"Deswita meninggal menjadi korban tabrak lari," kata Dewa dengan suara yang pelan dan sedih. "Semenjak itu, Mami mengalami depresi yang sangat mendalam. Selama setahun, kami bolak-balik ke psikiater untuk menyembuhkan trauma Mami."
Dewa berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Tapi, pagi itu, saat Mami melihat kamu di dalam mobilku untuk pertama kali, setelah setahun kami tidak lagi mendengar suara marah dan teriakan Mami... aku baru menyadari kamu sudah membuat Mami kembali seperti dirinya lagi."
Tatapannya seolah sedang mengingat momen pagi yang menggemparkan seisi rumah karena kehadiranku tiba-tiba berada di dalam mobil Dewa. Aku tidak menyangka kehadiranku bisa membuat perubahan yang begitu besar untuk keluarga orang lain yang sedang mengalami duka yang sangat mendalam.
"Apa karena itu kamu menyetujui menikah denganku agar tidak membuat Mami sedih?" tanyaku terus menatapnya dengan mata yang penasaran.
Dewa menghela napas panjang sebelum menjawab. "Iya, aku dan Papi sempat berdebat tentang ini. Aku tidak tahu siapa kamu dan latar belakang kamu sampai kamu tiba-tiba berada di dalam mobilku. Aku tahu ini hal yang serius, maka dari itu aku menawarkan menikah kontrak agar Mami sembuh dari traumanya."
"Aku melihat betapa Mami menderita setelah kehilangan Deswita," lanjut Dewa dengan suara yang lembut. "Aku tidak ingin melihat Mami terus menderita. Aku ingin membantu Mami sembuh, dan aku pikir menikah kontrak dengan kamu adalah cara terbaik."
"Terima kasih, kamu sudah memberikanku tempat tinggal di rumah kalian," kataku dengan haru, merasa sedikit lega karena bisa tinggal di rumah yang nyaman.
Dewa tiba-tiba menggeser tubuhnya menghadap ke arahku, kini giliran dia yang memandangku dengan serius, mata tajamnya menembus jauh ke dalam hatiku.
"Sebenarnya kamu siapa?" tanyanya, membuatku tersentak kaget karena pertanyaannya yang tiba-tiba dan tidak terduga.
Karena belum siap dengan pertanyaan Dewa, aku merasa terkejut dan bingung, tidak bisa berpikir jernih. Aku berusaha mengumpulkan pikiran dan menjawab pertanyaannya dengan tenang.
"Aku Kirana, seperti yang kamu tahu," jawabku dengan gugup, berusaha menyembunyikan perasaan aku yang sebenarnya.
"Aku tahu kamu bukan orang yang bodoh, tidak mengerti pertanyaanku," ucap Dewa dengan nada yang tegas, seperti sedang menginterogasiku dengan mata yang tajam dan penasaran.
Aku merasa tidak nyaman dengan pertanyaannya, dan aku tidak tahu apakah aku harus jujur pada Dewa tentang masalah yang sedang aku hadapi. Aku tidak mau membuat orang lain terlibat dalam masalahku, aku ingin menyelesaikannya sendiri.
"Tapi, aku tidak bisa membiarkan kamu terus berbohong padaku," lanjut Dewa dengan suara yang lebih lembut, tapi masih dengan mata yang tajam dan penasaran. "Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, Kirana. Tidak mungkin kamu masuk ke dalam mobilku tidak disengaja, apalagi dengan pakaian seperti itu."
Dewa berhenti sejenak, memandangku dengan mata yang penuh pertanyaan. "Aku bukan orang yang langsung menilai jelek orang lain, aku tahu kamu bukan orang seperti itu. Menjajakan diri bukanlah sesuatu yang kamu lakukan dengan senang hati."
"Aku ingin tahu, Kirana, apa yang sebenarnya terjadi? Siapa kamu sebenarnya? Sebaiknya kamu katakan seperti apa latar belakang kamu? Siapa tahu aku bisa membantu kamu?" tanyanya dengan nada yang lebih lembut dan penuh harapan.
Aku menghela napas dalam-dalam, merasa sedikit lega karena bisa menghindari pertanyaan Dewa tentang jati diriku. Jujur, aku belum siap membuka jati diriku, aku tidak mau melibatkan siapapun dalam masalahku. Aku yakin bisa mengatasi masalahku sendiri.
"Terima kasih, kamu sudah percaya denganku," ucapku dengan nada yang sedikit lembut. "Tapi, saat ini aku tidak bisa mengatakan apapun tentang siapa aku."
Dewa menghela napas kecewa, tapi tidak menekan aku untuk menjawab. "Ok, mungkin saat ini kamu belum siap," katanya dengan nada yang sedikit sabar. "Aku tidak akan bertanya apapun lagi, sekarang kita bahas kontrak nikah kita."
"Aku akan membuat ulang kontrak itu, tanpa sepengetahuan Mami dan Papi," lanjut Dewa dengan nada yang sedikit serius. "Kita bisa membuat kontrak yang lebih adil dan tidak memihak pada salah satu pihak."
"Lalu masalah Mami ingin kita memberikan cucu, bagaimana?" tanyaku karena jujur permintaan Mami sangat mengganjal di hati ini. Aku tidak ingin mengecewakan Mami, tapi aku juga tidak ingin terjebak dalam situasi yang tidak aku inginkan.
