Aku dan Dewa bersamaan berbalik badan, hendak melihat siapa yang memanggilnya.
Aku mengeryit kening, begitu melihat rombongan Mami, Papi, Dion, dan Clara sedang berjalan menghampiri villa kami. Mereka bahkan sudah memakai baju tidur. Ngapain mereka jalan ke sini? Jarak villa mereka lumayan jauh kalau jalan kaki.
"Loh, kalian ngapain malam-malam kesini?" tanya Dewa, menghampiri rombongan keluarganya.
Wajah Papi terlihat kesal.
"Mami kamu neh, masa mendengar suara orang menangis. Padahal Papi sama Dion nggak dengar sama sekali," gerutu Papi, yang wajahnya nampak lelah.
Pasti Papi capek setelah perjalanan cukup jauh untuk mencapai villa ini yang berada di luar kota.
"Pi, Mami nggak bohong. Sewaktu di dapur, Mami mendengar cewek menangis, lalu tertawa khas Mbak Kunti. Mami takut," balas Mami, sambil melirik ke arah sekitar dengan bergidik ngeri.
Clara, yang kebetulan berada di belakang Mami, terlihat menarik sudut bibirnya. Walau keadaan gelap, aku masih bisa menangkap ekspresi aneh wajah Clara.
Apa mungkin dia yang iseng mengerjai Mami, agar mereka menginap di villa ini? Jika benar, kita lihat Clara aku akan buat kamu kepanasan karena cemburu.
"Ya sudah, kalian masuk sudah malam. Di villa ini kebetulan ada empat kamar. Jadi, pas untuk kalian," kataku mengajak mereka untuk masuk ke dalam. Karena di luar anginnya cukup kencang.
"Tapi, kenapa kalian tidak bawa mobil sama barang-barang?" tanya Dewa.
"Mami kamu itu udah ketakutan sekali, jadi kami langsung ke sini. Biar nanti besok saja Papi ambil mobil sama barang-barang kita," jawab Mami.
"Papi, seh. Pesan villa yang angker, jadi kita menganggu bulan madu Dewa dan Kirana," gerutu Mami.
"Lah, kan Mami sendiri yang meminta villa yang jangan jauh dari villa Dewa dan Kirana. Hanya villa itu yang paling dekat," jawab Papi tidak mau mengalah.
"Sudah, jangan berdebat lagi. Kita masuk dulu ke dalam, anginnya makin kencang," sela Dewa menengahi orang tuanya.
Kami masuk ke dalam villa, Clara sejak tadi tidak bersuara. Dia sesekali mencuri pandang ke arah suamiku.
"Kalian di mana kamarnya?" tanya Clara ke arah kami.
"Itu kamar kami," Dewa menunjuk kamar kami di lantai bawah.
"Kalau begitu aku tidur di kamar sebelahnya, ya," ucap Clara begitu bersemangat.
Aku menyipitkan mata, menatap curiga ke arah Clara. Gadis itu membalas dengan tersenyum kecil. Aku tahu apa yang sedang dia pikirkan. Aku yakin dia ingin menggagalkan bulan maduku dan Dewa.
Clara, kamu tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa? Aku sudah mengalami banyak pengalaman pahit. Kalau hanya menghadapi gadis manja seperti kamu, buatku kecil.
"Ya sudah, Mami, Papi, sama Dion tidur di kamar atas. Dewa, kamu buruan bawa istri kamu masuk. Ingat, pesan Mama: bikinin cucu yang lucu untuk Mami," ucap Mami dengan wajah serius.
"Mi, buat cucu untuk Mami itu mana mungkin bikin hari ini, besok langsung nongol bayinya. Kasihan Kirana kalau dipaksa cepat-cepat memberikan cucu untuk Mami," protes suamiku dengan wajah yang seakan tertekan.
"Mami tahu, Mami hanya mau kamu harus serius membuatnya. Agar bulan depan langsung garis dua," sahut Mami.
"Mi, sudah jangan memaksa mereka. Memiliki anak juga bukan perkara gampang, Mi," tambah Papi.
"Iya, Pi. Mami ngerti, tapi Mami juga berharap. Memangnya salah?" jawab Mami, terlihat wajahnya sedih.
"Mami tidak salah, tapi kalau Mami berekspektasi terlalu tinggi, takutnya tidak sesuai kenyataannya. Mami sendiri yang kecewa. Mereka juga baru menikah, masih banyak waktu," balas Papi, begitu lembut dan penuh cinta.
"Pi, Mi, Dion ke atas dulu, sudah ngantuk," potong Dion, mungkin sudah capek mendengar perdebatan kedua orang tuanya.
"Ayo, Mi. Kita ke kamar, Papi juga capek. Katanya mau bulan madu kedua," kata Papi, menggoda sang istri.
