Ujian Level Dara III (A)

1058 Kata
Namun, ternyata suara yang entah apa (atau dari mana) itu benar-benar mampu memberi pemuda kaukasia itu “sepercik” bagian. Dari serpihan dari rasa percaya diri yang sebelum ini sempat hilang seperti telah ditelan Bumi. Ia dan Seth sudah berjanji untuk keluar bersama dari neraka bernama Ceantar Ghleann Dail ini. Walau Seth tak bisa mewujdukan janji itu pada akhirnya. Karena ia harus terlebih dahulu gugur dalam perjalanan yang tengah berusaha ia lalui. Seth harus terus hidup untuk orang yang sudah menyelamatkan nyawanya sampai hari “ini”. Atau kalaupun pada akhirnya ia tetap harus mati… ia sama sekali tak merasa boleh membiarkan rekan yang membersamainya kini juga menempuh jalan yang sama yaitu kematian. Luke pada akhirnya memutuskan untuk kembali bangkit dan melihat dunia dengan tatapan penuh “kepercayaan diri”. Untuk kembali menghadapi realita “fiksi”. Yang tidak pernah jadi seindah mimpi. Tidak seperti saat di medan pengujian kenaikan level yang sebelumnya. Ia percaya bahwa ia sudah sangat lama berada di sana. Tapi, mengapa matahari juga tak kunjung berubah posisinya. Mungkin waktu di tempat ini abadi. Seperti ujian di event yang sebelumnya. Tak peduli seberapa jauh dan lama melangkah. Semua tak akan bergerak kalau belum lulus. “Kenapa tak kau bunuh saja pemuda itu?” Hah. Luke langsung menoleh ke arah kiri dan kanan. Bahkan atas dan juga bawah. Untuk mencari dari mana suara itu berasal. Siapa yang sudah mengucapkan kalimat yang memiliki nada adu domba seperti itu. Atau bahkan tidak akan berlebihan jika disebut sebagai kalimat yang sangat “provokatif”. Bagaimana bisa suara itu meminta Luke untuk menghabisi rekan seperjuangannya sendiri. Dilihat dari sisi mana saja juga itu adalah sesuatu yang sangat gila. Padahal… sangat jelas sekali bahwa yang baru saja ia dengar barusan itu merupakan suara Seth (yang seharusnya sudah tenang di alam baka). Suara yang sangat jelas dan tidak lagi sayup-sayup seperti yang sebelumnya. Ada apa ini? Apakah indera pendengarannya sudah begitu terjajah oleh situasi. Sehingga benar-benar lagi tak mampu membedakan antara realita dan fiksi. Apabila hal seperti itu benar adanya. Sungguh kacau sekali. Plok plok plok plok plok plok plok. Berkali-kali ia tampari sendiri kedua belah pipi di wajahnya. Ia ingin (paling tidak) benar-benar yakin bahwa ia tengah sadar diri. Dan bukan hanya tengah terjebak dalam suatu fantasi akan realitas fiksi. Pemuda kaukasia itu sampai berkata dalam hati, sekalipun aku akan berhasil melewati semua ini. Aku hanya merasa bahwa tampaknya aku akan benar-benar gila jika berhasil kembali ke dunia sana. Ayah, Ibu, tolong maafkan satu-satunya pewaris nama keluarga yang kalian harapkan ini. Jika ia tak bisa memberi apa yang selama ini selalu kalian harapkan. Selalu kalian usahakan. Maafkanlah dia. Maafkanlah aku, Ayah, ibu. Dan untuk Lenorah. Maafkan aku karena tidak mampu jadi kakak yang sanggup kau banggakan. “Aku bodoh sekali,” ucap Luke sambil menundukkan wajah. Ia nyaris tak kuasa lagi untuk berdiri tegak karena berat beban yang tengah ia pikul di punggungnya. Tak ada angin tak ada hujan. Tiba-tiba ia melihat sepasang sepatu kets yang digunakan oleh Seth tengah berada di tanah. Dikenakan oleh sepasang kaki dengan celana yang model serta warnanya masih ia ingat betul. Karena itu adalah kets dan celana yang dikenakan oleh… Saat itu juga langsung ia angkat wajahnya. Hanya untuk melihat wajah rekannya yang sebelumnya. Seth. Yang seluruh bagian dari wajahnya tengah dilumuri oleh darah segar. Tepat di depan hidungnya. Pemuda yang berasal dari suatu negeri di Asia Tenggara itu tiba-tiba melengkungkan senyum sarkastis yang mengerikan. Lengkap dengan rongga mulut yang menguarkan pekatnya aroma anyir darah. Ddrrrkk ddrrrkk ddrrrkk ddrrrkk ddrrrkk ddrrrkk ddrrrkk. Semua pemandangan yang tersaji di hadapan matanya saat itu. Membuat Luke sampai tidak bisa lagi menggerakkan satu inchi pun dari bagian tubuhnya. Sekadar untuk mengeluarkan suara saja juga tidak bisa, “A… aa… aaakkh…” Situasi dan kondisi yang tengah ia alami kini rasanya tidak berlebihan jika dibilang jauh lebih buruk dari yang paling buruk. Ujian macam apa lagi yang bisa jadi lebih buruk ketimbang melihat rekan lama yang seharusnya sudah beristirahat dengan tenang karena menyelamatkanmu. Muncul di hadapanmu yang mengatakan suatu hal yang seperti itu. Tidak “ada”, ‘kan? “Seth… Seth… Seth…” panggil Luke ketika pada akhirnya ia kembali mampu untuk berkata-kata. “Aku… Aku sangat senang karena bisa… melihatmu lagi… tapi, semua yang sedang aku lakukan saat ini… aku… aku… aku… aku benar-benar minta maaf padamu. Maafkan aku… maukah kamu…” Pemuda kaukasia itu berusaha keras untuk menjelaskan. Berusaha keras untuk memberi seribu satu alasan yang bisa ia ciptakan di dalam kepalanya. Untuk memberi paling tidak ampunan dari setiap kesalahpahaman yang kadung terjadi. “Untuk apa kau berusaha dengan keras hanya untuk menyelamatkan orang itu? Padahal aku saja kau biarkan mati seorang diri,” tanya Seth dengan nada suara dan intonasi yang datar. Ditambah dengan tatapan super tajam yang ia pancarkan di balik wajah yang berlumur merahnya darah. Sekilas pandang anak muda lelaki yang dulu tampak begitu baik hati, polos, serta lugu itu, jadi terlihat seperti personifikasi iblis. “…” Luke belum mampu melontarkan jawaban karena masih begitu ditelan oleh kegamangan. Tep tep tep. Selangkah demi selangkah Seth (atau siapa pun lah dia) beranjak mendekati Luke yang berusaha untuk menghindar dengan terus mundur. Tanpa berani mengangkat wajahnya. Luke berusaha lagi untuk menjelaskan, “Tidak… bukan seperti itu… aku… aku hanya…” Tapi, lagi-lagi berujung kegagalan. Karena situasi yang sedang ia alami saat itu memang benar-benar “menggilakan”. “Tidak usah banyak berlagak lah, Luke. Kau memang munafik sekali. Kau berpikir bahwa Young Soo yang terang-terangan mengaku bahwa dia menumbalkan rekannya itu terasa berbahaya. Padahal di kenyataannya juga yang lebih berbahaya itu adalah dirimu sendiri. Yang sudah berkata akan keluar dari tempat ini bersama. Tapi, malah membiarkan aku mati!” tuding Seth. Dari aroma kemarahan yang ia tunjukkan. Seperti tidak berlebihan jika menganggap bahwa ia adalah Seth yang sebenarnya. Arwahnya saja bisa jadi? Atau jiwa yang diberi semacam kesempatan kedua oleh Tús Rud ar bith agus Athbhreithe untuk menyelesaikan permasalahan yang pernah ia tinggalkan bersama rekan seperjalanannya. Tapi, Luke tentu saja tidak bisa membiarkan Seth pergi dengan menyimpan pemikiran yang salah seperti itu, bukan? Ia tidak tau apa yag sudah si pangeran putih Tús Rud ar bith agus Athbhreithe itu katakan (atau mungkin hasutkan) pada Seth selama ia mati. Tapi, Luke juga tidak bisa membiarkan pemikiran yang salah seperti itu terus berkembang dan ia bawa sampai ke alam keabadian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN