Selasa (00.07), 01 Juni 2021
-----------------------
Lari pagi seorang diri merupakan kegiatan yang menyenangkan sekaligus menyebalkan bagi Nesha. Di saat seperti ini, otak Nesha akan berkelana bebas. Memorinya akan memutar kenangan tentang ketiga kakaknya. Hati Nesha berubah hangat tapi juga pedih karena kenyataan dirinya tidak bisa menemui mereka, entah untuk berapa lama. Bisa jadi selamanya.
Kecelakaan tiga tahun lalu telah mengubah kehidupan Nesha. Pihak PBB sepakat menutupi kenyataan bahwa ada tiga orang calon anggota The Hackers yang selamat dari insiden meledaknya pesawat di bandara Changi. Setelahnya, ada banyak tes yang harus dilalui Nesha, Gavin, dan Mark untuk membuktikan bahwa mereka bukanlah bagian dari kelompok New World.
Belum cukup sampai di situ, mereka bertiga disibukkan dengan kegiatan mengasah kemampuan membunuh mereka menggunakan komputer dan jaringan, lalu membangun pasukan di bawah komando mereka.
Ya, awalnya mereka bertiga kaget setelah mengetahui tujuan dibentuknya The Hackers. Tapi lalu mereka setuju setelah mengetahui alasan sebenarnya. Sejauh ini Nesha cukup lega karena tidak harus membunuh siapapun. Mereka hanya melumpuhkan, lalu menyerahkan sisanya pada agen federal. Yang cukup membanggakan, sudah ada dua orang anggota New World yang berhasil mereka ringkus. Tapi sayang, keduanya memilih menenggak racun hingga tewas sebelum sempat diinterogasi.
Dan saat itulah Nesha sadar, musuh mereka benar-benar berbahaya. Terorganisir, cerdik, tega membunuh, dan kesetiaan mereka tidak perlu dipertanyakan lagi.
Tiinnn!
“Akh!”
Apa yang baru saja terjadi bagai kilasan film di mata Nesha. Dia terlalu tenggelam dalam lamunan hingga tidak menyadari bahwa dirinya baru saja hendak menerobos lampu hijau. Beruntung seseorang dengan sigap menariknya. Begitu Nesha sadar, dirinya sudah berada dalam dekapan lelaki tampan bermata hazel dan memiliki aroma kopi.
“Miss, Anda baik-baik saja?” tanya lelaki itu dengan lengan masih melingkari pinggang Nesha.
Nesha tidak menjawab, hanya terpaku pada mata hazel yang seolah menghipnotisnya.
Mendadak lelaki itu menarik earphone yang menutupi salah satu telinga Nesha. “Aku memang tampan. Tapi bisakah kau berhenti menatapku dengan lapar dan liur menetes begitu?”
Mata Nesha melebar. Segera dia mendorong d**a si lelaki bermata hazel hingga ada jarak di antara mereka lalu menggosok sudut bibirnya dengan punggung tangan.
“Aku tidak meneteskan liur,” gerutu Nesha kesal.
Lelaki itu terbahak. “Memang tidak. Tapi kau nyaris melakukannya.” Lelaki itu berdehem seraya memasukkan kedua tangan dalam saku celana jinsnya dengan gaya sok keren. “Tapi tidak masalah. Aku sudah biasa ditatap seperti itu. Hanya wanita penyuka sesama jenis yang tidak tertarik padaku.”
Nesha terperangah lalu mendengus akan sikap percaya diri yang berlebihan dari lelaki itu. Yah, sebenarnya tidak berlebihan karena tadi Nesha memang menatapnya dengan lapar.
“Sepertinya rasa percaya dirimu terlalu tinggi,” sindir Nesha.
“Bukan sekedar percaya diri, tapi aku memang tahu.” Lelaki itu mengedipkan sebelah mata pada Nesha tapi kemudian mendesah. “Sangat menyenangkan berbincang denganmu tapi aku sudah terlambat. Sampai ketemu lagi!” lalu lelaki itu pergi tanpa menunggu jawaban Nesha.
Sampai ketemu lagi? Yang benar saja. Nesha tidak tertarik bertemu lagi dengan lelaki kelewat percaya diri yang baru saja membuat Nesha malu karena ketahuan mengaguminya. Tapi—
“Hei!” teriak Nesha memanggil lelaki tadi. Begitu lelaki bermata hazel itu menoleh, Nesha kembali berteriak seraya melambai, “Terima kasih!”
Lelaki itu tersenyum lebar lalu balas melambai. “Sama-sama! Lain kali jangan berpikir untuk bunuh diri lagi!” setelahnya dia kembali berbalik lalu melanjutkan langkah.
Nesha meringis. Lelaki tampan itu ternyata sama menyebalkannya seperti Gavin. Kenapa dia harus berteriak meminta Nesha untuk tidak bunuh diri? Kini Nesha jadi pusat perhatian orang-orang yang mendengar teriakan lelaki tadi. Orang-orang itu saling berbisik sambil menunjuk-nunjuk Nesha. Kesal, Nesha menutup kepalanya dengan tudung jaket lalu bergegas menjauh.
***
“Mark!” seru Nesha senang lalu bergegas menghambur ke dalam pelukan Mark.
Mark terkekeh. “Tingkahmu seperti kita tidak bertemu selama bertahun-tahun saja. Apa kau sangat merindukanku?”
“Benar sekali, Mark. Tinggal berdua bersama Gavin sehari rasanya aku sudah tinggal di neraka selama sepuluh tahun.”
Gavin mendongak dari kegiatannya memperbaiki laptop lalu berseru, “Heh! Seharusnya aku yang mengatakan itu!”
Mark tergelak. “Sepertinya kalian sudah melewatkan waktu yang menyenangkan.”
“Cih, apanya yang menyenangkan? Lain kali kalau kau pergi, aku ikut saja.”
“Sayang sekali markas pusat melarang kita pergi ke sana bersama, kecuali jika ada masalah darurat.”
Nesha berdecak malas mengingat peraturan markas pusat. Yang mereka sebut markas pusat adalah markas utama tempat The Hackers memegang kendali dan menjalankan misi. Walau Nesha, Gavin, dan Mark adalah pemimpin The Hackers, mereka hanya diizinkan datang ke markas pusat ketika dipanggil untuk menghindari kelompok New World mengetahui bahwa mereka selamat dari insiden tiga tahun lalu. Untuk urusan sehari-hari, mereka hanya memantau dari kejauhan dan menyerahkan sisanya pada anak buah mereka di markas pusat The Hackers.
“Aku sudah dengar berita pagi ini.” tiba-tiba Gavin berkata dengan tatapan fokus pada laptop di tangannya. Saat ini dia sedang menggunakan obeng untuk membongkar laptop itu dan mencari tahu letak masalah. “Apa markas pusat memanggilmu untuk menangkap pelaku pencurian dana itu?”
“Aku tidak dengar berita apapun,” celetuk Nesha.
“Tentu saja kau tidak dengar, dasar kebo!”
Nesha melempar kain lap di dekatnya tapi dengan sigap Gavin menangkap kain itu.
“Apa itu ‘kebo’?” tanya Mark penasaran.
“Kebo itu seperti kau,” sahut Gavin asal.
Kening Mark berkerut. “Kenapa kedengarannya kau sedang menghinaku?”
“Jawab saja pertanyaanku!” seru Gavin kesal.
Mark berdecak.
“Lihat, kan! Tinggal bersama Gavin seperti tinggal bersama iblis di neraka.” Nesha menjulurkan lidah pada Gavin.
“Dasar bocah,” ejek Gavin lalu kembali fokus pada pekerjaannya.
“Tentang pelaku pencurian dana itu, kantor pusat memang memanggilku untuk menangkapnya.” Mark buru-buru menjelaskan sebelum Nesha dan Gavin memulai perang kata yang tidak berujung.
“Sepertinya bukan pekerjaan sulit,” gumam Nesha heran. “Kenapa mereka tidak menyampaikan misi melalui email saja? Biasanya hanya misi yang berhubungan dengan kelompok New World yang disampaikan secara langsung pada kita.”
Mark menyeringai. “Kau tidak tahu siapa yang kuhadapi. Kemampuan hackingnya lumayan membuatku kagum. Dia sangat ahli melakukan DDoS Attack dan menciptakan virus perusak. Aku mengira dia tidak bekerja sendirian. Kupikir ada lebih dari sepuluh orang yang membantunya. Tapi ternyata dia bekerja secara individu. Hanya seorang diri.”
“Wow!” seru Nesha kagum.
Gavin juga sampai menghentikan pekerjaannya lalu menatap Mark. Dalam hati dia turut kagum dengan kemampuan orang yang barusan diceritakan Mark.
“Ya. Wow!” Mark menyeringai. “Aku sampai berpikir bagaimana jika—” Mark sengaja menggantung kalimatnya, menunggu dua rekannya turut memikirkan hal yang sama.
Mendadak Nesha menjentikkan ibu jari dan telunjuknya hingga menimbulkan suara keras. “Maksudmu merekrutnya ke dalam The Hackers?”
Mark mengangguk lalu menoleh pada Gavin yang masih menatap dirinya dan Nesha. “Bagaimana menurutmu?”
“Bukan ide buruk,” sahut Gavin santai lalu kembali berkutat dengan laptop di hadapannya.
“Aku akan menghubungi Johny untuk menyampaikan keinginan kita. Bagaimanapun saat ini dia seorang narapidana. Kita tidak bisa merekrutnya begitu saja tanpa bantuan orang dalam.”
Nesha mengangguk setuju.
“Mark, cepat bantu aku. Kita kedatangan banyak laptop rusak hari ini.”