"Kita bisa bersandiwara kalau kita sudah melakukannya, kalau untuk urusan kamu hamil," jawab Dewa dengan nada yang santai. "Kita bisa bilang kita sudah berusaha, tapi kalau belum dikasih yang di atas, mau bagaimana."
"Aku khawatir kalau Mami curiga," kataku dengan nada yang sedikit khawatir.
"Kita buat seolah kita habis melakukan malam pertama, Mami juga tidak tahu kita melakukan atau tidak," jawab Dewa dengan nada yang sangat santai, seolah tidak ada masalah sama sekali.
"Dewa, apa ada cara untuk menandakan kalau kita habis malam pertama? Agar Mami tidak curiga," tanyaku dengan nada yang sedikit penasaran.
Dewa menggelengkan kepala dengan nada yang sedikit ketus. "Mana aku tahu, aku saja belum pernah melakukan itu. Kamu itu wanita, seharusnya tahu ciri-cirinya. Kalau pria tidak akan kelihatan."
Aku merasa kesal dan sedikit terhina dengan kata-kata Dewa. "Kamu pikir aku sudah pernah melakukan itu! Aku juga masih virgin, mana aku tahu ciri-ciri wanita yang sudah melakukan itu?" jawabku dengan nada yang sedikit tinggi dan kesal.
Aku tidak menyangka Dewa bisa berpikir seperti itu tentang aku. Apa dia pikir aku sudah melakukan itu dengan pria lain, walau aku akan menikah dengan Mas Rayyan? Aku berusaha menjaga diri untuk tidak bertindak sejauh itu, aku ingin menyimpan keperawanan aku untuk suami aku yang sebenarnya.
Mungkin karena aku tidak mau melakukan itu, sehingga Mas Rayyan berselingkuh dengan Chika. Tapi, aku merasa lega karena bisa melarikan diri dari hubungan yang tidak sehat itu. Aku juga merasa sangat beruntung tidak menikah dengan pria b******k seperti Rayyan.
Mendengar perkataanku, Dewa memandangku dengan ekspresi terkejut yang sangat jelas terlihat di wajahnya. "Serius kamu masih virgin?" tanyanya dengan nada yang penuh keheranan dan seolah tidak percaya.
Aku semakin kesal dengan pertanyaannya yang terus-menerus. "Apa perlu bukti!" ketusku dengan nada yang sedikit tinggi dan kesal.
Dewa masih terlihat tidak percaya, matanya memandangku dengan penuh pertanyaan. "Kamu berada di mobilku dengan pakaian menggoda seperti itu, tapi kamu masih perawan?" tanyanya lagi dengan nada yang penuh keraguan.
Aku merasa sedikit tersinggung dengan pertanyaannya yang seolah menganggap aku tidak mungkin masih perawan dengan pakaian yang aku kenakan. Aku berusaha untuk tidak terlalu emosional dan menjawab pertanyaannya dengan tenang.
"Memangnya ada yang salah dengan pakaian seperti itu?!" ujarku kesal, merasa tersinggung dengan komentar Dewa tentang pakaianku.
Dewa mengangkat tangan sebagai tanda permintaan maaf. "Sory, bukannya aku menghina kamu."
Aku menghela napas dan mencoba untuk tidak terlalu emosional. "Sekarang sudah tahu, tidak usah dibahas lagi. Sekarang yang harus kita pikirkan, bagaimana cara agar Mami percaya kita sudah melakukan malam pertama," kataku mengingatkan lagi tujuan pembahasan kita.
Dewa tersenyum dan memberi saran. "Kamu cari saja di google, pasti ada ciri-ciri tubuh wanita setelah melakukan malam pertama."
Aku merasa sedikit kecewa karena tidak memiliki ponsel. "Tapi, aku tidak punya ponsel," jawabku sedih.
Dewa mengeluarkan ponselnya dari kantong dan menyerahkannya padaku. "Kamu pakai ponselku saja."
Aku mengambil ponsel dari tangan Dewa, lalu mengetik pertanyaan tentang ciri-ciri tubuh wanita setelah melakukan hubungan suami istri. Aku mengerutkan kening begitu membaca artikel yang muncul di layar ponsel.
"Apa sudah ketemu?" tanyanya Dewa dengan nada yang penasaran.
"Besok kita keramas, jadi Mami akan tahu kita habis melakukan itu melihat rambut kita yang basah," kataku masih fokus menatap layar ponsel, mencoba mencari informasi yang lebih lanjut.
"Hanya itu?" tanyanya Dewa dengan nada yang sedikit heran.
Aku menghela napas dan melanjutkan membaca artikel. "Aku harus jalan ngangkang sambil meringis menahan sakit," jawabku lagi dengan nada yang sedikit kesal.
Dewa memandangku dengan mata yang penuh keraguan. "Memangnya benar seperti itu? Apa sesakit itu sampai harus jalan ngangkang sambil meringis menahan sakit?" tanyanya membuatku emosi.
Aku merasa sedikit kesal dengan pertanyaan Dewa yang seolah tidak percaya. "Mana aku tahu, aku aja tahu dari artikel ini," ketusku dengan nada yang sedikit tinggi.