Selasa (01.54), 01 Juni 2021
---------------------
“Kakek,” Ozzie menyapa seraya duduk di sofa panjang tempat sang Kakek tengah menunggu.
“Apa semuanya berjalan lancar?” tanya lelaki bermata jernih yang usianya sudah hampir mencapai delapan puluh tahun namun masih tampak bugar.
“Ya. Setelah semua persiapan selesai, aku akan segera dilantik menjadi Jenderal PBB yang baru.”
Lelaki yang dipanggil Kakek oleh Ozzie tersenyum puas. “Akhirnya. Sedikit lagi kita akan mulai menguasai daratan Amerika.”
Ozzie mengangguk, dalam hati masih menimbang apa dirinya perlu mengangkat topik mengenai The Hackers. Tapi kalaupun hari ini dia bisa menyembunyikannya, tidak lama lagi sang Kakek pasti akan tahu juga.
“Tapi ada sedikit masalah dengan The Hackers.”
“The Hackers? Sudah kuduga mereka akan membentuk tim baru setelah insiden tiga tahun lalu.” Mata lelaki berambut putih itu berkilat tidak suka. “Masalah apa yang mereka timbulkan sekarang?”
“Entah bagaimana mereka mulai mencurigai keterlibatanku dengan New World. Sekarang mereka mulai menggali masa laluku. Timku sudah berusaha mengecoh dengan memberi petunjuk palsu. Tapi aku yakin itu tidak akan lama menahan mereka menemukan petunjuk yang sebenarnya.”
“Hmm, begitu. Biar kuurus mereka.”
“Maksud Kakek?” Ozzie bertanya dengan nada tenang meski jantungnya mulai bergemuruh. Sang kakek tidak berniat langsung menghabisi tim The Hackers seperti tragedi tiga tahun lalu, kan?
“Aku akan membuat perhatian mereka teralihkan darimu. Dalam kondisi mereka sedang menyelidiki masa lalumu, kita tidak bisa mengambil resiko menghabisi mereka. Itu akan menimbulkan kecurigaan yang menghambat rencana kita.”
Diam-diam Ozzie menghela napas lega. “Baiklah. Seperti biasa, aku akan mengikuti rencana Kakek.” Lalu Ozzie berdiri. “Sebaiknya aku langsung kembali ke New York sekarang.”
“Ada di mana bocah tak berguna itu sekarang?”
Ozzie urung melangkah pergi lalu kembali menghadap sang Kakek. Ada kemarahan yang timbul di hatinya mendengar sang Adik direndahkan seperti itu. Tapi tidak ada yang bisa Ozzie lakukan selain menyembunyikan isi hatinya.
“Entahlah. Mungkin sedang bersenang-senang di suatu tempat.”
Si kakek menyeringai. “Kalaupun kau tahu, aku yakin kau akan tetap berkata tidak tahu.”
“Kalau begitu Kakek hanya membuang waktu menanyakan hal itu padaku.”
“Ya, kau benar. Tapi jujur saja. Saat ini aku hanya berharap dia melakukan kesalahan fatal yang membuatku memiliki alasan untuk membunuhnya. Dia hanya penghambat rencana kita. Beban dalam kelompok.”
Kali ini Ozzie tidak lagi menyembunyikan amarahnya. Kedua tangannya mengepal di samping tubuh. “Akan kupastikan dia tidak melakukan kesalahan apapun.”
“Ya, terserah kau saja.”
Tak mau mendengar lebih banyak lagi, Ozzie berbalik lalu bergegas meninggalkan sang kakek dengan amarah yang berkobar di d**a.
***
Gavin masih tidak bisa berhenti merasa gemas mengingat satu-satunya orang yang kemungkinan bisa memberi petunjuk tentang masa lalu Senator Adlan Leighton mengalami penyakit stroke hingga tidak ada informasi yang bisa digali darinya.
Sial! Mereka seperti berjalan di tempat.
“Sudahlah, Gave. Kita pasti akan menemukan petunjuk lain.”
Gavin mendesah. “Kau bisa bicara tenang begitu karena masih merasa ragu bahwa Senator Adlan Leighton memang memiliki hubungan dengan kelompok New World. Tapi jujur, Mark. Semakin aku menggali, semakin aku curiga bahwa dia memang ada hubungannya.”
“Kalau itu memang benar, tidak heran kita kesulitan seperti ini. Senator Leighton tidak akan bisa mencapai titik puncak seperti sekarang dengan menipu banyak orang tanpa memiliki banyak bala bantuan dan manipulasi data yang sangat apik.”
“Ya, benar juga.” Gavin menghela napas lelah.
