RSH.07 DEMI PUTRIKU
Setelah menyutujui gugatan cerai yang diajukan Natalie Scott terhadapku, tadinya aku berpikir bahwa hatiku akan merasa lega. Karena akhirnya aku bisa membahagiakan orang yang aku cintai dengan mengikuti apa yang ia inginkan walau hatiku sangat terluka. Selain itu aku juga berpikir permasalahan yang sangat menguras pikiranku akan berkurang setelah pernikahan ini berakhir. Karena tidak ada lagi tuntutan dan tekanan, tidak ada lagi perdebatan, serta tidak ada lagi pertengkaran dengan pasangan yang menyesakkan dadda. Yang ada hanyalah sebuah tanggung jawab terhadap diriku sendiri dan juga putriku Nessa Beufort.
Bagi orang-orang yang bernasib sama denganku, perpisahan adalah pilihan yang tepat daripada harus menderita karena pertengkaran yang tidak berkesudahan. Aku yang baru saja mengalaminya, awalnya juga memiliki pemikiran yang sama. Namun setelah aku menjalaninya selama beberapa hari terakhir ini, aku merasa pemikiran itu salah. Karena menurutku menikah atau tidak, memiliki pasangan atau tidak, permasalahan akan selalu datang menghampiri. Dan kita tidak akan pernah bisa memilih permasalahan apa yang akan kita hadapi. Sebagai manusia biasa, kita hanya bisa menghadapi permasalahan yang ada di depan mata dan menyelesaikannya.
Hari ini adalah hari libur. Aku yang tidak pergi bekerja mengantar roti, pagi ini pergi ke super market yang tidak jauh dari rumahku. Aku membeli beberapa keperluanku sehari-hari hanya dalam waktu singkat, lalu kembali ke rumah tanpa mampir ke tempat lain. Aku berjalan dengan langkah santai di pedestrian sambil menikmati suasana hari Minggu yang cerah. Dalam waktu bersamaan aku pun teringat pada masa-masa indah saat masih memiliki keluarga yang utuh bersama Natalie Scott. Dimana pada hari Minggu kami akan berjalan di pedestrian ini setelah berbelanja, lalu membawa Nessa Beufort ke taman kota yang tidak terlalu jauh dari tempat ini untuk bersantai bersama. Sebuah kenangan sederhana yang sulit untuk dilupakan oleh pria pecundang sepertiku.
Saat aku tengah menikmati suasana dan larut dalam kenangan masa lalu, tiba-tiba seorang pria paruh baya berlari ke arahku. Sambil berlari menghampiriku ia bersuara, "Hans... Hans... Hans...!"
Spontan langkahku terhenti melihatnya yang berlari ke arahku dengan wajah panik. Saat ia telah berdiri di hadapanku, ia pun kembali bersuara, "Hans, kamu kemana saja? Dari tadi aku mencarimu."
"Aku baru saja selesai membeli beberapa keperluan harian di super market sana, Tuan. Memangnya ada apa? Kenapa Tuan terlihat begitu panik? Apakah telah terjadi sesuatu?"
Sambil mengulurkan tangan dan menunjuk ke arah rumahku yang tidak terlalu jauh, Tuan Antonio yang merupakan tetanggaku itu menjawab, "Rumahmu..."
"Rumahku? Ada apa dengan rumahku, Tuan?"
"Ada beberapa orang pria datang ke rumahmu. Mereka membuka paksa pintu rumahmu dan mengeluarkan semua barang milikmu."
Seketika aku yang merasa kaget bercampur panik. Dengan wajah penasaran kembali bertanya, "Siapa mereka?"
"Aku tidak tahu. Karena aku tahu itu bukanlah hal yang wajar, makanya aku langsung mencarimu. Tidak ada seorang pun tetangga kita yang berani mendekati atau bertanya kepada mereka."
Setelah mendengar ucapan Tuan Lopez yang merupakan tetanggaku itu, tanpa berpikir panjang aku langsung berlari menuju rumahku. Saking panik dan ingin segera sampai di rumah, aku berlari dengan kencang hingga lupa berpamitan pada Tuan Lopez yang telah mengabariku. Di sepanjang jalan di dalam hati aku bertanya, siapa yang datang ke rumahku? Siapa mereka yang berani masuk rumah dan mengeluarkan semua barang tanpa izin? Rasanya aku tidak pernah bermasalah dengan orang lain.
Baru saja aku sampai di depan rumah, aku telah melihat cukup banyak tetangga yang berkumpul di depan rumahku. Selain itu aku juga melihat beberapa furnitur milikku telah berada di halaman rumah. Dan salah seorang yang tengah berdiri di depan pintu rumahku, sangat mencuri perhatianku. Membuatku yang melihatnya tiba-tiba merasa ada yang aneh. Karena selama aku menikah dengan Natalie Scott hingga aku bercerai dengannya, baru beberapa kali kakaknya Nelson Scott datang ke rumahku. Mungkinkah semua hal ini ada kaitan dengannya yang tidak pernah menyukaiku?
"Hans..."
"Hans... Akhirnya kamu datang."
"Hans..."
"Kenapa orang-orang itu mengeluarkan semua barang milikmu, Hans?"
Saat aku berjalan melewati sekelompok orang yang berdiri di depan rumahku, beberapa orang yang mengenalku menyapaku. Semua orang yang aku lewati menatapku dengan berbagai tatapan. Bahkan beberapa orang di antara mereka memberiku pertanyaan. Namun suasana hatiku yang sedang tidak baik-baik saja, membuatku mengabaikan mereka tanpa menanggapi sapaan atau menjawab pertanyaan mereka. Dan saat aku telah berada di depan rumahku, Nelson Scott yang dari tadi berdiri di depan pintu menoleh ke arahku dan bersuara, "Hey... Akhirnya kamu datang, Hans."
Aku menatapnya yang tersenyum miring terhadapku dengan tatapan benci. Tanpa berbasa-basi aku bertanya, "Apa semua ini kamu yang melakukannya?"
Nelson Scott yang sepertinya mengerti dengan pertanyaanku, tersenyum miring kepadaku. Dengan wajah angkuhnya yang khas ia menjawab, "Ya. Seperti yang kamu lihat saat ini, aku lah yang melakukannya."
Seketika aku merasa kesal mendengar jawaban Nelson Scott yang tidak berperasaan itu. Entah apa maksud dan tujuannya melakukan semua ini terhadapku. Tanpa memberi tahuku dan meminta izin terlebih dahulu, dengan beraninya ia membuka pintu rumahku dan mengeluarkan semua barang milikku. Selama ini aku selalu berusaha untuk menghormatinya karena ia adalah kakak dari Natalie Scott yang dulunya adalah istriku. Namun melihat apa yang ia lakukan saat ini terhadapku, membuat rasa seganku terhadapnya hilang. Dan meski aku tidak lagi berstatus sebagai suami dari adiknya, ia masih memperlakukanku dengan buruk. Sebenarnya apa yang membuatnya begitu membenciku?
Aku menatap wajah angkuh Nelson Scott beberapa saat sambil menarik nafas dalam untuk meekan rasa kesalku. Kemudian dengan suara rendah aku bertanya, "Apa alasan dan tujuanmu melakukan semua ini padaku?"
"Alasan dan tujuanku hanya satu, yaitu membuatmu yang telah terjatuh semakin terpuruk."
"Apa aku telah melakukan kesalahan terhadapmu? Kenapa kamu begitu membenciku?"
"Entahlah... Aku tidak memiliki alasan yang tepat kenapa aku membencimu. Tapi yang pastinya aku tidak pernah menyukaimu sejak aku mengenalmu. Bahkan rasa itu bertambah setelah kamu menikah dengan adikku."
Aku tersenyum pahit mendengar kebenciannya yang tak beralasan itu. Kemudian aku kembali bersuara, "Sekarang aku tidak lagi menjadi suami Natalie. Lalu kenapa kamu masih membenciku?"
"Bukankah tadi sudah aku katakan padamu bahwa aku ingin membuatmu semakin terpuruk? Aku tahu perceraianmu dengan Natalie membuatmu terpukul. Tapi hal itu belum membuatku merasa puas. Pernikahanmu dengan Natalie beberapa tahun lalu memberi pengaruh buruk pada bisnis keluarga Scott. Sebenarnya kami telah merencanakan perjodohan Natalie dengan putra keluarga Carl yang bernama Antoine Carl. Tapi kehadiranmu dan pernikahanmu dengan Natalie membuat mereka marah dan membatalkan kerjasama. Kami sekeluarga telah membujuknya untuk menerima perjodohan itu. Tapi ia bersikeras untuk tetap bersamamu yang tidak memiliki masa depan cerah. Dan sekarang apa yang terjadi? Ia sangat menyesal karena telah memilihmu di masa lalu. Apakah kamu menyadari itu?"
Aku hanya diam mendengar ucapan Nelson Scott yang panjang lebar itu. Saat ia terdiam sejenak, aku yang saat ini melihat beberapa orang tengah mengeluarkan barang milikku pun berkata, "Aku sangat menyadari posisiku. Dan kini aku tidak memiliki hubungan apa-apa lagi dengan adikmu itu. Tapi kenapa kamu membuat rumahku seperti ini? Kenapa kamu mengeluarkan semua barang-barangku?"
"Karena rumah ini bukan lagi milikmu, Hans."
Seketika aku merasa terkejut mendengar ucapan Nelson Scott yang penuh percaya diri itu. Tiada angin tiada hujan, rumah yang sudah puluhan tahun aku tempati itu tiba-tiba bukan lagi menjadi milikku. Bagaimana itu bisa terjadi? Selama ini aku tidak pernah memiliku hubungan baik dengannya. Rasanya sangat tidak mungkin jika rumahku ini akan menjadi miliknya. Dengan perasaan kesal aku bertanya, "Bagaimana bisa? Bagaimana bisa rumah ini tidak lagi menjadi milikku? Rumah ini adalah peninggalan kedua orang tuaku. Jangan asal bicara, Nelson. Aku bisa menuntutmu atas apa yang kamu lakukan terhadapku."
"Kamu tidak akan bisa melakukan itu, Hans. Karena yang menjual rumah ini adalah Natalie, bukan aku. Aku datang kemari hanya untuk membantunya membereskan semua barang-barangmu. Natalie telah menjual rumah ini. Jadi kamu harus pergi sekarang juga."
Semakin aku mendengar ucapan Nelson Scott, amarah di hatiku semakin bertambah. Semua yang ia katakan padaku dan apa yang terjadi hari ini, benar-benar di luar nalarku. Dalam waktu bersamaan aku teringat pada surat kepemilikan rumah ini yang telah berpindah tangan kepada Natalie Scott. Dulu kami adalah pasangan yang saling mencintai. Sehingga sedikitpun aku tidak menaruh rasa curiga dan memberikan semua yang aku miliki kepadanya. Termasuk rumah tua yang merupakan warisan dari kedua orang tuaku yang telah aku tempati selama puluhan tahun. Tapi kini apa yang ia lakukan terhadapku yang selama ini menganggapnya sebagai belahan jiwaku? Ia tidak hanya menceraikanku, tapi ia juga membuatku semakin terpuruk dengan menjadikanku seorang tuna wisma. Apakah ia tidak memiliki perasaan seperti keluarganya?
Sambil menggelengkan kepala, aku yang masih tidak percaya dengan ucapannya pun berkata, "Tidak. Itu tidak mungkin."
"Tentu saja mungkin." Nelson Scott menjawab sambil tersenyum miring kepadaku. Kemudian ia mengeluarkan selembar kertas dari dalam saku jasnya dan memperlihatkannya kepadaku sembari berkata, "Kamu lihat ini! Ini adalah bukti kalau rumah ini tidak lagi menjadi milikmu. Sebagai pemilik rumah, Natalie telah menjual rumah ini."
Rasa sabarku telah habis setelah melihat dan membaca selembar kertas yang masih ada di tangan Nelson Scott. Tanpa berpikir panjang aku mengeluarkan ponsel dari saku celanaku lalu menghubungi nomor ponsel milik Natalie Scott. Dan hanya dengan beberapa kali mendengar nada tunggu, akhirnya aku mendengar suaranya yang menyapaku dari seberang telepon, "Hallo, Hans...!"
"Apakah yang dikatakan Kakakmu itu benar, Natalie?"
"Yang dikatakan kakakku?"
"Ya. Saat ini Kakakmu ada di rumahku. Ia memasuki rumahku dan mengeluarkan semua barangku tanpa meminta izin terlebih dahulu. Apakah kamu mengetahuinya?"
"Ya, aku tahu."
"Apakah kamu tidak bisa mencegahnya? Ini adalah rumahku. Ia tidak memiliki hak untuk melakukan semua ini padaku."
"Maaf, Hans. Maaf jika aku lupa memberi tahumu bahwa rumah itu sudah aku jual beberapa hari yang lalu. Aku meminta bantuan kakakku untuk mengeluarkan semua barangmu karena dua hari lagi pemilik barunya akan pindah kesana."
Mendengar jawaban Natalie Scott yang begitu santai dari seberang telepon membuatku merasa sakit hati. Ia kembali menorehkan luka tak berdarah di hatiku yang hingga kini belum sembuh karena perceraian. Sehingga aku yang tidak lagi bisa menahan diri, meninggikan nada bicaraku kepadanya yang ada di seberang telepon, "Apa kamu sudah tidak waras, Natalie? Apa kamu ingin menjadikanku tuna wisma?"
"Kenapa kamu bicara dengan nada tinggi padaku, Hans? Itu rumahku yang pernah kamu berikan padaku waktu itu. Aku tahu, aku melakukan kesalahan karena telah menjual rumah yang pernah kamu berikan padaku. Tapi semua itu terpaksa aku lakukan karena aku terlilit hutang. Aku sudah meminta bantuan kepada keluargaku. Namun mereka tidak mau membantuku karena hutang itu dibuat saat aku masih menjadi istrimu. Jika aku tidak membayarnya, aku bisa dipenjara. Kecuali kamu ingin membalas dendam padaku dan membiarkan ibu dari putriu dipenjara."
Aku terdiam seribu bahasa setelah mendengar jawaban Natalie Scott yang ada di seberang telepon. Dalam waktu bersamaan aku juga teringat dengan sikapnya beberapa bulan terakhir yang suka berbelanja. Meski aku mengetahui ia telah menghabiskan banyak uang untuk membeli dan melakukan apa yang ia inginkan, namun aku tidak menyangka ia akan memiliki hutang begitu banyak hingga mengorbankan rumah ini. Ingin rasanya aku membawa masalah ini ke jalur hukum. Namun mengingat diriku yang masih memiliki perasaan tehadapnya serta masa depan putriku Nessa Beufort, aku tidak bisa melakukan apa-apa selain merelakannya.
Ditambah lagi dengan kepemilikan rumah ini telah menjadi miliknya, usahaku untuk mempertahankan rumah ini akan sangat sia-sia. Natalie Scott adalah pemiliknya, tentu saja ia berhak melakukan apa pun terhadap rumah yang ia miliki. Meski ini adalah akhir yang tidak adil bagiku, tapi aku harus merelakannya demi putriku. Mungkin aku adalah seorang ayah yang tidak bisa bertanggung jawab dan memenuhi segala keinginannya. Tapi setidaknya tinggal bersama ibunya Natalie Scott, hidupnya akan terjamin hingga dewasa nanti.