Mami dan papi pun pamit pulang bersama Clara. Suasana di dalam ruangan seketika hening tinggal aku dan Dewa. Pria itu mengotak-ngatik ponselnya, aku dicuekin.
"Ohok-ohok." Aku sengaja berpura-pura batuk. Dewa mengangkat wajahnya lalu menaruh ponselnya kembali kedalam saku celananya.
"Kamu haus?" tanya Dewa perhatian.
"Iya," jawabku bohong.
Tangan pria itu mengambil sebotol air mineral dari atas nakas, kemudian membukanya. Tak lupa Dewa juga membantuku meminum air mineral itu. Andai saja kita menikah karena cinta, perhatian sekecil yang dia lakukan pasti membuatku sangat bahagia.
"Terima kasih, Mas," jawabku.
Dewa menatapku sambil mengerutkan keningnya. "Tadi kamu panggil aku apa?" tanyanya dengan wajah heran.
"Mas, bukankah kita sudah menjadi suami istri. Rasanya tidak pantas saja aku hanya memanggil nama, itu pun aku diajari Adel memanggil nama kamu, Mas," kataku malu-malu.
"Adel? Dia saja masih kecil sudah mengajari orang dewasa ada-ada saja," sahutnya sambil terkekeh. "Oh, iya, Rana. Aku minta maaf gara-gara Clara kamu jadi terluka," cicitnya.
"Kamu sudah mengatakan ini berulang kali, Mas. Aku sudah memaafkan dia," jawabku.
"Rana, jika kamu tidak nyaman dengan pernikahan ini. Nanti aku buat perjanjian kontrak lagi, kali ini aku janji mami dan papi tidak akan tahu lagi."
Seketika hati ini rasanya sakit sekali, kupikir dia meminta melanjutkan pernikahan karena ingin serius denganku. Cepat kubuang pandangan kearah lain saat buliran bening tanpa permisi hampir lolos begitu saja di kedua netra ini.
Sial! Aku tidak bisa mengusap air mataku sendiri, satu tangan diinfus dan satu lagi diperban. Aku mohon air mata berhenti, aku tidak mau Dewa melihatku menangisinya.
"Kirana kamu tidak apa-apa?" tanyanya berusaha memegang wajah ini. Kugelengkan kepalaku, tanpa melihat wajahnya. "Kirana, lihat sini," bentaknya. Dewa akhirnya berhasil membuatku menghadap kearahnya.
"Kamu menangis? Apa ada yang sakit?" tanyanya panik.
"Aku nggak sakit, hanya tiba-tiba kangen kedua orang tuaku," jawabku bohong.
Dewa menghela napas panjang. "Kupikir kamu menangis karena kita membicarakan kontrak perjanjian kita. Ya sudah, jangan menangis lagi," ucapnya pelan. Namun, aku sedikit menangkap ekspresi wajah Dewa kecewa. Perlahan dia mengusap lembut pipiku.
"Terima kasih," kataku dengan suara bergetar.
"Sama-sama. Oh, iya, untuk panggilan mas aku setuju. Mami pasti suka melihat kita saling memanggil nama kesayangan. Nanti aku memanggil kamu apa ya?" tanyanya terlihat wajahnya sambil berpikir.
"Sayang saja atau istriku lebih romantis," ucapku memberi usul.
Aku tersentak kaget ketika pria itu menyentil hidungku pelan. "Istriku sayang memang pintar."
Pagi pun menyapa, Dewa sudah mengurus administrasi kepulanganku. Dikarenakan lukanya tidak serius, hari ini aku diperbolehkan pulang oleh dokter. Dengan telaten suamiku mendorong kursi roda menuju mobilnya, sebenarnya aku bisa jalan sendiri karena yang terluka itu tangan bukan kaki. Akan tetapi, Dewa tidak mengizinkannya takut tiba-tiba aku pingsan lagi masih lemas.
Satu jam berlalu, mobil sampai rumah. Di depan pintu mami, papi, Dion menyambutku. Mereka begitu bahagia melihat kedatanganku. Kami mengobrol sebentar lalu masuk ke dalam rumah, sejak tadi kami mengobrol tidak melihat adanya tanda-tanda Clara di rumah ini. Apa gadis itu tidak jadi menginap di rumah ini. Baguslah kalau begitu.
"Mi, Clara kemana?" tanya Dewa. Pria itu ternyata sepemikiran denganku.
"Oh, tadi Clara keluar sebentar katanya ada perlu," sahut mami. Kupikir dia tidak jadi menginap disini.
"Oh," balas Dewa.
"Kirana, mami dan papi sudah menyiapkan semua keperluan kita untuk ke Villa. Mami juga sudah menyiapkan pakaian kalian selama di Villa jadi kalian tinggal berangkat."
Mami menunjuk beberapa koper yang sudah berjejer di pojokkan. Aku dan Dewa beradu pandang, menatap heran koper-koper itu kenapa banyak sekali. Memangnya kita menginap di sana berapa hari.
"Mi, tidak salah membawa koper sebanyak itu?" tanyanya Dewa.
"Itu bukan hanya koper kalian, tapi ada koper mami, papi, Dion, dan juga Clara," sahut mami.
"Apa? Kalian ikut semua," ucap Dewa kaget.
"Kamu tenang saja, kami menyewa villa lain. Semalam Clara menangis meminta ikut ke Villa kata dia ingin sekali liburan, mami bingung harus menolaknya. Jadi, mami dan papi sepakat menyewa villa lagi agar tidak menggangu kalian bulan madu," jelas mami.
"Pagi semuanya," sapa Clara begitu ceria. "Kirana, syukurlah kamu sudah pulang." Clara mendekatiku lalu memelukku. Aku sengaja tidak membalas pelukannya. Ada yang aneh, aku harus waspada pasti dia memiliki rencana untuk mengganggu aku dengan Dewa. Karena tidak ada balasan dari aku, gadis itu mengurai pelukannya.
"Clara sudah datang, lebih baik kita berangkat sekarang saja," usul mami.
Papi, Dewa, Dion memasukkan semua koper ke dalam mobil. Koperku dan Dewa dimasukkan ke dalam mobil Dewa sedangkan koper mami, papi, Dion, Clara dimasukkan ke dalam mobil papi. Syukurlah aku tidak semobil dengan Clara.
Aku, mami, Clara menunggu mereka selesai memasukkan koper ke dalam bagasi mobil. Sejak tadi kulihat Clara senyum-senyum sendiri melihat kearah Dewa. Dalam keadaan berkeringat pun Dewa tetap tampan dan mempesona, pantas saja Clara terlihat cinta mati dengan Dewa.
Ya, aku punya ide, kuulaskan senyum licik kearah Clara, akan kubuat kesenangannya memandang suami orang terganggu. Selama Dewa masih menjadi suamiku, takkan kubiarkan wanita mana pun mengganggunya termasuk sahabat kecilnya.
Kulihat Clara mengambil sapu tangan dari saku jaketnya, Ternyata benar dia ingin mencari perhatian Dewa dengan memberikan sapu tangannya untuk mengusap keringat di wajah suamiku. Sayangnya, aku sudah mengetahui niat liciknya.
"Mas," panggilku dengan suara semanja mungkin. Kudekati Dewa sebelum keduluan Clara, kuusap wajah pria tampan di depanku dengan tisu yang sejak tadi aku pegang. "Wajah kamu berkeringat, Mas."
"Ih, kalian sosweet banget, seh." Mami menggodaku dengan Dewa. Sengaja aku tersenyum malu-malu di depan mami, sambil sesekali melirik Clara yang sedang menahan amarah disamping mami.
"Semuanya sudah siap, kita berangkat," ucap Dewa.
Dewa membuka pintu gerbang dengan lebar agar mobil kami bisa keluar dari dalam rumah. Aku dan Dewa kembali ke dalam mobil, kami pun berangkat ke Villa di puncak.
Mungkin karena baru keluar dari rumah sakit, aku sampai ketiduran selama di perjalanan. Dewa membangunkanku karena mobil kami sudah memasuki kawasan puncak. Mobil kami melewati beberapa Villa dengan jalan menanjak. Kulirik dari kaca spion mobil papi mertua tepat di belakang mobil kami.
"Masih jauh villanya?" tanyaku.
"Sebentar lagi, villanya paling atas," sahut Dewa. Matanya masih fokus ke depan, jalan yang tidak lebar dengan sisi kiri jalan adalah jurang Membuat Dewa harus berhati-hati menyetir. Sampai di atas aku melihat ada beberapa Villa yang berjarak tidak saling berdekatan, kalau naik mobil hanya kemungkinan hanya 5 menit, tapi bila jalan kaki bisa sampai 15 menit karena Jalanan menurun.
Dewa menghentikan mobilnya, bapak paruh baya membukakan pintu gerbang.
"Selamat sore, Den," sapa bapak itu begitu ramah.
"Pagi, pak. Saya Dewa dan istri yang mau menginap di villa ini," ucap Dewa.
"Oh, Den Dewa. Silahkan masuk, Den." Bapak itu mempersilahkan mobil kami masuk ke dalam villa. Kami membuka pintu mobil, kuhirup udara begitu menyegarkan paru-paru.
Mobil papi dibelakang kami ikut masuk ke dalam Villa. Mereka pun turun, mami melihat-lihat sekeliling villa.
"Villanya bagus, ya. Saka memang pintar memilih villa untuk pengantin baru," goda mami.
"Pi, Villa kita bagus nggak seperti ini?" tanya Dion sambil merapatkan jaketnya.
"Kamu tenang saja, villa yang papi sewa sama bagusnya, kok," sahut papi.
"Villa kita yang mana, Pi?" tanya mami mertua.
"Itu yang dibawah, yang tadi kita lewati." Tunjuk papi.
Clara berjalan mengelilingi Villa sambil tersenyum. Aneh, sejak tadi gadis itu senyum-senyum. Apa mungkin ada yang sedang dia rencanakan? Sepertinya aku harus hati-hati. Dewa sedang berbincang-bincang dengan penjaga Villa
"Mi, kalian benar nggak mau bareng di villa ini?" tanya Dewa.
"Kami tidak mau mengganggu kalian bulan madu," sahut mami.
"Ya sudah, kalian masuk sana. Kami mau ke villa kami, kalau kalian butuh kami tinggal telepon kami saja," ucap papi berpesan.
Mereka kembali ke dalam mobil, sebelum Clara masuk ke dalam mobil dia menatapku dengan sengit. Kubalas dengan menjulurkan lidah untuk mengejeknya. Koper kami dibawa penjaga villa, Dewa menggandengku masuk ke dalamnya.