Delapan

1530 Kata
Senin (23.56), 31 Mei 2021 ---------------------- 17 Maret 2062, USA Lelaki berkepala plontos dengan sweater dan jins hitam tampak berlari sambil sesekali menoleh ke belakang. Derap langkahnya terdengar amat nyaring di antara gelapnya malam. Rintik hujan dan penerangan seadanya tak membuat lelaki itu berhenti. Dia terus berlari meliuk di antara gedung-gedung tinggi. Rasanya dia sudah berlari selama berjam-jam ketika ia akhirnya berhenti melangkah lalu menatap sekeliling. Napasnya terengah dan tenggorokannya terasa kering. Jauh di depan sana, tampak suasana semakin gelap. Lelaki itu tidak tahu apa yang akan ia hadapi jika terus melangkah lurus. Di sebelah kirinya adalah tempat sampah dengan bau menyengat. Cukup bagus untuk sembunyi tapi dia tidak mungkin sanggup menahan baunya. Apalagi dia tidak tahu sampai kapan mereka akan mengejarnya. Satu-satunya pilihan adalah memanjat pagar kawat yang tingginya sekitar tiga meter. Dia cukup pandai untuk urusan memanjat dan yakin hal itu bisa sedikit menghambat para pengejarnya. Segera lelaki plontos itu berlari menuju pagar kawat. Dengan sigap dia melompat, namun— CRASSH!! “Argh!” Tubuh lelaki itu bergetar hebat akibat aliran listrik dari pagar kawat yang langsung menghantamnya. Dua detik kemudian, tubuhnya terbanting ke tanah dengan suara keras. Ia mengerang, menahan sakit yang terasa menyengat, sementara pandangannya berkunang-kunang. Krriingg! Dering ponsel dari saku celananya meramaikan suasana. Sambil berusaha menghela tubuhnya agar duduk, lelaki berkepala plontos itu mengeluarkan ponsel dengan tangan bergetar karena masih terpengaruh aliran listrik tegangan tinggi tadi. Sejenak ia memeriksa caller id dan mendadak jantungnya berpacu semakin cepat melihat identitas penelepon yang terasa asing, yakin dirinya tidak pernah menyimpan nomor dengan nama itu. The Hackers. Menelan ludah, lelaki itu mematikan ponsel lalu memasukkannya lagi ke saku. Dia memaksa tubuhnya agar berdiri lalu berjalan dengan langkah diseret menuju lorong gelap yang tadi tidak ia pilih. Krriingg! DEG. Lelaki itu membeku dengan mata terbelalak. Kenapa ponselnya bisa berdering kembali? Padahal dia sudah mematikannya. Seketika bulu kuduknya meremang, merasakan teror di sekujur tubuhnya. Ragu, lelaki itu menoleh ke belakang. Tidak ada siapapun. Padahal tadi dia yakin ada banyak orang dari FBI yang mengejarnya. Lalu ia mengeluarkan ponsel kembali dan ketakutan kian menggerogoti hatinya begitu melihat caller id. The Hackers. Lagi-lagi dia menelan ludah lalu bergegas mempercepat langkah. Kini dia tidak lagi mematikan ponsel dan hanya membiarkan ponselnya berdering dalam genggaman. “Aakhh!” Lagi-lagi suara kesakitan terdengar dari sela bibir lelaki itu. Refleks dia melempar ponselnya yang baru saja mengeluarkan aliran listrik dan langsung menghantam tangannya. Krriingg! Ponsel yang sudah di tanah itu masih menyala dengan suara berdering nyaring dan menampakkan caller id yang sama. Lalu tiba-tiba, lampu di sekitar lelaki itu mati namun beberapa detik kemudian menyala kembali. Terus seperti itu hingga menciptakan kengerian yang amat sangat dalam hati si lelaki berkepala plontos. “Baiklah, aku menyerah!” mendadak lelaki itu berseru pada gelapnya malam. Mengabaikan tubuh kekar dan kejahatan yang telah dilakukannya hingga terseret dalam situasi ini, dia menangis saat bergegas menyambar ponsel lalu menerima panggilan telepon. “Apa yang kalian inginkan?!” “Penjara