Selasa (01.59), 01 Juni 2021
-----------------------
Pasukan cyber security Amerika dibuat panik karena insiden peretasan yang terjadi dini hari tadi. Pemerintah terus mendesak mereka untuk bertindak. Para korban yang jumlahnya mencapai ribuan juga seolah menyudutkan mereka.
“Sudah ada sebelas orang yang ditangkap karena terbukti menggunakan akun bank korban peretasan. Enam orang di antaranya adalah pelajar dibawah tujuh belas tahun.”
Norton Barris—pemimpin agen cyber security Amerika pengganti Johny Jarret—mengusap wajahnya dengan letih mendengar laporan sang asisten. “Sebelas tertangkap, dan masih ada ratusan lagi di luar sana. Kemungkinan besar bertambah seiring waktu.”
Tidak ada tanggapan dari sang asisten karena dia juga sama kalutnya.
“Hhh, tidak ada gunanya mengeluh. Apa sudah ada yang menghubungi pihak bank untuk memblokir akun-akun yang terdaftar di lima puluh tiga Online Shop itu?”
“Sudah. Sekarang pihak bank mulai melakukan pemblokiran dan meminta para nasabah yang terdaftar untuk melakukan validasi data.”
“Bagus. Siapa saja yang akan menemaniku memeriksa langsung server Online Shop yang diretas?”
Belum sempat sang asisten menjawab, interkom di meja Norton berbunyi. Panggilan itu berasal dari resepsionis gedung cyber security. “Ada apa Vee?”
“Mr. Johny Jarret meminta bertemu dengan Anda, Sir. Beliau menunggu di ruang rapat.”
Norton terbelalak. Johny Jarret saat ini bekerja di bawah naungan dewan keamanan PBB. Jika dia sampai turun tangan, berarti masalah ini bukan hanya meresahkan warga Amerika, melainkan juga negara lain.
“Baiklah. Aku akan segera ke sana.” Norton mengakhiri pembicaraan lalu berdiri. “Kau ikut denganku, Jeff.”
“Ya, Pak.”
Beberapa menit berlalu, Norton dan asistennya tiba di ruang rapat. Di sana sudah ada Johny dan tiga orang lain yang dilihat dari penampilannya tampak seperti pengawal.
Norton menyapa seraya menjabat tangan Johny lalu keduanya pun duduk bersebelahan.
“Kurasa aku tidak perlu menjelaskan alasan kedatanganku.” Johny memulai tanpa basa-basi.
“Ini pasti berhubungan dengan insiden peretasan dini hari tadi.”
“Ya, benar. Ini sangat meresahkan.” Johny terdiam, ingat pembicaraannya dengan dengan Gavin tadi. Bahkan dugaan sementara kasus ini melibatkan kelompok New World. Namun Johny tidak yakin karena biasanya kelompok itu selalu meninggalkan jejak dengan jelas tiap kali selesai beraksi. Seolah sengaja ingin menunjukkan eksistensi mereka.
“Kami sedang berusaha keras untuk melacak keberadaan para pelaku,” Norton bersuara yakin.
“Ya, aku percaya. Tapi sepertinya ada sesuatu yang lebih besar dibalik insiden ini. Karena itu Presiden sudah menurunkan perintah agar agen cyber security dan angkatan bersenjata Navy SEAL bekerja sama. Bahkan pihak PBB juga telah setuju untuk menurunkan pasukan andalan kami, The Hackers.”
“The Hackers?” Norton mengerutkan kening. “Bukankah itu pasukan yang hendak dibentuk tiga tahun lalu namun urung karena calon anggotanya tewas dalam insiden meledaknya pesawat?”
“Pasukan itu tetap dibentuk meski sempat mengalami kendala besar. Insiden itu juga yang membuat PBB dan pihak yang terkait sepakat tutup mulut mengenai keberadaan mereka. Tapi sekarang, dugaan bahwa insiden kali ini berhubungan dengan kelompok teroris yang tengah diincar The Hackers, membuat kami terpaksa memberi izin mereka bekerja secara terang-terangan.”
Mendadak Norton merasa mual. Padahal insiden peretasan ini sudah membuatnya sakit kepala. Tapi ternyata ada masalah yang lebih besar dibaliknya. “Kalau begitu, apa yang harus saya lakukan?”
“Siapkan orang-orang andalanmu untuk mengikuti rapat malam ini. Kalian akan bertemu dengan pemimpin The Hackers dan orang-orang pilihan dari Navy SEAL.”
***
Nesha menghela napas beberapa kali untuk meredakan ketegangannya. Entah mengapa dia merasa sangat gelisah memikirkan rapat dengan agen cyber security Amerika dan Navy SEAL.
“Rileks, Nesh. Kau tampak sangat tegang.” Mark berkata seraya mengecek kembali data-data yang kemungkinan akan diperlukan untuk rapat malam ini.
“Mungkin karena ini akan menjadi kali pertama kita memperkenalkan diri di depan umum sebagai pemimpin The Hackers,” Gavin menimpali.
Nesha tidak menyahut. Hanya terus mondar-mandir dengan kedua tangan saling meremas. Kemudian dia mendesah seraya menghempaskan diri di sofa. Aneh, jantungnya berdegup sangat kencang. Seolah alam bawah sadarnya tahu lebih dulu bahwa ada hal besar yang akan Nesha hadapi.
Menggeleng pelan, Nesha berusaha berpikir positif.
Mungkin Gavin benar. Ini pertama kalinya mereka akan memperkenalkan diri di depan umum sebagai pemimpin The Hackers setelah tiga tahun lamanya sembunyi dibalik layar. Karena itu Nesha sangat gelisah.
“Sebenarnya apa yang mengganggumu?”
Nesha tersentak kaget mendengar pertanyaan Mark yang diikuti tepukan pelan di pundaknya. Dia terlalu tenggelam dalam lamunan hingga tidak menyadari kapan Mark mematikan laptop lalu kini sudah berdiri di dekatnya.
“Astaga, Nesh! Kau seperti orang yang akan menghadapi hukuman mati,” Gavin mengejek reaksi Nesha.
“Dengar! Aku tidak tahu kenapa. Tapi sepertinya ada hal besar yang akan terjadi di rapat nanti.”
“Kau hanya terlalu cemas. Tidak akan ada hal buruk yang terjadi selama rapat.” Mark membelai puncak kepala Nesha seperti memperlakukan seorang adik. Gerakan sederhana yang menarik perhatian Gavin dan menimbulkan perasaan iri. “Sebaiknya dengarkan musik sambil bersiap. Lima belas menit lagi kita berangkat.”
Nesha menghela napas pelan lalu mengangguk.
Ting tong.
“Biar aku yang buka.”
Gavin hendak menuju pintu namun Nesha mencegah. “Tidak, biar aku saja. Itu pasti Agam.” Tanpa menunggu tanggapan, Nesha buru-buru melewati Gavin menuju pintu depan.
“Mendadak di sini panas sekali.” Mark mengipasi diri sendiri dengan tangan seraya tersenyum mengejek ke arah Gavin.
“Shut up your f*****g mouth, Mark!”
Kemarahan Gavin hanya dibalas tawa keras. Mark sama sekali tidak tampak takut melihat Gavin melemparkan tatapan membunuh ke arahnya.
Di sisi lain, Nesha tersenyum lebar begitu membuka pintu dan melihat Agam benar-benar berdiri di depan rumahnya. Tampak sangat tampan dengan kemeja dan celana kain formal. Perlahan, perasaan cemas Nesha menguap entah ke mana.
“Hai, sudah mau berangkat?”
“Ya.” Nesha memang mengatakan pada Agam bahwa dia hendak membantu Mark dan Gavin menyelesaikan pekerjaan di luar kota.
“Ini untukmu. Hanya camilan. Kau bisa menikmatinya selama perjalanan.”
Nesha menerima keranjang piknik yang disodorkan Ezio dengan perasaan senang. “Sepertinya ini lumayan banyak.”
“Cukup untuk kalian bertiga. Aku harus bersikap baik juga pada kedua kakakmu agar mereka merestui hubungan kita.” Ezio nyengir.
“Ah, jadi ini semacam sogokan?” Nesha tersenyum geli.
“Anggap saja begitu.” Ezio diam sejenak sebelum melanjutkan. “Kau akan menghubungiku begitu tiba di tempat tujuan, kan?”
“Tentu saja.” Mendadak Nesha berjinjit lalu menanamkan kecupan singkat di bibir Ezio. “Kau terlihat sangat mencemaskanku. Jangan terlalu khawatir, aku akan baik-baik saja.”
Ezio tersenyum. “Ya, kau pasti baik-baik saja.” Kalimat itu lebih seperti mantra untuk meyakinkan dirinya sendiri. Dia sungguh tidak tahu apa yang tengah direncanakan sang Kakak dan tidak bisa mengambil resiko menemui atau menghubungi Ozzie dalam situasi seperti ini.
“Kau akan menemaniku sampai aku berangkat?”
“Aku ingin melakukannya tapi sayangnya aku punya janji temu.”
“Kalau begitu pergilah dan hati-hati di jalan.”
“Ya.” Ezio mengangguk seraya melangkah lebih dekat ke arah Nesha, membuat tubuh bagian depan mereka menempel. Lalu dengan gerakan pelan dan amat lembut, dia mencium bibir Nesha.
“Ehm, waktunya berangkat!”
Ezio buru-buru menjauhkan diri. Keduanya tampak malu karena ternyata Mark sudah ada di ambang pintu.
“Kalau begitu aku langsung pergi, Nesh.” Ezio mengangguk singkat ke arah Mark lalu segera berbalik pergi.
“Mau pamer?” sindir Mark.
Nesha nyengir. “Ya.”
Mark melewati Nesha seraya menggerutu, “Untung Gavin tidak lihat.”
“Hah? Kau mengatakan sesuatu?”
Mark tidak menanggapi pertanyaan Nesha dan terus menuju garasi untuk mengeluarkan mobil mereka.
***
Rapat yang dipimpin langsung oleh ketua dewan keamanan PBB itu sudah berlangsung setengah jam lamanya. Semua yang hadir dibuat terpana dengan penjelasan dari Johny Jarret mengenai kelompok New World.
Tidak ada hal buruk yang terjadi seperti yang ditakutkan Nesha. Tapi entah kenapa, semakin lama ketegangan yang Nesha rasakan kian meningkat. Dia bahkan merasa perutnya seperti diaduk dan keringat dingin membasahi kedua telapak tangannya.
“Kami semakin curiga bahwa kelompok New World memang terlibat insiden peretasan dini hari tadi mengingat akun-akun bank yang berhasil didapat malah disebar begitu saja di sosial media. Seolah pelaku melakukan kejahatan terencana ini hanya untuk tujuan teror dan bersenang-senang.
Tapi di sisi lain muncul keraguan akan keterlibatan kelompok New World karena selama ini tiap mereka beraksi, mereka selalu meninggalkan jejak yang tidak bisa ditelusuri untuk menunjukkan keberadaan mereka…”
“Sepertinya aku harus keluar mencari udara segar,” Nesha berbisik pada Mark yang duduk di sebelahnya.
Mark memperhatikan Nesha sejenak lalu mengangguk pelan. “Jangan lama-lama. Teriak saja jika ada sesuatu yang terjadi.”
Nesha berdecak malas tapi tidak menanggapi. Dia segera berdiri lalu keluar ruangan menuju halaman depan.
Angin lembut nan dingin menerpa tubuh Nesha, membuat helai rambutnya menari indah. Dia mendongak, menatap sang bulan yang masih bersinar dengan gagahnya tak peduli semua masalah yang terjadi.
Suara gerbang yang dibuka menarik perhatian Nesha. Dari tempat Nesha berdiri di beranda, gerbang itu jauhnya sekitar sepuluh meter dan dijaga ketat oleh sekelompok pasukan bersenjata lengkap. Jadi siapapun yang berhasil masuk, tentu hanya para undangan.
Siluet lelaki tegap tampak baru saja berhasil melewati para penjaga lalu berjalan tergesa ke arah Nesha. Atau lebih tepatnya ke arah pintu masuk di belakang Nesha. Kaos tanpa lengan yang dia gunakan seolah memamerkan otot-ototnya yang terbentuk sempurna. Lampu taman yang remang sama sekali tidak membantu penglihatan Nesha. Padahal dia sedang tertarik untuk melihat wajah lelaki itu setelah dibuat kagum oleh fisiknya.
Samar, Nesha mengenali pakaian yang dia kenakan karena beberapa orang yang ikut rapat juga mengenakannya. Lelaki itu anggota Navy SEAL. Dia pasti datang terlambat hingga tampak buru-buru.
Nesha sama sekali tidak menyembunyikan perasaan tertariknya ketika memperhatikan lelaki itu. Tapi sayang, pandangan si lelaki lurus ke depan, seolah tidak melihat keberadaan Nesha.
Beberapa langkah lagi dan wajah lelaki itu akan tertimpa cahaya dari beranda. Nesha menunggu dengan penasaran. Dan beberapa detik kemudian—
DEG.
Seketika senyum Nesha menghilang. Lidahnya terasa kelu dan napasnya berubah sesak. Tatapannya terus mengikuti lelaki itu yang kini berjalan melewatinya. Baru ketika tangan lelaki itu menyentuh daun pintu, Nesha berhasil memaksa dirinya bersuara.
“Kak Simon.”
Lelaki itu menegang lalu menoleh menatap Nesha dengan mata terbelalak.
-----------------------
♥ Aya Emily ♥