Aku tersenyum bahagia, melihat keharmonisan keluarga mereka. Apa pernikahan aku dan Dewa bisa seperti mereka? Tapi tadi dia mengatakan ingin membuat kembali perjanjian kontrak nikah kami.
"Dewa, aku takut. Apa boleh aku tidur bersama kalian? Nggak papa deh tidur di sofa, aku janji nggak akan ganggu kalian," celetuk Clara, membuatku tersentak kaget.
Apa mental Clara sudah terganggu? Dia mau melihat kami malam pertama?
"Tidak!" bentakku dengan sengit.
Dewa memandang Clara dengan pandangan yang tidak bisa aku baca. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
Apa mungkin dia ingin membiarkan Clara tidur bersama kita? Walau mereka berteman sejak kecil, tapi tetap ada batasannya juga. Bukan seenaknya masuk ke rumah tangga orang lain.
Clara balik memandang Dewa dengan memelas, tidak bisa dibiarkan.
"Mas, ayo kita tidur," ajakku menarik tangan Dewa.
Clara terlihat merajuk, dia menghentakkan kedua kaki, seperti anak kecil yang menginginkan mainan.
Hanya orang yang tidak waras yang ingin tidur bertiga dengan pengantin baru. Clara sudah terobsesi ingin memiliki Dewa, aku harus mencegahnya, kecuali kontrak nikah kami berakhir.
Dan, pada saat itu terjadi. Aku akan datang membalas ibu tiriku dan mengambil kembali warisan orang tuaku yang dirampas.
Aku bersyukur Dewa tidak terpancing oleh drama Clara. Dia memilih masuk ke dalam kamar, dan aku cepat menutup pintu dengan kesal.
"Sahabat kamu itu sudah tidak waras, ya! Masa mau tidur bertiga? Dia sudah tahu kita ke sini untuk berbulan madu, tapi dia ngotot ingin ikut!" ocehku kesal.
Dewa memandangku dengan pandangan yang penuh gairah, membuatku merasa gugup. Cepat aku menutup mulutku, berusaha menyembunyikan senyumku.
"Jadi, kamu berharap malam ini kita membuatkan cucu untuk Mami?" tanyanya sambil mengangkat alisnya, mata tajamnya berkilauan dalam cahaya lampu kamar.
Aku merasa wajahku memanas, dan aku cepat menunduk, berusaha menyembunyikan reaksiku. Dewa menggoda aku dengan senyumnya yang licik, dan aku bisa merasakan jantungku berdegup kencang.
Aku mengangkat wajahku, memberanikan diri menatap wajahnya. "Bukan, begitu. Hanya saja Clara sudah berlebihan terobsesi sama kamu, Mas," kataku dengan gugup.
"Apa kamu cemburu?" tanyanya masih menatapku dengan intens, matanya menembus jauh ke dalam hatiku.
Aku langsung tergagap, tidak menyangka pertanyaan seperti itu. "Aku cemburu dengan Clara? Tentu saja tidak, kita hanya menikah kontrak," ucapku keceplosan, berusaha menyembunyikan perasaan aku yang sebenarnya.
Aku ingin ada kepastian tentang pernikahan ini, tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya Dewa inginkan dari pernikahan ini.
Dewa mengembuskan napas berat, lalu dia duduk di sofa yang menghadap jendela lebar terbuat dari kaca, memandang ke luar dengan pandangan yang jauh.
Dari kamar kita, pemandangan taman belakang terhampar luas, dengan bunga-bunga yang bermekaran dan pohon-pohon yang rindang.
"Kirana, sebenarnya siapa kamu?" tanyanya tiba-tiba, membuatku terkejut dengan pertanyaannya yang tidak terduga.
Aku merasa heran dengan pertanyaannya. Kenapa dia baru bertanya tentang jati diriku? Apakah dia tidak berpikir sebelum menikah kontrak denganku? Apakah dia tidak penasaran tentang latar belakangku?
"Aku tahu kamu tidak secara kebetulan berada di dalam mobilku. Sebenarnya, aku ingin bertanya tentang hal itu, tapi melihat Mami bahagia, aku terpaksa menyetujui pernikahan kontrak ini," katanya dengan nada yang sedikit curiga.
"Kalau boleh tahu, Deswita meninggal karena apa?" tanyaku dengan rasa penasaran yang memuncak.
Aku sengaja mengalihkan pembicaraan ke topik lain, karena aku tidak mau membuka identitasku. Aku ingin membalas dendam mereka dengan tanganku sendiri, tanpa melibatkan orang lain. Aku berada di sini hanya untuk mempersiapkan diri, mengumpulkan kekuatan dan strategi untuk menghadapi mereka.