atau teror?” Terdengar suara dingin dari seberang sana bertanya. Lelaki itu menahan tangisnya. Dia berusaha agar suaranya terdengar memelas. “Aku tidak melakukan ini dengan sengaja. Tolong lepaskan aku dan aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi.” “Jadi kau pilih teror. Kalau begitu selamat menik—” “Penjara! Aku pilih dipenjara saja. Aku tidak sanggup menahan lebih dari ini.” akhirnya lelaki itu ambruk ke tanah dengan posisi berlutut sambil menangis sesenggukan. Dia bahkan sudah tidak peduli lagi saat beberapa menit kemudian, belasan orang dari FBI mengepungnya lalu memborgol kedua pergelangan tangannya. *** “Akhirnya setelah tiga minggu berlalu sejak kejahatan dilakukan, FBI berhasil meringkus pelaku pencurian dana bagi korban bencana senilai 500.000 US Dollar. Pelaku adalah seorang peretas yang menggunakan keahliannya untuk mengalirkan dana ke rekening pribadi. Kecerdikannya menyembunyikan identitas membuat FBI sempat mengalami kesulitan mengikuti jejaknya. Namun semalam, tepat pukul 01.00 waktu Chicago, dia berhasil diringkus—” Presiden Allard Walker mematikan televisi dengan senyum bangga di bibirnya. Kemudian ia bergeser untuk menghadap tamu yang sejak tadi menemaninya menonton berita pagi. “Anda pasti sangat bangga dengan kinerja agen FBI, Mr. Presiden.” Lelaki tegap bersetelan jas abu-abu yang menjadi tamu Presiden Walker mengulas senyum. Senyum Presiden Walker semakin lebar hingga menampakkan keseluruhan gigi putihnya. “Yah, aku sangat bangga pada kinerja mereka, Senator Leighton. Tapi aku lebih bangga pada mereka yang membantu di balik layar. Sayangnya pihak FBI sedikit terlambat meminta bantuan mereka.” Salah satu alis Senator Leighton terangkat, menunjukkan rasa penasaran. “Saya tidak berani bertanya lebih jauh karena khawatir melampaui batas. Tapi Anda berhasil membuat saya penasaran.” Presiden Walker terkekeh. “Kau adalah kandidat Presiden Amerika berikutnya. Sejauh ini, rakyat menyukaimu dan akupun lebih percaya padamu daripada kandidat yang lain. Jadi kurasa, sudah waktunya kau mengetahui beberapa hal dibalik layar.” “Saya sungguh tersanjung dengan kepercayaan Anda, Mr. Presiden. Tapi bagaimana jika saya tidak terpilih? Bukankah itu berarti Anda telah mengatakan rahasia pada orang yang salah?” “Itu salah satu yang kusukai darimu. Sikap rendah hati dan keteguhanmu memegang prinsip-prinsip. Aku yakin negara ini akan semakin jaya di tanganmu.” Lelaki itu tersenyum kecil. “Anda terlalu cepat memuji. Tapi terima kasih. Jika Anda mempercayai saya, tidak ada yang bisa saya lakukan selain melakukan yang terbaik.” “Ya, memang itu yang harus kau lakukan.” Presiden Walker tersenyum puas. “Dan mengenai sesuatu yang perlu kau tahu, aku ingin memperkenalkanmu pada beberapa orang. Hal ini sudah kudiskusikan dengan banyak pihak dan mereka semua setuju. Jadi bisakah kau datang makan malam akhir pekan ini?” “Mana mungkin saya berani menolak?” Presiden Walker tertawa kecil seraya berdiri. “Ayo ke ruang makan. Aku mengundangmu pagi ini untuk sarapan bersama. Setelah itu kita akan membahas urusan kenegaraan.” Senator Leighton turut berdiri. “Kedengarannya ini akan jadi hari yang sibuk.” “Benar sekali.” Begitu Presiden Walker berbalik, sudut bibir tipis Senator Leighton terangkat dan mata ambernya yang menyerupai mata serigala berkilat tajam seolah menyembunyikan banyak rahasia. *** “Nesha!” Pagi ini diawali dengan teriakan Gavin. Walau lelaki itu terkesan cuek dan dingin, tapi ternyata dia sangat ahli dalam urusan berteriak, terutama ketika ada seseorang yang masuk ke teritorialnya. Nesha yang masih berbaring nyaman hanya mengerang lalu kembali terlelap, sama sekali tidak terganggu suara keras Gavin. “Nesha!” teriak Gavin lagi, kali ini seraya menarik selimut yang menutupi tubuh Nesha. “Sudah berapa kali kubilang, jangan masuk ke kamarku tanpa izin apalagi tidur di sampingku! Kau mau kuperkosa, hah?!” Nesha mendesah lalu menoleh pada Gavin yang berkacak pinggang di samping ranjang. “Kau pernah bilang tidak bernafsu padaku. Jadi apa masalahnya?” “Masalahnya kau masuk tanpa izin ke wilayahku. Dan aku tidak suka itu.” “Ayolah, Gavin. Hanya sekali ini.” Nesha menguap, hendak melanjutkan tidurnya kembali. “Bukan hanya sekali. Kau sudah melakukannya berkali-kali sejak tiga tahun kita tinggal bersama!” “Kalau ada Mark, aku juga tidak akan membuang waktu mengganggumu.” Nesha merengut. Lantas dia turun dari ranjang lalu keluar dari kamar Gavin. Tak lupa ia menutup pintu dengan suara keras untuk menunjukkan kekesalannya. Dari kamar Gavin, Nesha menuju dapur sambil menghentakkan kaki. Dia benar-benar kesal. Gavin sama sekali tidak manusiawi. Lelaki itu bukannya tidak tahu bahwa Nesha selalu dihantui mimpi buruk tiap tidur sendirian. Tapi dia masih tetap tidak peduli. Biasanya Nesha selalu tidur bersama Mark. Tapi kemarin Mark dipanggil markas pusat untuk mengurus beberapa hal dan belum pulang hingga kini. Kalau bukan karena terpaksa, tentu Nesha tidak akan sudi menginjakkan kaki di kamar si—manusia batu—Gavin. Brakk! Nesha menendang kaki kursi kayu di dapur untuk melampiaskan kekesalannya. Tapi beberapa detik kemudian dia meringis karena jemari kakinya terasa ngilu. Dasar Gavin k*****t! Sialan! Tengik! Mati saja sana! Puas memaki, Nesha mengambil sereal dari lemari lalu menuangkannya dengan kasar ke dalam mangkuk. Setelahnya dia menuangkan s**u dengan sama kasarnya, seolah membayangkan wajah Gavin yang sedang dia siram. Tak ia pedulikan cipratan s**u yang mengotori meja lalu makan dengan lahap. “Astaga! Aku sudah bilang berkali-kali, kau harus memperhatikan kebersihan. Bagaimana bisa kau makan dengan nyaman sementara meja di depanmu kotor begitu?” Gavin yang baru muncul di dapur langsung menceramahi Nesha sambil berkacak pinggang. Nesha sendiri hanya melirik Gavin sinis lalu melanjutkan makan dengan tak acuh. Gavin mendengus karena dirinya diabaikan. “Jangan bilang kau belum cuci muka dan gosok gigi tapi langsung makan.” Nesha masih tidak menjawab, hanya mengangkat bahu. “Kau benar-benar…” Gavin kehabisan kata. “Kau ini wanita macam apa? Sangat jorok dan—” “Dan kau ini lelaki macam apa?” potong Nesha sambil mengacungkan sendoknya ke arah Gavin. “Semakin lama semakin cerewet seperti nenek-nenek. Telingaku sampai sakit mendengarnya.” Tanpa menunggu tanggapan Gavin, Nesha berdiri lalu pergi menuju kamarnya. Sama seperti tadi, dia menutup pintu dengan keras. “Nesh! Bersihkan ini dulu! Siapa yang akan mencuci bekas makanmu?!” Tidak ada jawaban. Beberapa menit kemudian, Nesha keluar kamar dengan mengenakan jaket dan celana pendek. Tak lupa earphone terpasang di telinga. Tentu saja dia belum mandi, hanya mencuci muka dan gosok gigi. Dia butuh menjauh dari Gavin sebelum tergiur untuk menghancurkan kepala Gavin dengan pistol yang ia simpan di laci kamarnya. --------------------- ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN