Rafi Pagi itu, sinar matahari menembus celah tirai besar di ruang kantor. Aku berdiri termenung di depan kaca besar yang menutupi hampir separuh dinding. Bayangan wajahku terpantul di sana, nampak kusut, juga lelah. Aku mendesah lelah, merasa seolah-olah waktu berjalan lebih cepat dari yang seharusnya, meninggalkan banyak hal yang belum terselesaikan. Sudah lebih dari seribu tiga ratus hari berlalu sejak aku dan Suci berpisah, dan meskipun banyak yang sudah berubah, satu hal tetap sama: aku masih merindunya. Bahkan lebih kuat daripada sebelumnya. Rasa sesal di dalam hatiku makin menggunung, mendamba maaf darinya. Kembali aku menghela napas dan menyentuh kaca itu, menulis sebuah nama, seolah mencoba meraih sesuatu yang hilang. Erlan berjalan mendekat, mengangkat alisnya dan melihatku da