“Sudahlah, jangan terlalu tegang begitu. Coba tiru Nesha. Dalam situasi seperti ini dia masih bisa mencuri kesempatan bersenang-senang dengan kekasihnya.”
Gavin terbelalak. “Nesha—apa?”
Mark nyengir. “Kau belum tahu yah? Lelaki itu, pemilik café di sebelah, sudah menyatakan perasaan pada Nesha dan Nesha menerimanya. Jadi sekarang mereka sepasang kekasih.”
“Jangan mengarang cerita, Mark.”
“Hei, Nesha sendiri yang menceritakannya padaku.”
Rasa sakit itu muncul di d**a Gavin, membuatnya nyaris tidak bisa bernapas.
Mark berdecak melihat tampang Gavin yang terlihat jelas sedang patah hati sekarang. “Jangan menampilkan tampang mengenaskan seperti itu. Aku kan sudah bolak-balik mengingatkanmu untuk segera mengikat Nesha.”
“Kau bicara apa?” Gavin melotot.
“Yah, terus saja mengelak sampai hatimu berdarah-darah.” Mark mengibaskan tangan, bosan meladeni Gavin dan penyangkalannya.
“Hei, di sini kalian rupanya.”
Gavin nyaris saja terjengkang mendengar suara Nesha yang tiba-tiba. Apa wanita itu mendengar pembicaraan mereka tadi?
“Ada apa, Nesh?” tanya Mark tenang.
“Kalian mau titip sesuatu? Aku mau makan siang di café sebelah.” Nesha nyengir.
Mark berdecak. “Kencan lagi? Memangnya tidak bosan kencan setiap hari?”
“Sama sekali tidak. Makanya kau dan Gavin segera cari pasangan agar tahu betapa menyenangkannya.”
Mark mengibaskan tangan untuk mengusir Nesha. “Tidak perlu pamer. Sudah, sana pergi.”
Cengiran Nesha semakin lebar. “Jadi, benar-benar tidak mau titip sesuatu?”
“Satu porsi ayam goreng dan pizza,” sahut Mark.
“Mana uangnya?”
“Masih harus bayar?” Mark melotot. “Minta putus saja. Pelit sekali pada calon kakak ipar.”
Nesha merengut. “Kau itu seperti menjual adikmu demi bisa makan gratis di café.” Lalu Nesha beralih pada Gavin yang sejak tadi hanya diam. “Gave, kau mau titip sesuatu?”
“Tidak,” sahut Gavin dengan nada kaku.
“Baiklah. Aku pergi dulu. Dah.” Nesha melambai lalu bergegas pergi.
Sepeninggal Nesha, Mark mengipasi dirinya sendiri dengan tangan. “Duh, kenapa mendadak terasa gerah, ya? Sepertinya ada hati yang terbakar.”
“Go to hell, Mark!” kemudian Gavin berdiri, meninggalkan Mark yang terbahak.
***
“Coba yang ini. Rasanya lezat.”
Ezio mencelupkan daging berbalur tepung ke dalam saus lalu menyodorkannya ke depan mulut Nesha. Dengan senang hati Nesha membuka mulut, menikmati makanan yang disodorkan Ezio.
“Hmm, memang lezat. Sayang bukan kau yang masak.”
“Eh, hanya kaum lelaki yang boleh bicara begitu.”
“Zaman sekarang, menjadi lelaki bukan alasan tidak bisa memasak.” Nesha tersenyum geli.
Ezio terkekeh. “Lalu apa pekerjaan wanita kalau urusan memasak menjadi tanggung jawab para lelaki?”
“Tentu saja mengurus suami di ranjang.”
“Di luar ranjang?”
“Boleh juga.”
“Hah?” salah satu alis Ezio terangkat.
Pipi Nesha memerah malu. “Sudahlah, lupakan ucapanku tadi.” Nesha mencelupkan roti ke dalam saus seraya berkata, “Kata Kakakku, tidak boleh makan sambil bicara. Nanti ada jin yang menghabiskan makananmu.” Senyum sayang Nesha terbit seraya menikmati roti di tangannya. Itu kata-kata Anwar saat Nesha masih kecil.
“Kau sangat menyayangi kakakmu, ya?” Ezio bertanya saat melihat senyum di bibir Nesha. Tidak bisa dia pungkiri, ada perasaan cemburu yang timbul. Berharap dirinya yang tengah dibayangkan Nesha dengan raut bahagia seperti itu.
“Ya, sangat.” Senyum Nesha berubah sedih. “Mereka pusat duniaku.”
Kening Ezio berkerut. “Kenapa sedih? Mereka ada di sini, di dekatmu.”
Nesha mengerjap, seperti baru tersadar. “Eh, siapa yang sedih?”
Kali ini Ezio tidak menanggapi, hanya menatap Nesha dalam diam.
Nesha adalah anggota tim The Hackers. Dan yang lebih buruk lagi, Nesha serta Gavin dan Mark adalah para pemimpin The Hackers. Mereka sengaja bekerja terpisah dari markas pusat The Hackers untuk menghindari kelompok New World. Dan kalau perlu menangkap kelompok New World secara diam-diam.
Bukankah itu berarti Gavin dan Mark bukan kakak kandung Nesha? Kalau begitu kakak yang dibicarakan Nesha dengan nada sedih itu adalah kakak kandungnya yang terpaksa harus berpisah karena Nesha menjadi bagian dari The Hackers.
“Kupikir tadi kau sedih.”
“Ah, ya. Aku memang sedih saat memikirkan Mark. Tadi dia minta ayam goreng dan pizza tapi tidak memberiku uang.” Nesha memasang tampang merengut.
Ezio tersenyum, berusaha menanggapi candaan Nesha. “Dia pasti berharap makanan gratis karena kau menjadi kekasihku.”
“Jadi, kau mau memberikannya?”
“Ya. Gratis untuk Mark, tapi kau yang harus membayarnya.”
“Sudah kuduga,” cibir Nesha.
“Kau tidak penasaran apa yang kuinginkan sebagai alat pembayaran?”
“Menemanimu menonton, kan?”
Senyum Ezio merekah. “Bagaimana kau bisa tahu?”
“Sejak kemarin kau merengek minta hal itu tapi aku selalu menolak karena memang sedang banyak pekerjaan. Jadi sekarang kau memanfaatkan situasi.”
Ezio terkekeh. “Benar sekali.”
“Ya, baiklah. Demi ayam panggang dan pizza gratis, kenapa tidak?” Nesha angkat bahu, pura-pura tak acuh.
“Kau melukai harga diriku, Sayang.” Mendadak Ezio berdiri lalu mencium bibir Nesha secara tiba-tiba dari seberang meja. “Manis.” Dia tersenyum lembut seraya menghapus sisa saus di sudut bibir Nesha dengan ibu jarinya. “Sebaiknya kubereskan meja ini agar bisa segera menonton. Kau yang memilih filmnya.”
Debar jantung Nesha meningkat tajam. Tapi dia berusaha menanggapi ucapan Agam dengan normal. “Tidak butuh bantuan?”
“Tidak, aku bisa sendiri.” Ezio segera membawa bekas makan mereka ke dapur sebelum Nesha kembali protes.
Melihat itu tidak ada yang bisa Nesha lakukan selain menuju tv besar yang diletakkan dekat balkon.
Nesha membuka salah satu laci, mencari-cari film yang menurutnya cocok untuk dirinya dan Agam tonton bersama. Sambil mencari, salah satu tangan Nesha bergerak menekan tombol power untuk menyalakan tv. Ternyata tv itu otomatis menayangkan channel yang terakhir kali ditonton.
…diduga aksi terjadi sekitar pukul tiga dini hari tadi waktu setempat.
Kejahatan dalam dunia cyber ini mengakibatkan ribuan orang mengalami kerugian yang sangat besar dan puluhan toko online yang menjadi korban terancam bangkrut.
Seluruh masyarakat hanya berharap para agen cyber security segera bertindak. Kejadian ini mengakibatkan trauma mendalam. Terutama di masa sekarang, saat transaksi online sudah menjadi kegiatan sehari-hari…
Nesha tertegun dengan pandangan mengarah pada layar tv. Kepalanya serasa berdengung saat ia berusaha mencerna masalah yang terjadi.
“Nesh, sudah menemukan—”
Mendadak Nesha berdiri, bergegas menghampiri Ezio yang masih membereskan meja. “Kurasa nontonnya kita tunda lain waktu.”
“Kenapa?” Ezio tampak bingung.
“Aku lupa ada pekerjaan mendesak yang harus segera kuselesaikan.” Nesha langsung mengecup singkat bibir Ezio untuk menghentikan pertanyaannya. “Aku pulang dulu. Bye.” Nesha bergegas keluar melalui tangga balkon.
Untuk beberapa saat, Ezio masih berdiri bingung menatap arah perginya Nesha. Lalu suara dari berita tv menarik perhatiannya, membuat Ezio ternganga karena menyadari apa yang harus dihadapi Nesha sekarang bukanlah masalah sepele.
Apa yang direncanakan sang Kakak sekarang dengan menciptakan kekacauan ini?
***
Tiba di rumah, baru saja Nesha hendak mengabarkan mengenai insiden peretasan yang terjadi dini hari tadi, ternyata Mark dan Gavin sudah tahu lebih dulu. Baru saja mereka mendapat telepon dari markas pusat karena tim The Hackers di sana tidak sanggup mengatasi masalah ini. Tanpa banyak kata lagi, segera mereka bertiga menuju ruang khusus tempat peralatan komputer lengkap mereka berada.
Seperti biasa, mereka lebih dulu mencari informasi detail mengenai masalah yang tengah mereka hadapi. Dari awal kejadiannya hingga sudah sejauh mana kerusakan yang ditimbulkan.
“b******k!” Nesha mengumpat begitu sadar bahwa ini benar-benar masalah serius dengan banyak korban. Amat sangat banyak.
“Ya, b******k!” Mark mengacak rambutnya kesal.
“Sejauh ini yang kutemukan ada sekitar dua ratus orang yang menggunakan akun bank para korban secara ilegal. Dan sepertinya itu belum semuanya.” Gavin berkata dengan nada tenang, menyembunyikan kegusaran dalam hatinya.
“Para pemilik Online Shop yang diretas kelabakan menghadapi massa. Kerugian yang mereka alami benar-benar luar biasa besarnya.” Nesha geleng-geleng kepala.
Bagaimana tidak?
Dini hari tadi terjadi peretasan besar-besaran terhadap lima puluh tiga toko online di Amerika. Para peretas mencuri akun bank pelanggan toko online tersebut beserta sandinya lalu menyebarkan informasi itu di grup-grup terbuka dan sosial media. Alhasil, ratusan orang tak bertanggung jawab menggunakan akun bank yang diretas untuk kepentingan pribadi.
“Bagaimana bisa? Aku tahu betul salah satu toko online yang menjadi korban, sistem keamanannya sangat canggih dan selalu update.” Nesha tampak berpikir keras dengan perhatian tertuju penuh pada layar komputer.
“Tidak ada yang benar-benar aman di dunia ini, Nesh.”
“Ya, benar. Tapi aku juga penasaran mereka menyerang dari mana? Sejauh yang kulihat, tidak ada lubang untuk menjadi pintu masuk mereka.”
“Ada, Nesh.” Tiba-tiba Mark berkata. “Mereka meretas menggunakan celah di barisan kode URLnya. Coba lihat ini!” Nesha dan Gavin buru-buru mendekat pada Mark lalu berdiri di belakang lelaki itu memperhatikan layar komputer. “Hanya dengan request sederhana seperti ini…” Mark mengklik menu tertentu di website Online Shop yang menjadi korban. “dan, boom! Request ilegal dari pengunjung—yang sebenarnya merupakan seorang peretas—langsung dipenuhi. Termasuk permintaan data seluruh akun bank beserta sandi yang tersimpan di website tersebut.”
Gavin bersiul pelan. “Menggunakan URL, ya. Memang serangan yang tak terduga.”
“Jadi ini seperti seseorang yang datang bertamu ke rumahmu, tampak biasa dan sama sekali tidak mencurigakan.” Nesha mencoba menyimpulkan. “Tapi sebenarnya dia adalah seorang pencuri yang sedang beraksi. Di rumah korban dia mempelajari sekitar, mencari tahu di mana letak barang yang ingin dicurinya serta mencari jalan keluar paling aman dan cepat. Begitu mendapat banyak informasi penting, si pencuri langsung beraksi, bahkan di depan si pemilik rumah.”
“Ya, kurang lebih begitu.” Mark mengangguk.
“Dengar, kita tidak bisa menyelesaikan masalah ini hanya dengan bekerja dari sini. Kita harus memeriksa langsung tiap server toko-toko online itu untuk mencari jejak pelaku,” usul Gavin. “Lebih cepat lebih baik karena semakin lama waktu terbuang, semakin banyak kerugian yang timbul.”
“Kalau begitu, sebaiknya segera hubungi Johny, Gave,” perintah Mark lalu perhatiannya beralih pada Nesha. “Nesh, bantu aku untuk mencari orang-orang yang sudah menggunakan akun bank itu.”
“Apa tidak sebaiknya kita telusuri dulu siapa yang sudah menyebarkan akun-akun itu? Jika dibiarkan bukan tidak mungkin mereka kembali beraksi.”
“Itu akan memakan banyak waktu. Ini kejahatan serius. Siapapun mereka, tidak mungkin bertindak ceroboh.”
Nesha mengangguk mendengar penjelasan Mark. “Entah mengapa, aku merasa ini hanya pengalih perhatian dari kejahatan yang lebih besar.”
Mereka bertiga saling pandang. Ada sedikit perasaan ngeri yang timbul.
“Sudahlah, hadapi satu per satu.” Gavin menegakkan tubuh seraya mengeluarkan ponselnya dari saku. “Aku akan menghubungi Johny sekarang.”
----------------------
♥ Aya Emily ♥