Selasa (02.15), 01 Juni 2021
--------------------
Nesha masih belum berhenti menangis. Luapan bahagia dan lega di hatinya membuat dia begitu cengeng hari ini. Nesha yang selama tiga tahun terakhir selalu berusaha menampilkan sikap tegar, kini menangis sesenggukan di atas pangkuan Simon dan wajah terbenam di lekukan antara bahu dan leher lelaki yang telah membesarkannya itu.
Simon sendiri juga tampak beberapa kali menghapus air matanya yang jatuh membasahi pipi. Sesekali ia daratkan kecupan lembut di permukaan wajah Nesha dan puncak kepalanya.
“Jangan lakukan itu lagi padaku, Sayang.” Entah sudah berapa kali Simon mengatakan hal itu sejak mereka bertemu di beranda salah satu gedung pemerintah yang dijadikan tempat rapat antara The Hackers, Cyber Security Amerika, dan Navy SEAL. “Jangan siksa kakak seperti itu lagi. Rasanya kakak berubah menjadi mayat hidup begitu mendengar berita kematianmu.”
Tangis Nesha kian keras. Dia semakin menekan wajahnya ke lekukan leher Simon sementara kedua tangannya meremas kuat pakaian Simon di bagian d**a.
Setelah pertemuan mereka, keduanya memutuskan untuk tidak mengikuti rapat. Nesha yang mati-matian menahan air mata dan kerinduannya, hanya menggenggam erat tangan Simon saat mereka berpamitan pada petugas jaga yang tidak langsung mengizinkan mereka keluar. Baru di dalam mobil Simon, Nesha menumpahkan air matanya untuk meluapkan kebahagiaan.
Beberapa menit berkendara, Simon berhenti di sebuah penginapan dan langsung memesan kamar. Sementara itu Nesha masih terus menempel di sampingnya dengan wajah tertunduk untuk menyembunyikan matanya yang basah.
Dan sekarang di sinilah mereka berada. Duduk di sofa dalam kamar hotel, saling memeluk melepas kerinduan dan perasaan haru.
“Kami bertiga berusaha mencari informasi mengenai keadaanmu seperti orang gila.” Simon bercerita dengan suara tercekat. “Aku dan Anwar bahkan sempat dipenjara karena membuat keributan di gedung pemerintah demi bisa mencari tahu kondisimu. Beruntung Rico bisa berbicara lebih tenang. Beberapa hari kemudian, kami bertiga serta keluarga korban yang lain diberangkatkan ke Singapura.
“Tiba di sana, hanya makam dan namamu yang kami dapati. Rasanya sakit sekali. Aku bahkan berpikir tidak ingin pulang dan menemanimu di sana. Apalagi kami dilarang membawa pulang jasadmu karena semua korban insiden itu dimakamkan di sana.
“Selama beberapa hari setelahnya, kami masih merasa ada yang aneh. Kenapa kami dilarang membawa jasadmu pulang? Bukankah selama ini jika ada kejadian kecelakaan atau semacamnya di manapun, jasad korban akan dipulangkan agar keluarganya yang memakamkan dengan layak? Tapi kenapa kau tidak? Apa ada sesuatu yang disembunyikan?” Simon menghela napas. “Beberapa minggu berlalu, Rico dan Anwar mulai menerima kenyataan bahwa kau sudah meninggal. Tapi aku tidak bisa. Aku masih merasa yakin bahwa kau ada di suatu tempat. Kematianmu hanya rekayasa.
“Itu sebabnya aku memutuskan untuk datang ke Amerika, negara yang menjadi tujuanmu. Di sini aku bergabung dengan Navy SEAL. Sangat sulit awalnya karena aku terhambat dengan segala jenis dokumen dan ujian-ujian yang menyebalkan untuk memastikan bahwa aku layak. Tapi akhirnya aku berhasil dan menjadi salah satu prajurit yang dianggap tangguh hanya selang waktu tiga tahun.”
Nesha mengangkat wajahnya, tersenyum lembut masih dengan air mata yang tidak mau berhenti mengalir. “Ya, kau memang seperti itu. Kak Simonku yang tangguh. Pelindungku. Aku mencintaimu.”
Kecupan lembut Nesha daratkan di bibir Simon. Hal sederhana yang biasa mereka lakukan saat Nesha masih kecil. Namun seiring bertambahnya usia, mereka nyaris tidak melakukannya lagi. Tapi sekarang, Nesha tidak bisa menahan diri untuk mengecup Simon sebagai ungkapan rasa cintanya pada sang Kakak.
“Kakak juga mencintaimu, Adik kecil. Dan mulai sekarang sampai selamanya, jangan harap kau bisa lepas lagi dari pengawasan Kakak.” Simon menangkup pipi Nesha dengan kedua tangannya sementara keningnya ia sandarkan ke kening Nesha.
Nesha mengangguk lalu kembali memindahkan wajahnya ke lekukan leher Simon, menghirup aroma cologne segar yang Simon gunakan. Rasanya sangat nyaman dan menenangkan.
“Sekarang hentikan tangismu dan tersenyumlah.”
“Tidak bisa berhenti.” Nada suara Nesha terdengar merengek.
Simon terkekeh. Sekilas dia mengecup kening Nesha lalu mengangkat wanita itu dalam dekapannya. Dia merebahkan Nesha di ranjang sementara dirinya sendiri rebah di samping sang adik. Sama seperti dulu, mereka tidur di ranjang yang sama dengan posisi saling memeluk erat.
***
Gavin dan Mark panik. Nesha tidak kembali ke dalam ruang rapat dan sampai sekarang tidak bisa dihubungi. Mereka sudah berniat memberitahu hal ini pada Johny Jarret karena berpikir hilangnya Nesha berhubungan dengan kelompok New World. Namun urung karena pada panggilan telepon yang entah sudah berapa puluh kali, seseorang menerimanya.
“Nesh, kau di mana?!” Mark langsung berseru, tak menyembunyikan nada gusarnya.
“Jangan khawatirkan Nesha. Dia bersamaku.”
Kening Mark berkerut mendengar suara lelaki yang menerima panggilan. “Siapa kau? Di mana Nesha?”
“Harusnya aku yang bertanya, kau itu siapa?”
“b******k! Jangan bermain-main denganku sekarang. Aku akan melaporkan bahwa Nesha diculik kalau kau tidak memberikan teleponnya pada Nesha.”
Hening sesaat. Lalu terdengar suara pelan dari seberang telepon.
“Nesh, ada telepon untukmu.”
“Hmm, bilang saja aku tidur.”
“Hanya bicara sebentar saja. Setelah itu lanjutkan tidurmu.”
Lalu terdengar gumaman tidak jelas yang Mark simpulkan sebagai gerutuan Nesha sebelum menerima telepon. Ya, dia yakin itu memang suara Nesha.
“Hmm?”
“Nesh?”
“Ini siapa?”
Mark menggeram. “Kau hilang ingatan atau tidak memperhatikan id caller?”
Hening.
“Oh, hai Mark. Maaf, aku memang tidak memperhatikan.”
Mark bisa menebak bahwa saat ini Nesha sangat mengantuk. Terdengar jelas dari nada suaranya. “Kau di mana? Pulang sekarang juga!”
“Maaf, Mark. Hari ini aku akan bermalam dengan kakakku.”
“Kakak?”
“Aku janji besok pagi akan pulang lalu memperkenalkan kau dan Gavin pada Simon. Tapi malam ini aku ingin berduaan dengannya.”
Nesha sudah seperti adik sendiri bagi Mark. Dia tidak tenang membiarkan Nesha berduaan dengan lelaki yang tidak Mark kenal. Rasanya dia ingin mendesak Nesha agar pulang. Tapi Nesha bukanlah anak kecil yang harus selalu diatur dan diawasi. Karena itu Mark menahan diri.
“Baiklah. Akan kutunggu kau hingga besok siang. Jika kau tidak juga sampai di rumah, maka aku akan benar-benar melaporkan hal ini dan membuat siapapun Simon itu disiksa hingga tewas dalam penjara.”
“Itu tidak akan terjadi, Mark.”
“Buktikan saja besok.” Lalu Mark langsung memutus sambungan telepon. Hatinya sungguh masih gelisah namun tidak ada yang bisa dia lakukan sekarang selain menunggu.
“Bagaimana, Mark? Dan siapa Simon?” desak Gavin yang turut mendengarkan percakapan.
“Kita akan tahu besok.”
“Tapi Nesha…”
“Dia bilang besok pagi akan pulang. Jadi kita tunggu saja.”
Gavin menghela napas dan akhirnya mengangguk dengan hati gelisah.
***
“Siapa yang menelepon tadi?” desak Simon begitu Nesha meletakkan ponselnya di nakas.
“Dia Mark,” jelas Nesha sambil menguap. “Temanku yang juga selamat dari insiden tiga tahun lalu.”
Simon ingin membiarkan Nesha kembali tidur tapi rasa penasaran kini memenuhinya. “Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa pemerintah memalsukan kematianmu?”
Nesha memeluk erat pinggang Simon yang berbaring miring menghadapnya. Mata hitamnya menatap lekat mata hitam sang Kakak. “Pemerintah negara kita juga tidak tahu.” Nesha memilih menjelaskan karena Simon adalah bagian dari Navy SEAL yang akan bekerja sama dengan The Hackers. “Aku juga seharusnya sudah meninggal kalau bukan karena b******n bermata amber itu.” Mendadak bayangan Senator Leighton muncul di benak Nesha, membuat rasa kantuknya hilang. Tadinya dia berniat memberitahu tentang si Senator pada Johny. Namun Mark melarang.
“b******n bermata amber?” kening Simon berkerut.
“Ya, dia meremas bokongku saat rombongan kami menuju area keberangkatan pesawat.” Nesha merengut. “Tentu aku tidak bisa membiarkan lelaki kurang ajar itu lolos begitu saja. Aku mengejarnya dan kami sempat berkelahi tapi dia tampaknya orang terlatih yang memang sengaja ingin menggangguku entah untuk tujuan apa.
“Mark dan Gavin serta beberapa orang yang mengawal perjalanan kami juga memisahkan diri dari rombongan untuk mengejarku. Dan saat itulah insiden terjadi. Pesawat yang sudah mengangkut rombongan para peretas meledak dan menurut dugaan kejadian itu merupakan kejahatan terencana.”
“Apa mungkin si mata amber adalah anggota penjahat yang sudah meledakkan pesawat itu?”
“Semua orang juga berpikiran begitu. Tapi penyelidikan berakhir buntu karena sama sekali tidak ada petunjuk.”
Simon menghela napas sambil membelai punggung Nesha naik turun. “Entah apapun rencana orang itu, aku berterima kasih padanya karena dia telah membuatmu tetap hidup.”
Lagi-lagi Nesha terbayang wajah Senator Leighton. Kalau benar dia orangnya, haruskah Nesha berterima kasih? Selama ini yang Nesha pikirkan hanya perasaan terhina karena si mata amber sudah bersikap kurang ajar padanya. Tapi seperti kata Simon, orang itulah yang membuat Nesha tetap hidup sampai sekarang.
“Hei, adik kecil. Kau melamun.” Simon mencium ujung hidung Nesha.
“Sekarang aku memikirkan Kak Anwar dan Kak Rico. Bagaimana kabar mereka?” Nesha mengalihkan pembicaraan.
“Anwar sudah menikah empat atau lima bulan lalu. Sementara Rico sedang dekat dengan salah satu pelayan di restorannya.”
“Restoran?”
“Ya.” Simon tersenyum. “Awalnya hanya rumah makan biasa. Tapi tangan ahli Rico berhasil memancing banyak pelanggan. Dan ditambah kemampuan Anwar berbisnis, akhirnya restoran itu sudah memiliki beberapa cabang.”
“Wah, kalian hebat sekali.” Nesha sungguh bangga pada ketiga kakaknya.
Simon meringis. “Yah, mereka memang hebat. Hanya aku yang tetap jadi pesuruh setelah tiga tahun lamanya.”
Mata Nesha berkaca-kaca kembali. “Kau yang paling hebat karena masih tetap berusaha mencariku meski fakta menjelaskan bahwa aku sudah meninggal.”
“Hati kecilku yakin kau belum meninggal,” suara Simon serak.
“Kau memang yang terbaik. Aku selalu mensyukuri hari di mana kau menemukanku.” Nesha terisak pelan. “Aku benar-benar mencintaimu, Kak.” Nesha memberikan kecupan-kecupan kecil di rahang dan leher Simon. Benar-benar seperti saat dirinya masih kecil.
Simon terkekeh. “Kau seperti anak anjing yang baru bertemu majikannya, Nesh.”
“Terserah!” Nesha tidak peduli dan terus menciumi seluruh wajah Simon. Setelah lelah, dia menguap lagi lalu melanjutkan tidur dengan nyaman dalam dekapan hangat sang kakak.
------------------------
♥ Aya Emily ♥