Rivia dan Sebuah Kenyataan Pahit

1112 Kata
Quantrum Tetranum sebelum kedatangan Mirabell                 “Apa kau melihat Rivia?” Tanya Steve panik pada Felix. Felix menggeleng. Dari pagi dia sibuk membuat busur tanpa keluar rumah, jadi dia tidak tahu keberadaan seseorang yang ditanyakan oleh Steve. Harusnya hari ini adalah hari kepulangan Rivia. Namun Steve tak bisa menemukan keberadaan gadis ittu. “Apa kau sudah mencari ke seluruh tempat?” tanya Felix. Steve mengangguk. Lelaki itu sudah mengitari hutan ini beberapa kali. Dia bahkan sudah bertanya ke Edmund, Bernald dan Reynald namun mereka juga tidak tahu keberadaan Rivia. Gadis itu harus segera masuk ke magic door  atau dia akan terjebak di sini selamanya. Tiga puluh hari di Quantrum tetranum mengukir hari-hari indah bagi Rivia. Gadis itu tak pernah mendapatkan kebahagiaan selama di dunianya. Dia senang sekali karena pada akhirnya dia bisa tinggal di hutan yang bagus, sejuk dan dia tidak ingin pulang. Karena itu hari ini dia bersembunyi di Albama. Dia pikir Steve tidak akan menemukannya. Gadis itu tengah menengadah memandang langit hingga tidak menyadari kehadiran Steve. Rambutnya berkilauan di bawah bulan purnama. Dia terlihat cantik. Jika boleh jujur Steve ingin sekali menahan Rivia, tapi dia tahu keegoisannya akan membuat Rivia menderita. “Kau sedang apa di sini?” gumam Steve. Rivia menoleh dan memberikan senyuman kepada Steve. “Aku sedang duduk, hehe,” gumam Rivia tersenyum lebar. Steve tahu bahwa gadis ini sedang mengajaknya bercanda, namun dia sedang tidak ingin bercanda sekarang. Rivia mengerucutkan bibirnya. “Steve, aku tidak ingin pulang,” gumam Rivia tanpa basa-basi. Inilah alasan kenapa Rivia kabur. Dia tidak ingin pulang. Dia ingin di sini. Apa yang akan dia dapatkan ketika dia pulang? Ayahnya selalu meminta uang dari hasil kerja paruh waktunya, belum lagi saat mabuk dia akan memukuli RIvia sampai dia mati. RIvia tidak tahan lagi hidup seperti itu. Setidaknya dia ingin bahagia. Apa itu salah? “Kau tidak bisa  berada di sini, Rivia. Ini bukan duniamu. Tolong mengertilah,” gumam Steve. Rivia tidak mau dengar. Perempuan itu menghambur ke pelukan Steve. “Please Steve. Aku tidak mau pulang. Jika aku pulang bagaimana aku bisa bertemu denganmu?” Sebuah kenyataan yang pahit. Jika Rivia pulang maka tidak ada kesempatan lain untuk bertemu dengan Steve, dia tidak akan bisa ke sini lagi. Bagaimana jika dia rindu lelaki ini? JIka ingin ke sini kembali, tentu dia tidak akan bisa. RIvia tidak sangggup membayangkan semua itu. “RIvia, aku mohon pulanglah. Di sini bukan tempatmu. Aku tidak mau kehilanganmu jika kau terus berada di sini,” Lirih Steve dengan nada memohon. Lelaki itu mengelus rambut Rivia dengan lembut. Bukan hanya Rivia yang akan kehilangan. Bukan hanya Rivia yang berkorban. Bukan hanya gadis itu namun juga Steve. Dia pasti akan sangat merindukan gadis ini. Steve juga tidak akan bisa menemuinya kembali. Perpisahan ini bukan berat buat Rivia saja namun Steve juga. “Aku tidak mau Steve,” RIvia bersikeras. Dia mendekap Steve semakin erat seolah tidak akan melepaskannya. Steve tidak pernah menyangka bahwa itu adalah pelukan terakhir dari Rivia. Jika dia tahu dia tidak akan melepaskannya. Steve melepaskan pelukannya. Dia tidak akan menyerah membujuk RIvia. Bulan purnama baru saja muncul. Dia punya banyak waktu untuk membawa Rivia kembali lewat magic door. “Apa kau benar-benar tidak akan menahanku?” Tanya Rivia. Steve menggeleng. Rivia benar-benar kecewa. Namun dia terlihat baik-baik saja. Apa selama ini Rivia salah mengartikan perasaan Steve? “Ini demi kebaikanmu, Rivia. Pulanglah,” gumam Steve. Rivia menarik napas dalam-dalam. Ada pergulatan di hatinya, dia sangat ingin tinggal di sini namun Steve bahkan tidak menginginkan dia tinggal. “Apa kau tidak mencinttaiku?” Tana Rivia penuh harap. “Sangat,” batin Steve yang berbicara namun tak sesuai dengan apa yang diucapkannya. “Tidak,” jawab Steve dengan tatapan lurus ke arah Rivia. Pada akhirnya jawaban ini akan Steve sesali selamanya. Karena hari itu hari terakhir dia memandang gadis itu dan Steve tak tahu. “Ikut aku, aku akan mengantarmu pulang,” gumam Steve. Lelaki itu mengulurkan tangan pada Rivia. Rivia tampak berpikir hingga akhirnya dia menyambut uluran tangan Steve. “Aku akan pulang asal kau mengabulkan keinginanku,” gumam Rivia. “Keinginan apa?” Malam itu Rivia ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan Steve. Dia hanya meminta hal yang sederhana. Dia ingin steve menggendongnya dalam perjalanan pulang. Bulan purnama bersinar terang saat itu. Steve mengabulkan permintaaan RIvia. Rivia memeluk Steve dalam gendongannya. “Kamu tahu, Steve. Bahkan jika ini adalah kenangan terakhirku aku akan sangat bersyukur karena pernah tersesat di sini,” gumam Rivia. “Jangan bicara soal terakhir, ini bukan akhir hidupmu, Rivia,” kata Steve tidak suka. Rivia tertawa. “Kau ini terlalu kaku, Steve. Haha.” Gumam gadis itu sambil mencubit pipi Steve. Keduanya saling bercerita sambil berjalan di bawah bulan purnama. Mereka begitu asyik bercerita hingga tak sadar akan satu hal. Langkah kaki mereka berhenti saat Kaum Dandrum mencegat mereka. Kaum Dandrum adalah para penduduk yang tinggal di area Dendrum. Mereka adaalah musuh bebuutan penduduk Quantrum Tetranum. Malam itu harusnya Steve membawa anak panah dan busurnya. Namun dia lupa karena sibuk mencari RIvia. mereka terjebak dalam pertarungan yang meyakitkan. Steve berusaha melindungi Rivia sekuat tenaga, namun pada akhirnya lelaki itu kehilangan Rivia dengan cara yang menyakitkan.  Lelaki itu melihat dengan mata kepalanya sendiri saat dia kehilangan RIvia, saat anak panah menancap di dadanya dan itu masih menyisakan trauma yang mendalam di kepala Steve. “Steve! Steve! Bangun!” Seperti terlepas dari situasi mengerikan itu, Steve terbangun dengan keringat membanjiri pelipisnya. Napas lelaki itu tampak tak beraturan. Mirabell mengerjapkan matanya berkali-kali. Dia terbangun tengah malam dan mendengar Steve berteriak ketakutan. Tubuhnya gemetar sambil menyebut nama seseorang. “Apa kau baik-baik saja?” Tanya Mirabell dengan perasaan khawatir. Lelaki itu tak menjawab dan hanya menatap Mirabell dengan pandangan kosong. Seperti sebuah tatapan yang penuh luka. Mirabell bisa melihat mata Steve yang basah. “Apa kau baik-baik saja? Tunggu di sini aku akan ambilkan—“ Baru saja Mirabell mau beranjak ke dapur dan mengambil air minum, Steve meraih tangan gadis itu, membuat Mirabell limbung dan jatuh ke dalam pelukannya. Mirabell mencoba menjauhkan tubuhnya dari Steve, tapi Steve menahannya dengan kuat, “Sebentar saja,” gumam Stteve dengan suara yang tidak bertenaga. “Steve, apa yang kau lakukan,” gumam Mirabell mencoba melepaskan pelukan lelaki itu. Steve memeluknya terlalu erat seakan tidak akan melepaskannya lagi. “Sebentar saja, aku sedang butuh pelukan,” gumam Steve dengan suara serak. Steve yang biasanya dingin dan galak, kini berubah seperti seseorang yang rapuh dan putus asa. Mirabell akhirnya pasrah. Meski tidak tahu apa yang membuat Steve seperti ini tapi dia hanya bisa membalas pelukan lelaki itu. “Semua akan baik-baik saja,” gumam Mirabell. Lelaki itu menangis dalam pelukannya. Untuk pertama kalinya lelaki itu menangis di hadapan Mirabell.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN