembut, seperti seorang ibu ke anaknya.
Aku merasa cemburu melihat Mami mertua memperlakukan Clara seperti memperlakukan aku, menantunya.
"Clara, tante tahu kamu kecewa dengan keadaan ini. Tapi, Clara juga harus mengerti mulai sekarang Dewa bukan pria single lagi, Dewa sudah memiliki istri. Dewa harus memprioritaskan istrinya, itu sudah menjadi kewajiban seorang suami. Nanti kalau Clara menikah akan mengerti." Mami mertua berusaha menasehati Clara dengan penuh kesabaran dan kelembutan.
"Kenapa Dewa tidak menikahiku kalau akhirnya aku harus jadi nomor dua. Aku sudah kenal Dewa lebih dulu, bukan dia!" bentak Clara seraya menunjuk wajah ini. Ternyata Clara gadis keras kepala, tidak juga mengerti ucapan mami.
"Clara, Dewa dan Kirana sudah di takdirkan berjodoh sama Allah. Kamu dan Dewa di takdir hanya sebagai sahabat, Tante mohon Clara jangan seperti ini." Bahkan, mami mertuaku memohon pengertian Clara.
Clara membuang pandangan, melengos dia juga mengusap air matanya dengan kasar. "Baik, aku akan terima semuanya. Tapi, Kirana jangan pernah melarang Dewa kalau pergi denganku. Kamu hanya kebetulan berjodoh dengan Dewa, sedangkan aku sahabat Dewa sejak kecil," tegasnya.
Ya Tuhan, pernikahan seperti apa ini? Apa kah aku akan kuat menjalani pernikahan ini dengan campur tangan orang ketiga dengan label sahabat kecil.