Bab 10. Baju Dinas Biang Masalah

1236 Kata
Aku menatap takjub villa ini karena begitu indah, dengan bangunan hampir sebagian terbuat dari kayu. Kulihat ada beberapa kamar, kami memilih kamar bawah, sebenarnya ada kamar juga di lantai 2 penjaga villa menjelaskan semua ruangan di villa ini. Villa ini tidak begitu luas, di lantai atas ada dua kamar, di lantai bawah ada 3 kamar, di belakang ada taman kecil kata penjaga untuk bersantai sambil minum kopi. Ada kolam renang juga tidak terlalu besar, dapur dan ruangan keluarga terhubung hanya tersekat dinding tingginya hanya sepinggang orang dewasa, ada mini bar juga. "Den, kalau lapar di villa ini sudah menyediakan semua bahan makanan yang siap diolah. Kalau Den Dewa dan istri membutuhkan Koki untuk masak, istri bapak siap memasakkan untuk kalian," terang penjaga Villa yang bernama Pak Asep. "Terima kasih, Pak. Nanti kalau kami butuh bapak, kami panggil bapak," jawab Dewa. "Baik, Den. Bapak dan istri tinggal dibelakang villa ini, ini nomor bapak sewaktu-waktu Den Dewa membutuhkan kami." Bapak penjaga villa menyebutkan nomor teleponnya untuk kami simpan. "Kalau begitu bapak pulang dulu, besok pagi bapak dan istri ke sini untuk membersihkan villa," ucap Pak Asep berpamitan. Selepas kepergian bapak penjaga Villa, Dewa memasukkan koper ke dalam kamar. Kubuka koperku, rasanya sudah lengket ingin segera berganti baju. Mataku terbelalak melihat hampir seluruh pakaianku ternyata kurang bahan. Kuangkat baju berukuran mini transparan berwarna merah terang. "Baju apaan ini," gerutuku. Dewa yang posisinya dibelakang mendekatiku. "Ada apa?" tanyanya. "Mami masa naroh baju-baju seperti ini di koperku." Kutunjukkan beberapa baju yang masih di dalam koper. Dewa yang melihatnya hanya tersenyum. "Kamu memang tidak tahu ini baju apa?" tanyanya sambil menatap mataku dengan lekat. "Aku nggak tau ini baju apa," jawabku kesal. Aku tadi bertanya kenapa dia malah balik bertanya. "Ini namanya lingerie bahasa emak-emak baju dinas untuk melayani suami," terang Dewa. "Apa? Jadi aku disuruh pakai baju ini? Bisa-bisa aku masuk angin," ujarku kesal. Ini aja sudah dingin banget padahal aku memakai jaket, gimana hanya pakai baju seperti itu bisa mati membeku. "Kalau nggak suka jangan dipakai." "Tapi, lihat mami membawakan bajuku tidak banyak. Disini dingin aku butuh baju lebih tebal lagi," keluhku. Dewa membuka kopernya, lalu dia mengambil jaketnya yang tebal. "Kamu pakai ini, bahannya tebal pasti kamu akan hangat." Dia memakaikan jaketnya ke tubuhku. "Terima kasih." "Sebaiknya jangan mandi, pasti airnya dingin. Luka kamu belum kering," ucap Dewa berpesan. Siapa yang mau mandi, aku cuma mau ganti baju saja. Mana berani aku mandi dengan air seperti air es. Cuaca dingin membuat perutku keroncongan karena lapar, Dewa melirikku lalu bangkit dari tempatnya duduk menuju pintu. "Mau kemana?" tanyaku mengekorinya. "Kamu kan lapar, kita harus masak," sahutnya terus melangkah kearah dapur. Kulihat jam di tembok sudah pukul 18.40, tapi kenapa Suasananya sedikit mencekam. Apa karena kita berdua saja di villa ini. Dewa membuka kulkas, di dalamnya penuh dengan bahan masakan yang siap diolah. Aku mendekati Dewa ingin mengambil alih bahan-bahan dari tangannya, masa dia yang harus masak. Aku istrinya yang akan melayaninya "Biar aku yang masak," kataku. "Tangan kamu masih sakit, biar aku saja yang memasak. Kalau untuk urusan masak seperti ini aku juga bisa," ucapnya agak sombong. Aku mencebik bibir meremehkan melihat lagaknya seperti chef profesional yang sering tayang di televisi. Karena tidak mau dibantah akhirnya aku pasrah duduk di kursi mini bar, mulutku menganga kaget melihat tangan Dewa dengan lincah mencincang seluruh bumbu dengan pisau dapur. Tangannya bahkan tidak kaku seakan sudah terbiasa melakukannya. Aku menunggu masakkan sambil terkantuk-kantuk, bau wangi seketika menguar memenuhi penjuru ruangan. Kulirik di atas kompor nasi goreng Seafood sedang diaduk-aduk olehnya. Tangannya lihai membolak balikkan penggorengan tanpa terjatuh sebutir nasi goreng di dalamnya. "Kamu sudah lapar, ya. Lihat itu ilernya mau menetes," ejeknya sambil terus mengaduk-ngaduk masakannya. "Enak saja aku ileran," seruku kesal. "Sebentar lagi nasi gorengnya matang, kamu sabar ya." Seperti anak kecil aku mengangguk patuh tanpa protes walau di dalam perut sudah protes ingin cepat diisi. Tak sampai 5 menit, Dua piring nasi goreng seafood sudah terhidang di depanku. Gegas aku mengambil sendok disampingku. Satu sampai beberapa suap terus masuk ke dalam lambung. Nasi goreng buatan Dewa benar-benar sangat lezat dan enak, chef mana pun pasti kalah dengan nasi goreng ini. "Pelan-pelan saja makannya," ucapnya. "Nasi gorengnya enak sekali, rasanya sayang kalau memakannya pelan-pelan," sahutku dengan mulut penuh nasi goreng. "Ini minum dulu, seorang wanita tidak bagus makan dengan mulut penuh seperti itu." Dewa menyodorkan segelas air putih ke hadapanku, langsung kuteguk air minumku sampai tandas. "Habisnya nasi gorengnya enak sekali, di rumah aku jarang makan enak," celetukku masih terus bersemangat menyuap nasi goreng yang tinggal sedikit di piringku. "Kalau kamu mau, setiap hari aku pastikan kamu akan makan enak terus seperti ini selama kamu menjadi istriku," ucapnya membuatku terbatuk-batuk sampai menyemburkan nasi karena kaget. "Sudah aku bilang pelan-pelan," tegurnya kesal. Aku menuangkan air dari teko ke dalam gelas, kuteguk air putih ke dalam mulutku. "Maaf, ya," kataku dengan perasaan bersalah. Aku takut karena tanpa sengaja menyemburkan nasi membuat selera makannya hilang. "Tidak apa-apa, kamu lanjut lagi makannya." Aku dan Dewa kembali melanjutkan makan kami tanpa bersuara. Belum selesai aku menghabiskan makananku tiba-tiba lampu mati. Reflek aku menjerit karena kaget seluruh ruangan gelap. "Mas," panggilku. Aku meraba-raba mencari keberadaan Dewa. "Aku disini," sahutnya ternyata suaranya dekat di belakangku. Degh! Aku kaget saat ada tangan melingkar di perutku. "Mas," panggilku lirih. "Heem." Kurasakan embusan napas di ceruk leher ini, sebelum keluar kamar aku sengaja mengikat rambut panjangku keatas. "Mas, aku takut," kataku. "Jangan takut, ada aku disini," bisiknya. Aku menarik napas lega begitu lampu kembali menyala. Aku diam, membeku. Ternyata, benar, di belakangku adalah Dewa. Dia memelukku dari belakang. "Mas Dewa, lampunya sudah menyala," kataku. Wajahnya dia benamkan di ceruk leherku membuat seluruh tubuh ini merinding karena geli. Mendengar ucapanku dia mengangkat wajahnya, kemudian melepaskan pelukannya dari tubuhku. "Maaf," ucapnya salah tingkah. "Jangan bilang kamu takut kegelapan?" tanyaku. Melihat ekspresi Dewa gelagapan salah tingkah, ternyata dugaanku benar dia takut dengan gelap. Ya Tuhan, badan saja kekar, wajah tampan tapi phobia kegelapan. Entah kebetulan atau tidak, ternyata kami memiliki phobia yang sama. Aku phobia melihat darah, sedangkan dia phobia dengan gelap. "Siapa bilang aku takut gelap?" ujarnya seraya menggaruk tekuk lehernya. Brak! Aku terlonjak kaget di luar, seperti ada seseorang menggebrak pintu cukup keras. Kami saling menatap, kenapa suasananya menjadi semakin horor? "Kamu tunggu di sini, aku mau buka pintu," titahnya dengan nada yang sedikit bergetar. Kugelengkan kepala, aku tidak mau ditinggal sendiri, apa lagi saat melihat belakang rumah yang gelap dan sunyi. Suara desiran angin beradu dengan ranting pohon semakin menambah suasana mencekam. Dapur dengan taman kecil di belakang hanya disekat kaca tembus pandang. Seketika bulu kuduk meremang. "Aku ikut," rengekku menarik ujung kaos Dewa dengan gemas. Pria itu mengembuskan napas perlahan, mungkin melihat tingkahku seperti anak kecil yang merengek ketakutan. "Ya sudah, ayo," katanya dengan nada yang sedikit lembut. Kuberanikan diri menggenggam erat lengannya. Aku dan Dewa melangkah mendekati pintu utama, perlahan tapi pasti Dewa memutar knop pintu. Wust! Seketika angin berembus kencang mengenai wajah kami. Kosong, tidak ada siapa pun di luar. Aku kembali melihat sekeliling Villa, siapa tahu ada seseorang yang iseng bersembunyi. "Tidak ada siapa-siapa, pasti itu suara angin," gumam Dewa, masih berpikir positif. Aku bersembunyi di belakang tubuh kekar Dewa, tapi kenapa bulu kudukku merinding? "Apa mungkin villa ini angker?" kataku sambil bergidik ngeri. "Sudah, jangan bicara sembarangan! Ayo, kita masuk," ajaknya. Setelah memastikan sekali lagi tidak ada orang iseng di luar, aku dan Dewa membalikkan badan hendak masuk ke dalam villa. "Dewa." Terdengar ada suara orang memanggil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN