Masing-masing orang kembali fokus dengan isi piring di hadapannya. Flora melirik ponselnya ketika layar benda pipih nan canggih itu berkedip.
Aku udah nunggu di luar.
'Mau apa lagi dia sebenarnya,' Flora membatin.
Setelah berpamitan pada Panji dan Adel, Flora menyambar tasnya dan gegas meninggalkan rumah.
"Hai, selamat pagi Flo."
"Ngapain kamu ke sini?" Tanya Flora, ketus.
"Mau jemput kamu."
"Lain kali nggak usah repot-repot ya! Aku bisa kok berangkat ke kantor sendiri."
"Flo, kita bisa kan berteman kayak dulu lagi," lirih pemuda itu yang tak lain adalah Sakti. "Kamu udah nggak dijemput lagi sama Fatih, jadi aku boleh dong jemput kamu?"
"Bukannya apa-apa Kak, aku nggak mau ada gosip berkembang."
"Maksud kamu?"
"Semua orang kantor tahu kalau kamu sedang menjalin hubungan dengan Agni, apa jadinya kalau mereka tahu kamu jemput aku?"
"Mereka udah tahu kalau aku ditolak."
"Kenapa musti cerita sih? Itu masalah pribadi kamu, nggak semua yang kamu alami harus kamu ceritakan sama orang. Apa tanggapan mereka sama kamu nanti."
Sakti terdiam. Ia tahu ada gurat kecemasan yang timbul dari setiap ucapan Flora untuknya.
"Dari pada mereka tahu dari orang lain," ucap Sakti.
"Nggak akan ada yang tahu kalau kamu nggak ngomong."
Flora sendiri seolah tak sadar dengan apa yang baru saja diucapkannya, dia tak tahu karena hal itulah Sakti kembali merasakan getaran aneh itu lagi.
"Emang apa masalahnya Flo? Aku nggak apa-apa kok. Ayo naik, udah siang."
Sakti berniat memakaikan helm pada Flora, tapi gadis itu dengan cepat mengelak dan memakaikannya sendiri.
Motor pun melaju. Sepanjang perjalanan keduanya hanya diam dengan pikirannya masing-masing.
Sakti memberhentikan motornya ketika lampu merah menyala. Bertepatan dengan itu, Fatih yang sedang berada di mobil tak jauh dari mereka pun mau tidak mau melihat pemandangan itu.
Fatih tersenyum miris. Ia sudah seperti pecundang. Ya, dia memang pecundang karena tak bisa berbuat banyak demi menggagalkan rencana perjodohan dari ibunya. Selama ini dia selalu menomorsatukan perasaan ibunya, lalu apa kabar dengan perasaannya saat ini?
"Semoga kau hidup bahagia Flo. Dengan siapapun kita berjodoh, aku akan tetap mendoakan yang terbaik untukmu," monolog Fatih.
Lampu hijau menyala, semua pengendara kembali melajukan kendaraannya.
Sesampainya di kantor, Vita buru-buru menyeret Flora.
"Aduh, Vit. Untung nggak jatuh. Ada apa sih?"
"Aku mau ngomong sama kamu," kata Vita.
Flora melirik Sakti.
"Aku duluan ya." Pria itu berjalan ke meja kerjanya, membiarkan dua gadis itu bicara empat mata.
"Soal apa Vit?"
"Aduh, kenapa masalahnya jadi ribet gini sih Flo? Semalam Mas Fatih telepon aku, dia udah cerita semuanya."
Flora menghembuskan berat. "Sudah bagian dari takdir Vit."
"Tapi masa iya sih Mas Fatih dijodohinnya sama nenek lampir itu, kenapa nggak sama kamu aja?"
"Ya karena mungkin aku emang nggak jodoh sama Mas Fatih," tukas Flora.
Vita menatap temannya dengan tatapan penuh selidik.
"Kenapa?" Tanya Flora.
"Kenapa kamu nggak kasih tahu sama aku kalau sebenarnya kamu sama nenek lampir itu saudaraan?"
"Bukannya apa-apa Vit, aku cuma nggak mau ribet aja."
"Aku beneran nggak nyangka sama kamu Flo. Bisa-bisanya kamu bersikap seperti ini, seolah nggak terjadi apa-apa. Aku masih inget gimana dia memperlakukan kamu waktu pertama kali kita kerja di kantor ini. Dan yang lebih keterlaluan lagi, kenapa dia nyuruh kamu jadi staf keuangan, padahal bisa aja kan kamu kerja di posisi yang bener dikit," oceh Vita.
"Emang ada yang salah kalau aku cuma jadi staf keuangan, yang penting kan kita digaji dan gajinya halal."
"Astaga, kebangetan banget emang itu nenek lampir. Mentang-mentang kamu cuma saudara tiri terus dia memperlakukan kamu seenaknya. Nggak heran sih kalau dia selalu cari-cari kesalahan kamu Flo."
Vita tidak tahu kalau sebenarnya Agnilah yang merebut semua itu dari tangan Flora, dan Flora memilih diam tak menjelaskan karena takut masalahnya makin berbuntut panjang. Dia biarkan saja Vita berpikir kalau Agni yang merupakan anak pemilik perusahaan ini, bukan dirinya.
"Ya udah Vit, nggak usah marah-marah gitu masih pagi. Aku tahu maksud kamu baik, aku cuma nggak mau kamu ikut kena imbasnya kalau sampai kamu belain aku di depan Agni," kata Flora.
"Nggak ngerti aku sama jalan pikiran kamu Flo. Terbuat dari apa sih hati kamu?"
"Udah, aku nggak apa-apa kok, beneran." Mengusap bahu Vita. "Oh, ya. Soal ini, tolong kamu rahasiakan ya, aku nggak mau sampai ada yang tahu kalau aku sama Agni saudaraan."
"Hm." Vita hanya menjawabnya dengan berdehem.
"Kamu masih mau kan temanan sama aku."
"Ih, ngomong apaan sih? Ya masihlah, emangnya aku milih-milih temen apa," ketus Vita. Gadis itu tersenyum manis sambil memeluk Flora.
"Makasih ya Vit, aku nggak tahu deh bakalan jadi apa ceritanya kalau aku nggak punya kamu," ucap Flora, tulus.
"Mulai sekarang, kamu bisa cerita apa aja ke aku, nggak usah sungkan. Anggap aku seperti saudara."
"Ya. Aku emang cuma punya kamu Vit, aku nggak punya temen lagi selain kamu."
Sakti menyipitkan matanya melihat kedua gadis itu berpelukan. Perasaannya mengatakan kalau mereka terlibat pembicaraan serius hingga keduanya sampai berpelukan seperti itu, dan hal itu membuat Sakti penasaran.
Hari mulai beranjak siang, matahari mulai terik. Semua orang masih sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Agni memasuki ruangannya usai menghadiri rapat umum pemegang saham.
"Audy! Minta Doni kirim minuman yang seger-seger sama camilan ke sini ya," pinta gadis itu pada sekretarisnya yang juga ikut masuk dengannya.
"Baik Bu. Sebentar lagi jam makan siang, apa nggak sebaiknya minta dikirim makan siang buat Ibu?"
"Nggak usah, itu aja dulu."
"Baik Bu."
Agni meraih ponselnya. Ada beberapa pesan masuk dan salah satu di antaranya merupakan pesan dari lelaki yang telah merebut perhatiannya.
Jam makan siang aku jemput di depan, kita ada janji sama desainer buat ukur baju pengantin.
Senyuman terkembang di bibir Agni kala membaca sebaris pesan yang dikirim Fatih padanya.
Iya Mas. Balasnya singkat.
Sisa tiga puluh menit lagi dari jam yang dijanjikan Fatih, akan tetapi Agni merasa sudah tak sabar. Akhirnya rencana pernikahan impiannya bisa terwujud. Selain tampan dan kaya, Fatih memang merupakan tipe ideal Agni. Tak bisa dibayangkan betapa bahagianya dia yang tanpa bersusah payah untuk bisa bersanding dengan pria pujaan hatinya.
Membuka pouch peralatan make up nya, Agni mulai mempercantik diri. Tak boleh ada cela sedikitpun, berharap cinta itu cepat tumbuh di hati Fatih untuknya.
"Sorry, lama nunggunya?"
Fatih terkesiap, lamunannya buyar seketika. "Eung, enggak kok. Ayo!" Membukakan pintu untuk gadis itu dan mulai melajukan mobilnya di jalan utama.
"Mau makan dulu atau mau langsung ke butik?" Tanya Fatih.
"Ke butik aja dulu, kebetulan aku belum terlalu lapar."
"OK."
Beruntung Fatih masih bisa menaklukkan jalanan, meskipun sempat beberapa kali terjebak macet tapi akhirnya mereka cepat sampai di butik.
Seorang staf penjaga butik langsung membawa keduanya ke ruang khusus. Fatih diam menyimak obrolan yang didominasi dua wanita di depannya itu.
Agni sibuk mendeskripsikan gaun pengantin yang ingin dipakainya di hari bahagianya nanti.
Sesi ukur mengukur pun selesai dengan cepat. Fatih tak banyak bicara karena dia memang tidak begitu antusias dengan pernikahan ini.
"Mau makan di mana?"
Begitulah Fatih, dia akan selalu menanyakan hal seperlunya saja. Pria itu terkesan irit bicara tapi itu yang membuat Agni makin tergila-gila padanya. Pembawaannya tenang tapi masih menyisipkan sedikit perhatian.
"Terserah kamu aja Mas."
"OK."
Tak ada lagi obrolan di antara mereka, pun ketika mereka tiba dan menghabiskan makan siangnya di restoran. Piring di hadapan mereka telah bersih.
"Aku ke toilet dulu ya," kata Fatih.
"Iya Mas."
Pria itu bangkit dari sana. Agni melirik ponsel Fatih yang tergeletak di meja, sepertinya Fatih sengaja tak membawanya, atau memang lupa.
Rasa penasaran yang menggunung membuat gadis itu terdorong untuk meraih ponsel itu. Agni girang bukan main ketika layarnya terbuka tanpa menggunakan kunci.
Aplikasi hijau menjadi hal pertama yang ingin dia selidiki. Satu per satu pesan dia periksa. Matanya membulat penuh ketika didapati satu percakapan Fatih dengan Flora.
Dengan cepat Agni menggulir layar dan dia merasakan gelombang yang luar biasa dahsyat menghantam dadanya ketika membaca rentetan pesan itu. Meskipun sama sekali tak ada balasan dari Flora, tapi tetap saja hal itu membuatnya meradang.
"Jadi kamu masih berhubungan dengan Flora, awas aja kamu Mas!"
Buru-buru Agni mengembalikan benda itu di meja ketika dilihatnya Fatih berjalan mendekat. Berpura-pura seolah tak terjadi apa-apa, keduanya memutuskan untuk kembali ke kantor.
"Kamu sakit?" Tanya Fatih, menyadari Agni menjadi lebih pendiam.
"Enggak, aku nggak apa-apa kok."
Sementara mobil terus melaju, Agni sibuk memikirkan cara untuk memberi Flora pelajaran.
Di tengah perjalanan, Agni minta Fatih mengantarnya ke apotek terlebih dulu.
"Kita ke dokter aja ya kalau kamu sakit. Nggak bagus minum obat tanpa resep dokter," kata pria itu.
"Nggak kok Mas, aku cuma mau beli vitamin aja," dusta Agni. Faktanya, dia mau membeli sesuatu.
"Ya udah." Fatih merogoh saku celananya.
"Nggak usah Mas, aku bawa uang kok," tolak Agni, menyadari Fatih akan memberinya uang.
'Ini yang buat aku makin cinta sama kamu Mas. Kamu bener-bener sosok suami idaman aku banget. Aku nggak bisa biarin ini terus terjadi, aku nggak mau Flora atau siapapun gadis di luaran sana rebut kamu dari aku.'
Setelah membayar pesanannya, Agni kembali ke mobil.
"Buat kamu Mas." Menyodorkan kantong plastik kecil pada Fatih.
"Apa ini?"
"Vitamin."
"Terima kasih ya," ucap Fatih.
Agni mengangguk. Dia sengaja membeli dua vitamin, satu untuknya dan satu lagi untuk Fatih. Untuk menghilangkan jejak tentu saja.
Mobil terparkir manis di lobi kantor ketika jarum jam sudah menunjukkan pukul tiga.
"Lain kali aku jemput ya," kata Fatih.
"Iya Mas, aku tahu kamu sibuk, nggak apa-apa aku biasa nyetir sendiri kok."
"Sampai jumpa lagi. Mungkin besok kita masih harus keluar buat persiapan pernikahan, masih banyak yang perlu kita urus."
"Ya. Hati-hati di jalan Mas." Agni melambaikan tangannya, ia baru berlalu dari sana ketika mobil Fatih menghilang dari pandangannya.
Memasang senyum licik, dia buru-buru naik ke lantai atas.
'Lihat aja Flo, apa yang bakalan aku lakuin ke kamu.'
Agni melirik kubikel saudara tirinya yang ternyata kosong. Sakti pun tak terlihat ada di meja kerjanya, sementara staf lain terlihat sibuk dengan urusannya masing-masing.
Agni baru ingat jika dia menyuruh Sakti untuk meninjau lokasi pembangunan proyek cabang perusahaan yang letaknya agak jauh dari gedung ini. Hal ini akan sangat menguntungkan baginya.
Gegas Agni mendekati kubikel Flora. Setelah memastikan keadaan aman, gadis itu pun mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Perlahan dia membuka tas Flora, tangannya bergerak lincah menjalankan aksinya.
Beres.
Agni berjalan menuju ruangannya dengan senyum penuh kemenangan.
"Ini baru permulaan Flora sayang, kamu akan mendapatkan hadiah yang jauh lebih mengejutkan lagi dibandingkan dengan ini," monolognya.
Bersambung ....