Ketika mereka tidak sibuk dengan misi dari markas pusat, Mark dan Gavin menerima jasa perbaikan komputer dan ponsel. Itu juga merupakan cara mereka untuk menyembunyikan pekerjaan sebenarnya. Sementara Nesha memilih pekerjaan sebagai—
“Nesh, kau tidak bekerja?” tanya Mark seraya menghampiri Gavin yang duduk di lantai.
Nesha menggeleng. “Aku dapat jatah libur hari ini dan aku akan memanfaatkannya dengan baik.”
“Oh ya!”
Nesha yang hendak berbalik segera berhenti karena seruan dari Mark.
“Akhir pekan ini kita diundang makan malam oleh Presiden Walker,” lanjut Mark.
“Kita bertiga?” tanya Gavin heran.
“Ya.”
“Apa itu tidak masalah? Selama tiga tahun ini kita nyaris tidak pernah muncul bersama jika itu berhubungan dengan urusan kenegaraan.” Nesha turut bertanya.
“Presiden Walker sudah mendapat persetujuan dari banyak pihak yang bertanggung jawab atas keberadaan The Hackers.” Mark mengangkat bahu.
“Kalau begitu aku tidak akan bertanya lagi.” Nesha menyeringai. “Sekarang jangan ganggu aku.” Kemudian dia berbalik, masuk ke rumah.
“Memangnya siapa yang mengganggunya?” cibir Mark seraya memperhatikan laptop-laptop yang tergeletak di sekitar Gavin. “Apa saja masalahnya?”
“Beberapa mengalami blue screen dan beberapa lainnya tidak bisa digunakan karena ulah virus.” Gavin menunjuk sebuah laptop. “Yang ini seolah tombol delete ditekan terus-menerus. Aku sudah cek keyboardnya dan yakin tidak ada masalah. Pasti ulah virus juga.”
“Lalu yang ini?” Mark menunjuk pada laptop yang tampak diasingkan dari yang lain.
“Ini virusnya cukup pintar dan merepotkan. Jika hanya diperhatikan sekilas, tampaknya tidak ada masalah dengan laptop ini. Bahkan masih bisa digunakan dengan baik. Antivirus juga masih berfungsi normal, tidak menunjukkan tanda-tanda adanya virus. Tapi coba saja masukkan flashdisk penuh data. Dalam sekejap semua datamu akan dimakan.”
“Sepertinya tidak terlalu merepotkan. Pasti antivirusnya belum diupdate.” Komentar Mark.
“Mungkin memang begitu hingga virus di laptop ini berkembang biak. Tapi masalahnya sekarang, proses apapun untuk menghapus virus itu tidak bisa dilakukan. Aku hendak mengupdate antivirusnya, namun gagal terus. Saat aku coba mendownload antivirus terbaru, tiba-tiba situsnya berubah jadi situs porno.”
Mark terkekeh. “Sepertinya virusnya tahu betul bagaimana cara mengalihkan perhatianmu.”
Gavin menatap tajam Mark.
“Baiklah, baiklah.” Mark angkat tangan, paham Gavin tidak suka saat ia serius malah dianggap lelucon. “Kurasa tidak ada cara lain selain mengusir virus-virus itu dengan paksa. Membakar rumah yang menjadi sarang mereka lalu membangun rumah baru dengan pelindung lebih kuat.” Perhatian Mark beralih pada laptop yang masih diutak-atik Gavin. “Kalau yang kau pegang, apa masalahnya?”
“Tadinya kupikir ada masalah serius di mainboardnya. Ternyata hanya kendala kecil di port I/O.”
Mark mengangguk-angguk. “Jadi hanya yang satu itu yang mengalami masalah di hardwarenya?”
“Aku belum memeriksa dengan teliti laptop yang mengalami blue screen. Bisa jadi harddisk atau memorynya yang bermasalah.”
“Kalau begitu aku akan mengurus laptop yang bermasalah dengan virus lebih dulu.”
“Sebaiknya selesaikan yang ini dulu.” Gavin menunjuk. “Aku sudah selesai menginstall ulang windowsnya. Tapi aku lupa di mana meletakkan DVD driver pack. Daripada membuang waktu mencari, jadi aku mengurus laptop yang lain.”
“Aku punya salinannya.” Mark berjalan ke salah satu laci lalu mengeluarkan sebuah DVD.
“Baguslah. Di meja ada daftar software yang harus kau install di laptop itu. Pemiliknya lumayan rewel untuk aplikasi-aplikasi yang harus dan tidak boleh diinstall, tapi ingin segera selesai.”
“Bukan masalah.” Mark menggeliat untuk meregangkan otot-ototnya yang kaku. “Waktunya bekerja!” serunya bersemangat.
Gavin hanya tersenyum tipis dan terus melanjutkan pekerjaannya.
---------------------
♥ Aya Emily ♥