Flora membereskan lembar dokumen yang berceceran di meja.
"Hm, Pak. Habis ini saya boleh langsung pulang kan?" Tanya Flora pada atasannya, Adit.
"Ya."
"Ya udah kalau gitu saya duluan Pak."
Pria beranak satu itu hanya mengangguk.
Flora mempercepat langkahnya. Rasa lelah yang melandanya membuat dia ingin segera pulang ke rumah. Berendam air hangat, lalu tidur di kasur terasa begitu indah dalam bayangan gadis itu.
"Eh, Flo. Pulang bareng yuk," ajak Vita.
"Kita kan beda arah Vit, aku nggak mau ah ngrepotin kamu."
"Ish, jadi orang kok nggak peka banget. Maksudku kita bisa mampir ke mana gitu, besok libur inih. Ayolah," rengek Vita, ia mengikuti langkah Flora menuju kubikelnya.
"Emangnya mau ke mana?"
"Kita mampir ke kafe kek, ngobrol sebentar, atau makan di restoran, atau jalan-jalan ke mall?"
Flora menghembuskan napas panjang. "Padahal rencana aku mau berendam air hangat terus langsung tidur. Capek Vit."
"Mumpung besok libur Flo, lagian besok kamu juga bisa istirahat sepuasmu kok."
"Ya udah deh, iya. Tapi pulangnya jangan kemalaman ya, aku nggak enak sama ayah," balas Flora sambil membereskan mejanya.
"Beres. Kamu bawa peralatan make up nggak? Aku mau touch up nih, tapi punyaku ketinggalan di rumah. Kita kan mau refreshing, ayolah ... Masa muka kucel gini."
"Ada di tas tuh, ambil aja!"
Vita mulai mencari keberadaan benda itu, sedangkan Flora masih sibuk membereskan mejanya.
"Buset Flora! Pantesan aku perhatiin kamu jarang banget dandan. Gila sih, skincare kamu mahal banget," seru Vita tak percaya. Ia menemukan cup krim produk perawatan terkenal dengan harga fantastis di dalam pouch kosmetik temannya.
"Lebay."
"Serius Flo, emang kamu pikir aku nggak tahu apa? Ini tuh skincare mahal!"
Flora menanggapi ocehan temannya dengan sebuah senyum simpul.
"Boleh aku coba nggak Flo?"
"Boleh, pakai aja."
"Emang dasarnya kamu udah cantik dari lahir, eh ditunjang skincare mewah, ya gimana nggak makin cantik aja mukamu. Nggak heran sih kalau Mas Fatih tergila-gila sama kamu."
Flora membungkam mulut temannya. "Ini mulut kebiasaan, suka nggak ada filternya. Takut ada yang denger Vit, apa kata orang nanti?"
"Iya, maaf."
"Aku ke toilet dulu ya? Kamu selesaikan aja dandananmu dulu," kata Flora.
"OK."
Vita membongkar isi pouch berwarna hitam itu. Matanya semakin melotot tak percaya. Krim wajah, bedak, cushion, pemulas bibir dan semua yang ada di sana memang keluaran brand kosmetik ternama.
"Gila ini anak. Diem-diem kaya juga dia." Vita menggelengkan kepalanya, heran. "Kalau diuangin, bisa sampe berapa puluh juta ini," imbuhnya.
Flora yang baru saja ke luar dari toilet berpapasan dengan Sakti.
"Belum pulang?"
"Ini mau pulang. Kamu baru pulang?"
Sakti mengangguk. Flora tahu menjelang makan siang Sakti pergi untuk meninjau lokasi proyek.
"Ya udah aku duluan."
"Tunggu!" Cegah Sakti.
"Ada apa?"
"Biar aku antar."
Flora menghela napas berat, mendengar Sakti mengajaknya pulang malah menjadi beban tersendiri baginya.
"Maaf Kak, tapi aku udah janjian mau pulang bareng sama Vita," tolak Flora.
Untungnya Flora memiliki alasan untuk menghindari lelaki itu, karena pada dasarnya dia masih enggan pada Sakti. Dia tak mau menjadi tempat persinggahan saja karena sejauh Flora tahu, Sakti benar-benar mencintai Agni.
"Argh! Flora!"
Flora terkejut mendengar teriakan temannya. Hampir semua karyawan sudah meninggalkan kantor jadi teriakan Vita terdengar sangat keras. Buru-buru dia berlari menuju kubikelnya.
"Ada apa Vit?"
"Flo, mukaku panas, perih ini, sakit." Gadis itu mengeluh.
"Astaga! Kok bisa gini sih?" Flora panik melihat wajah Vita yang berubah merah seperti melepuh.
"Nggak tau Flo, habis pakai krim kamu tiba-tiba mukaku panas." Vita menangis sambil sesekali menggaruk wajahnya.
"Jangan digaruk Vit, nanti makin sakit."
"Sebaiknya kita cepat pergi ke dokter!" Seru Sakti yang ternyata sudah berdiri di belakang Flora.
"Kamu anterin dia ke rumah sakit Kak," kata Flora.
"Pakai mobilku aja, kebetulan aku bawa mobil kakakku," timpal Vita.
"Buruan ayo!"
Ketiganya berlari menuju alat angkut. Sakti menekan pedal gas dalam-dalam begitu kereta besi berwarna putih itu dia keluarkan dari parkiran.
"Nggak usah ngebut-ngebut Kak, pelan-pelan aja bawa mobilnya, aku takut," cicit Flora.
"Tenang aja Flo, aman kok," sahut Sakti di depan kemudi.
Vita masih terus menangis, Flora ikut panik melihat wajah Vita yang berubah menjadi menyeramkan.
Selang satu jam. Usai menunggu lama, akhirnya dokter yang memeriksa Vita keluar juga. Tanpa sadar Sakti menggandeng tangan Flora, mendekati dokter itu.
"Kalian temannya pasien?"
"Iya Dok." Sepasang muda mudi itu kompak menjawab.
"Bagaimana keadaan teman saya Dok?" Tanya Flora.
"Pasien mengalami luka yang cukup serius pada bagian wajahnya."
Flora membekap mulutnya. "Bagaimana bisa Dok?"
"Menurut pengamatan saya, pasien memakai krim wajah berbahaya."
Duar!
Flora limbung, hampir saja tubuhnya roboh jika Sakti tidak sigap menangkapnya.
"Nggak mungkin Dok. Teman saya itu baru aja pakai krim wajah saya, dan selama ini saya pakai itu juga aman-aman aja Dok," timpal Flora.
"Tapi melihat kondisi wajahnya yang rusak seperti itu, saya curiga memang ada kandungan berbahaya dalam krim wajah yang baru saja dia pakai," jelas dokter itu.
"Kalau boleh saya minta, tolong berikan krim itu pada saya, biar nanti saya akan cek di lab," imbuh pria berkacamata itu lagi.
"Baik Dok." Flora merogoh tasnya, mengeluarkan cup kecil itu dan memberikannya pada dokter.
"Jadi apa yang harus kami lakukan Dok?" Kali ini Sakti angkat bicara.
"Kondisi pasien sudah jauh lebih baik, dia juga tidak perlu rawat inap, hanya saja untuk mengetahui benar atau tidaknya kecurigaan saya, kalian harus menunggu kurang lebih satu jam lagi, menunggu hasil lab keluar. Bagaimana?"
"Baik Dok." Flora mengangguk setuju.
Dokter pun berlalu dengan membawa krim wajah milik Flora.
Sakti diam di sudut ruangan menyaksikan dua gadis di depannya menangis sambil berpelukan.
"Jangan nangis Flo, aku udah baikan kok," lirih Vita.
"Aku nggak tega lihat kamu kayak gini Vit, apalagi kamu habis pakai krim aku. Sumpah demi Tuhan Vit, selama ini aku pakai juga nggak apa-apa, aman-aman aja."
"Itu dia yang bikin aku heran Flo. Mending kamu buang aja deh krim itu, aku takut muka kamu juga rusak kayak aku gini." Vita kembali tersedu.
"Krimnya udah aku kasih sama dokter yang menangani kamu tadi Vit, dokter curiga sama kandungan krim itu makanya mau dicek ke lab," jelas Flora.
"Syukurlah, seenggaknya kita bakalan tahu apa yang bikin mukaku jadi rusak gini."
Sakti membawa bungkusan dan menyerahkannya pada Flora.
"Sebaiknya kalian makan dulu. Udah malem, kalian pasti lapar."
"Terima kasih Kak."
"Hm. Aku makan di luar ya, takut ganggu kalian ngerumpi," kata Sakti.
"Ngerumpi apaan, orang cuma ngobrol biasa kok," tampik Flora.
"Ya Sakti, makan di sini aja biar ramai. Lebih enak makan bareng-bareng lho," Vita menimpali.
Sakti mengalah. Flora mengambilkan sebuah kursi untuk pria itu duduki. Nasi sapi lada hitam juga satu cup besar es jeruk berhasil mereka habiskan.
"Flo, ponsel kamu bunyi," kata Vita.
Flora menggeser icon hijau dan menempelkan benda itu di telinganya.
"Ya ampun Ayah, maafin Flora Yah. Aku lupa nggak kasih tahu Ayah."
"Nggak apa-apa Sayang. Kamu di mana? Kenapa belum pulang juga?" Nada khawatir terdengar jelas di setiap ucapan Panji.
"Aku di rumah sakit Yah. Maaf ya, saking paniknya aku lupa ngabarin Ayah."
"Kamu sakit?"
"Bukan, temenku yang sakit Yah. Vita namanya, yang waktu itu pernah aku ceritain ke Ayah."
"Oh, Ayah kira kamu yang sakit, ya udah kalau gitu. Udah hampir jam sembilan Nak, nanti kamu pulangnya gimana?" Lagi, Panji mengkhawatirkan putrinya.
"Ayah nggak usah khawatir, aku bisa pulang naik taksi online kok. Ayah jangan lupa minum obat ya, tidurnya juga jangan kemalaman. Habis ini Flora pulang kok."
"Ya. Kamu hati-hati ya Sayang."
"Iya Yah."
Sakti terpaku, sedari tadi dia terus menatap wajah Flora, wajah ayu pemilik mata teduh nan hangat. Ah, buru-buru dia mengalihkan perhatiannya sebelum getaran aneh dalam hatinya kian menjadi.
"Nanti kalian pulangnya gimana?" Tanya Vita.
"Gini aja, sebaiknya aku anter kamu pulang dulu, habis itu aku sama Flora pulang naik taksi. Aku musti ke kantor dulu ambil motor." Sakti melirik Flora, seolah meminta persetujuan.
"Nggak usah, kamu bawa mobil aku aja terus kamu anterin Flora. Aku udah hubungi keluargaku dan mereka udah dalam perjalanan ke sini. Motornya biarin di kantor aja, pasti aman kok," saran Vita.
"Aku tahu motornya aman, tapi masalahnya besok kan libur, rencananya aku mau pulang ke rumah mamaku."
"Terus gimana dong?"
"Nggak apa-apa aku sama Kak Sakti pulang sendiri. Lagian kami bisa naik taksi atau bus kok, udah nggak usah dipikirin," ucap Flora, menengahi.
"Permisi."
Mereka bertiga mengalihkan perhatiannya, seorang pria bersnelli yang tadi memeriksa Vita memasuki ruangan itu.
"Silakan Dok. Bagaimana hasilnya?" Tanya Sakti.
"Kecurigaan saya benar, ada kandungan zat kimia berbahaya dalam krim wajah ini."
Flora terkejut bukan main. "Zat kimia berbahaya? Bagaimana mungkin Dok, sedangkan saya setiap hari memakainya juga aman-aman saja selama ini."
"Tapi kenyataannya begitu Mba. Tidak main-main, zat kimia itu jika terus menerus terpapar pada wajah seseorang, maka kulit orang itu akan rusak, dan parahnya lagi bisa menimbulkan kanker kulit dan bisa menyebabkan kematian."
Sakti membimbing Flora untuk duduk. Gadis itu begitu syok mendengar penjelasan dari dokter.
"Awalnya saya ragu karena krim ini memang dikeluarkan oleh brand ternama yang sudah jelas memiliki sertifikasi standar pembuatan kosmetik, tapi setelah saya selidiki, sepertinya ada orang yang dengan sengaja menaruh zat kimia itu ke dalam krim yang tadi dipakai pasien," beber dokter bernama Rendy itu.
"Apa?"
Flora dan Vita saling berpandangan. "Ada orang yang nggak suka sama kamu Flo," cetus Vita.
"Nggak mungkin, memang apa motifnya?"
Vita menggendikan bahunya. "Nggak tahu, tapi yang jelas dia nggak suka sama kamu itu sebabnya dia berusaha untuk merusak wajahmu dengan memasukkan zat kimia berbahaya ke dalam krim wajahmu, tapi ternyata nggak tepat sasaran karena yang kena aku," ungkap Vita.
Butiran bening di sudut mata Flora berlomba-lomba jatuh tanpa dikomando. "Maafin aku Vit," ucapnya penuh sesal.
"Nggak apa-apa. Udah jangan nangis ah, malu. Diambil hikmahnya aja Flo, itu berarti Tuhan masih sayang sama kamu dengan membongkar kejadian ini sebelum kamu memakai krim itu."
"Saran saya, sebaiknya Anda cepat mencari tahu pelakunya. Ini sudah bisa dikatakan sebagai tindakan kriminal, dan tidak bisa dibiarkan," kata Dokter Rendy.
"Iya Dok, kami akan mencari tahu pelakunya," jawab Vita karena Flora masih larut dalam tangisnya.
Dokter pun meninggalkan ruangan itu. Sakti dan kedua gadis itu diam, larut dalam pikirannya masing-masing.
***
Flora terus menatap jendela. Gedung pencakar langit berjajar dengan hingar bingar kehidupan malam khas kota metropolitan.
"Nggak usah dipikirin Flo, kita cari pelakunya sama-sama. Kita selidiki, pasti ketemu," kata Sakti.
Flora mengangguk dibarengi dengan senyum tipis. Saat ini keduanya sedang berada dalam taksi yang membawa mereka menuju kantor. Untungnya jarak dari kantor ke rumahnya Flora satu arah. Tadinya Sakti berniat untuk mengantarkan Flora, akan tetapi Flora bersikeras menolaknya. Flora merasa tak enak. Apa tanggapan orang, terutama ibu dan saudara tirinya jika mereka tahu Flora pulang malam diantar pria yang baru saja ditolak menjadi menantu di rumah itu?
"Tapi kira-kira siapa Kak?"
"Itu dia yang harus kita cari tahu, kamu nggak mungkin punya musuh," timpal Sakti.
"Siapa yang tahu. Orang benci itu tidak harus menjadi musuh, kalau benci aja udah cukup untuk seseorang berbuat jahat."
"Selama ini ada nggak yang suka kasar dan jahatin kamu?"
Deg.
Flora menatap lekat iris mata pria itu. Pertanyaan Sakti membawanya pada satu nama.
'Nggak mungkin Agni tega melakukan hal serendah ini padaku, tapi bagaimana jika memang dia pelakunya?'
"Flo," panggil Sakti.
"Ah, iya Kak." Gadis itu terkesiap.
"Ada nggak yang jahat sama kamu?"
Gadis itu menggeleng pelan. Dia sungguh bingung harus bagaimana dan berbuat apa. Untuk saat ini yang ada dalam pikirannya adalah mencari tahu kebenaran dugaannya bahwa Agni pelaku yang telah menaruh zat kimia dalam cup krimnya.
Flora harus memikirkan cara untuk menemukan dan menangkap basah pelaku itu, secepatnya dan jika benar Agni pelakunya, maka Flora akan membuat perhitungan yang tidak akan pernah bisa Agni lupakan seumur hidupnya.
Lihat saja nanti.
Bersambung ....
*Happy reading Dears, semoga suka dengan ceritanya ya. Jangan lupa komen yg banyak biar aku semangat nulisnya. Saranghae All ❤️❤️❤️