Alasan

1733 Kata
Sesekali Fatih mengecek ponselnya. Helaan napas panjang terdengar manakala tak dia temui pesan masuk dari Flora. Sudah sejak semalam dia mengirimi Flora banyak pesan, akan tetapi tak ada satupun pesannya berbalas. "Mas," panggil Agni. "Ah, iya. Kenapa?" "Kamu dari tadi kok bengong, emang mikirin apa sih?" "Nggak ada," balas Fatih. "Jangan bohong!" "Cuma mikirin kerjaan. Sebentar lagi kan kita nikah, aku nggak mungkin asal ngambil cuti tanpa menyelesaikan kerjaanku dulu," dalih Fatih. Agni mengangguk. Yang diucapkan oleh Fatih ada benarnya karena dia juga merasakannya saat ini. Hanya bedanya Agni masih bergantung pada Sakti mengingat dia sendiri masih belum begitu cakap memimpin sebuah perusahaan. Saktilah yang telah banyak berkontribusi pada perusahaan. "Jadi mau pilih yang mana nih?" Menyodorkan beberapa cincin pada pria itu. "Aku kan udah bilang, terserah kamu aja. Kamu yang mau pakai jadi pilih yang kamu suka dong." "Kalau aku pilih ini sebagai cincin pernikahan kita gimana?" Fatih meraih dua buah cincin yang diberikan Agni, melihatnya sekilas kemudian mengangguk setuju. "Bagus." "Tapi mahal," gumam Agni. "Nggak masalah, yang penting kamu suka." Agni merasa berbunga-bunga mendengar Fatih berkata demikian. "Sekalian yang lainnya juga, kamu kan juga butuh satu set perhiasan," imbuh Fatih. "Bantuin milih," rengek Agni dengan nada manjanya. "Aku percaya selera kamu itu tinggi." "Ya, juga tidak murah," timpal Agni. "Tidak masalah. Bagiku harga nggak masalah jika dibandingkan dengan kebahagiaanmu, asal kau suka, ambil saja." Makin melambung saja gadis itu. Berulang kali dalam hatinya, Agni terus memuji ibunya. Adel memang tak pernah salah pilih, wanita itu benar-benar mencarikan calon suami sesuai dengan kriteria putrinya. Fatih melajukan mobilnya di tengah kepadatan lalu lintas. Sepulang kerja tadi ibunya menyuruhnya untuk pergi ke toko perhiasan bersama Agni. "Besok kita mau pergi lagi Mas?" "Ya, tapi kalau misalnya kamu capek, kita bisa undur untuk pergi nyari undangannya lusa aja." Datar, dingin, tapi perhatian, sikap Fatih yang membuat banyak gadis meleleh. "Besok aja sekalian Mas. Aku nggak apa-apa kok," kata Agni. "Serius? Nggak capek?" "Nggak. Waktu kita nggak banyak Mas, aku nggak mau sampai ada yang terlewat nanti." "Udah ada WO yang ngurusin," timpal Fatih. "Iya Mas aku tahu. Kerja mereka profesional gitu, pasti biayanya nggak sedikit." "Kamu itu dari tadi yang diomongin duit mulu. Duit itu bisa dicari, yang terpenting kan rencana pernikahan kita berjalan sesuai dengan rencana." "Hm. Terima kasih ya Mas." "Untuk apa?" "Semuanya. Kamu baik banget." "Ya masa sama calon istri sendiri jahat sih, kamu ini ada-ada aja." Fatih menarik sudut bibirnya. Ini kali pertama Agni melihat Fatih tersenyum. Manis sekali. Memabukkan. Mobil terus melaju hingga kini keduanya telah berada di rumah Panji. Fatih membukakan pintu mobil untuk Agni. Bersamaan dengan itu, sebuah motor memasuki halaman rumah. Flora gegas membuang muka ketika tak sengaja pandangannya dan Fatih saling bertubrukan. Seperti Fatih yang terkejut melihat Sakti mengantar Flora, begitupun dengan Sakti. Lelaki itu memicingkan mata melihat orang yang dia kira pacar Flora itu mengantar Agni. "Masuk dulu Mas, aku buatkan teh," tawar Agni. Sesekali matanya melirik pada Sakti seolah sedang menunjukkan pria pilihannya itu dengan bangga. "Nggak usah, udah malam. Salam aja buat om sama tante," tolak Fatih, halus. "Ya udah. Hati-hati di jalan ya." Fatih mengangguk. "Besok aku jemput ya." Agni tersenyum sumringah. Dia melambaikan tangannya pada Fatih. Fatih sempat melirik Flora sebelum dia kembali melajukan mobilnya. Ada setitik luka yang membuat dadanya terasa sesak saat Flora membuang muka padanya. Kentara sekali jika gadis itu sedang menghindarinya. "Jadi mantan pacar kamu yang dijodohin sama Agni?" Lamunan Flora buyar. Ia tergagap, tak tahu harus menjawab apa. "Aku tahu, Vita kan waktu itu cerita di depanku." Flora mengangguk. Dia teringat saat Vita dengan lantangnya mengatakan soal perjodohan Fatih di depan Sakti kala itu. "Aku pulang ya, udah malam," pamit Sakti. "Terima kasih ya Kak udah nganterin aku. Lain kali aku janji nggak akan ngrepotin kamu kok, tenang aja." "Aku nggak ngrasa direpotin, nyantai aja." "Hati-hati di jalan." "Ya." Flora menatap kepergian Sakti, pun ketika pria itu sudah tak terlihat lagi, Flora masih berdiri di sana. *** Dengan kecepatan tinggi, Fatih melajukan mobilnya menuju rumah sepupunya. Dalam perjalanan tadi, Vita sempat menghubunginya, memintanya datang malam ini juga. Buru-buru Fatih memarkirkan mobilnya, lalu setengah berlari memasuki bangunan berlantai dua itu. "Permisi, Om, Tante." Pemuda itu menyalami sepasang suami istri yang sedang duduk di ruang tengah. "Lho, Fatih?" "Tadi Vita ngabarin aku katanya aku di suruh ke sini, Om," ucapnya, menjawab tanya pria paruh baya yang merupakan adik dari ibunya itu. "Ish, anak itu. Kayak nggak ada hari lain aja, kamu jadi datang malam-malam begini," omel Rita, ibu kandung Vita. "Iya, padahal cuma mukanya aja yang sakit. Dia masih sama seperti dulu, manja dan tergantung sama kamu Fatih, maaf ya," sambung Arya. "Nggak apa-apa Om. Lho, memangnya Vita sakit?" Vita memang tidak mengatakan apa-apa pada Fatih tadi selain hanya menyuruh pria itu untuk datang. "Kamu samperin aja sana, di kamarnya." "Ya udah Tante, Om. Aku ke kamar Vita dulu. Hubungan antara dua sepupu itu memang sangat dekat. Mereka tumbuh bersama. Fatih kecil sangat dewasa dan bijaksana, dia laksana pahlawan bagi Vita yang malah sering dijahili kakak kandungnya sendiri. "Vit." Menggedor pintu kamar Vita. "Mas Fatih, masuk aja Mas!" Teriak Vita dari dalam kamar. "Mas ..." "Ya Tuhan, ada apa dengan wajahmu Vit?" Pria itu duduk di tepi ranjang. "Panjang ceritanya Mas." Vita terisak dalam pelukan Fatih. Begitulah Fatih, saking sayangnya pada Vita yang telah dia anggap seperti adik kandungnya sendiri. "Udah jangan nangis. Minum dulu ya?" Vita masih menangis sesenggukan. "Kok bisa sih muka kamu jadi begini? Udah ke dokter?" Vita mengangguk. "Cerita sama aku!" "Tapi sebelum aku ceritakan semuanya, janji kamu mau bantu cari jalan keluarnya ya Mas," pinta Vita. Dengan cepat Fatih mengangguk setuju. "Dokter bilang ada kandungan zat kimia berbahaya dalam krim wajah yang aku pakai." Vita memulai ceritanya. "Terus?" "Aku curiga ada orang yang sengaja naruh begituan di krim wajahnya Flora." "Apa hubungannya?" Fatih mengerutkan keningnya. "Asal Mas tahu aja, aku tuh sebenernya korban salah sasaran. Orang yang udah naruh zat kimia bahaya itu sengaja mau ngerjain Flora, tapi ternyata salah sasaran karena aku yang lebih dulu pakai krimnya Flora tadi habis pulang kantor." Fatih masih berusaha mencerna ucapan adik sepupunya itu. "Karena nggak bawa peralatan make up, aku iseng minjem punya Flora, Mas. Habis aku pakai, mukaku malah jadi kayak gini. Flora sama Sakti bawa aku ke rumah sakit dan dokter menjelaskan dengan detail kalau produk krimnya Flora itu keluaran brand ternama jadi nggak mungkin akan ada kandungan zat berbahaya itu kalau nggak ada orang yang emang sengaja mencampurkannya Mas," beber Vita. "Mas masih belum ngerti Vit." "Langsung aja ya, tapi aku harap kamu nggak tersinggung kalau aku nuduh satu nama yang pantas jadi terdakwa," cetus Vita. "Siapa?" "Calon istrimu!" "Agni?" Fatih terbelalak, tak percaya. "Dari awal aku kerja di kantor itu, aku udah lihat sendiri gimana wanita jahat itu memperlakukan Flora Mas. Mereka itu cuma saudara tiri, dan Agni itu benci banget sama Flora. Flora tuh anaknya baik, dia nggak punya musuh selain Agni, jadi hanya dia satu-satunya nama yang pantas untuk dicurigai." "Apa mungkin dia bisa sekejam itu?" Tanya Fatih, meragu. "Aku udah berulang kali ngingetin kamu Mas, jangan sampai kamu terperdaya sama wanita itu. Dia itu jahatnya nggak ketulungan, aku juga nggak setuju kan kamu dijodohin sama dia. Eh, Mas malah terima begitu aja." "Aku punya alasan khusus kenapa menerima perjodohan ini Vit," balas Fatih. "Emang apa alasannya?" "Suatu saat kamu akan tahu. Sekarang kita pikirkan cara gimana menemukan pelaku sebenarnya. Aku nggak tega sama Flora. Ini udah masuk tindakan kriminal, bisa aja sewaktu-waktu orang itu bakalan melakukan hal yang lebih gila lagi pada Flora." "Kamu bener Mas, tapi gimana caranya? Mas nggak tahu sih gimana liciknya perempuan itu." Fatih berpikir keras untuk menemukan jalan keluar dari masalah ini. "Udah malam, sekarang sebaiknya kamu tidur! Biar nanti aku pikirin cara untuk mengungkap semua ini." "Iya Mas." "Aku pulang dulu ya," izin Fatih. "Hati-hati di jalan." "Hm." Fatih meninggalkan Vita dan kembali mengemudikan mobilnya menuju rumahnya. Malam makin larut, pikirannya terus dihantui ucapan Vita tadi. Itu baru zat kimia yang bisa membuat pemakainya mati perlahan-lahan, bagaimana jika hal lebih berbahaya kembali dilakukan oleh pelaku? Beruntung juga sepupunya menjelaskan kejadian tadi, jika tidak, maka Fatih akan malu karena terlanjur mengambil kesimpulan pada saat dia melihat Flora pulang diantar Sakti tadi. Fatih tahu, tidak seharusnya dia masih menyimpan rasa itu, tapi ini soal hati. Siapa yang bisa mengendalikan satu ruang paling sensitif itu? Jika diizinkan untuk memilih, tentu saja Fatih akan memilih Flora untuk menjadi pendamping hidupnya, bukan gadis lain apa lagi gadis jahat seperti Agni. Keesokan paginya. Flora baru saja selesai mandi. Floral dress putih sepanjang lutut dengan motif bunga warna peach telah membalut tubuhnya. Drtt ... Drttt. Mengurungkan niatnya untuk menyisir rambut, Flora lebih dulu meraih ponselnya. Ragu, antara menerima atau mengabaikan panggilan itu, pada panggilan kedua akhirnya Flora memutuskan untuk mengangkatnya. "Flo." "Ada apa Kak?" "Sorry ya, pagi-pagi gini nelepon." "Nggak apa-apa." "Hm, kamu sibuk nggak?" Suara Sakti terdengar bergetar di seberang sana. "Nggak juga Kak, ini habis mandi. Kenapa emangnya?" "Boleh minta tolong nggak?" "Apa?" Prang! Belum juga terdengar jawaban dari Sakti, bunyi pecahan kaca terdengar sangat jelas. "Ya ampun Kak, ada apa?" Tanya Flora, panik. "Bisa minta tolong nggak?" "Iya, tolong apa, cepetan jawab!" "Tolong kamu ke kost-kostan aku sekarang ya." "Mana alamatnya?" "Aku kirim." Suara Sakti melemah, dan itu membuat Flora semakin panik. Menyisir rambutnya cepat, Flora meraih tasnya dan bersiap untuk menuju alamat yang baru saja dikirimkan Sakti. Perasaannya mengatakan telah terjadi sesuatu pada Sakti. "Astaga, Flora! Kalau jalan lihat-lihat kenapa sih! Coba kalau tadi aku mental ke bawah, mau tanggung jawab kamu," oceh Agni yang berpapasan dengan Flora di anak tangga. "Sorry, lagi buru-buru pir," jawab Flora, singkat. "Pir?" Agni mengernyitkan keningnya. "Iya, nama panggilan kesayanganmu." Dua gadis itu saling berbincang dengan Flora yang menuruni anak tangga sementara Agni mematung di anak tangga paling atas. "Pir itu kependekan dari nenek lampir, cuma panggilan itu yang cocok sama kamu," kekeh Flora. "Dih, kurang ajar kamu ya! Aku lempar sendal nih, baru tahu rasa!" Flora mendongak agar bisa melihat reaksi saudara tirinya. "Lho, muka kamu baik-baik aja Flo?" Tanya Agni. Deg. Flora menghentikan langkahnya mendengar pertanyaan Agni. Ia kembali menoleh, hendak bertanya, tapi belum sempat dia membuka mulutnya, Agni ternyata sudah tak ada lagi di sana. "Mulut kurang ajar! Bisa-bisanya nggak ada remnya, gimana kalau Flora curiga," ucap Agni, memaki dirinya sendiri. Flora ingin memastikan hal itu, tapi sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat. Ia terlalu khawatir pada Sakti. Apa yang terjadi pada lelaki itu? Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN