Tujuh

1974 Kata
Senin (23.44), 31 Mei 2021 ----------------------- Nesha benar-benar menutup telinga dari teriakan orang-orang yang mengejarnya. Dia hanya fokus pada lelaki berjaket biru gelap—nyaris hitam—yang terus berlari menjauh. Sudah dua kali Nesha mengalami hal ini. Hanya karena dia tidak berhasil menangkap pelaku, lagi-lagi dia menjadi korban pelecehan di tempat umum. Kali ini dia bertekad, jika pelaku tertangkap akan Nesha arak keliling kota dan memastikan media meliput kejadian itu agar wajah pelaku dilihat seluruh masyarakat. Sebenarnya Nesha sama sekali tidak mengenal jalan di bandara ini. Ah, bahkan di negara ini. Namun dia mengabaikan semua itu. Kakinya terus melangkah hingga lelahpun tak terasa. Entah sudah berapa lama mereka berlari, orang-orang yang mengejar Nesha mulai kehilangan jejak karena lelaki yang Nesha kejar tahu persis harus melangkah ke mana untuk membuat mereka terpisah. Sampai di area tunggu, kini Nesha yang kehilangan jejak lelaki yang telah melecehkannya. Dia terengah-engah, berhenti dekat pilar besar dengan kepala menoleh ke sekeliling. “Mencariku, Nona?” Suara yang dalam dan berat itu menyapa Nesha dari arah belakang. Buru-buru Nesha berbalik, tapi dia malah mundur ketika keningnya membentur d**a keras seseorang. Segera dia mendongak dan mendapati mata kuning keemasan bak mata serigala balas memandangnya. DEG. Nesha merasa déjà vu. Ini seperti kejadian beberapa bulan lalu saat seseorang merebut bunganya lalu melecehkan dirinya. “Kau orang yang sama yang melecehkanku beberapa bulan lalu,” geram Nesha, tanpa sadar menggunakan bahasa aslinya. “Maaf?” “b******k, kau orang yang sama seperti lelaki di taman beberapa bulan lalu.” Nesha segera memperbaiki kalimatnya dengan Bahasa Inggris. Lelaki itu menyeringai menunjukkan bahwa dugaan Nesha benar. Namun sayang, Nesha tetap tidak bisa melihat keseluruhan wajah lelaki itu karena dilingkupi kegelapan dari tudung jaket. Hanya matanya yang bersinar seperti nyala lampu kuning. Geram, Nesha hendak menarik jaket yang dikenakan lelaki itu. Namun lelaki bermata amber berhasil berkelit. Kembali Nesha menggerakkan tangannya cepat, namun lagi-lagi kalah cepat dengan gerakan lelaki itu. Akhirnya Nesha menggunakan kemampuan beladiri yang diajarkan kakak-kakaknya. Dia berusaha menyerang, bahkan melukai. Apa saja yang penting bisa menjatuhkan si lelaki. Tapi ternyata kemampuan beladiri si lelaki bukan tandingan Nesha. Dia bergerak lebih lincah dan luwes. Sengaja hanya meladeni Nesha dengan gerakan menghindar tanpa berniat balas menyerang. “Lumayan juga,” komentar si lelaki bermata amber, memuji sekaligus meremehkan. Nesha semakin kesal. Dia merasa dipermainkan. Dia bergerak semakin cepat dengan emosi meningkat. Merasa Nesha mulai terpancing amarah, lelaki bermata amber tertawa keras. Dia geli melihat bagaimana Nesha berusaha menyerangnya membabi-buta padahal dia bisa menjatuhkan gadis itu dengan sekali gerakan. Gadis itu kurang terlatih untuk menjadi lawannya. “NESHA!!” Nesha tahu itu suara Mark. Tapi dia tidak membuang waktu untuk menoleh karena tidak ingin kehilangan jejak lelaki kurang ajar yang sedang menertawakan dirinya. “Aku tidak mengenalmu tapi kenapa kau terus melecehkanku. Apa tujuanmu?” Nesha bertanya garang setelah beberapa kali serangannya gagal. Lelaki bermata amber tampak menoleh ke belakang Nesha, lalu berdecak malas. “Hanya merasa senang mengganggumu.” Lelaki itu mengangkat bahu. “Tapi sekarang kita sudahi dulu. Teman-temanmu semakin dekat. Aku janji lain kali kita akan bertemu lagi.” Setelah berkata demikian lelaki itu berbalik lalu berlari menjauh. Bibirnya melengkung membentuk senyuman ketika mendengar Nesha mengumpat dengan bahasa campuran. Sudah lama dia tidak merasakan kesenangan semacam ini. Kesenangan tanpa menghilangkan nyawa orang. Ya, biasanya bagi lelaki bermata amber, tidak ada yang lebih menyenangkan dari merenggut kehidupan orang lain. Tapi ternyata, mengganggu wanita yang bahkan tidak ia kenal terasa sama menyenangkannya. Kakinya begitu santai melangkah ke tempat yang lebih sepi di bandara itu. Dan seperti biasa, dia menghindari menunjukkan wajah ke arah CCTV. Tapi selalu saja ada bagian tempat yang tidak masuk dalam jangkauan kamera pengawas itu. Biasanya tempat yang jarang dikunjungi dan bukan area penting. Ya, tidak penting bagi orang lain tapi cukup menguntungkan baginya. Sejenak lelaki bermata amber berhenti begitu mencapai area yang tidak terjangkau CCTV. Dia melepas jaket lalu membalik jaketnya. Kini jaket itu berwarna biru terang seperti langit di hari cerah. Dan tidak ada lagi tudung jaket, digantikan kerah yang dibiarkan berdiri tegak. Sebuah kacamata ia kenakan untuk melengkapi penampilan. Rambutnya yang dipotong rapi sengaja ia acak-acak untuk memberi kesan nakal. Sekarang dia siap untuk kembali berjalan santai. Seperti yang kerap kali terjadi, lelaki bermata amber mulai menjadi pusat perhatian begitu wajahnya terlihat. Kacamata bening yang ia kenakan seolah mempertontonkan dengan bebas mata serigalanya. Rahang tegas dengan belahan dagu, bibir tipis yang mudah tersenyum, hidung mancung yang menggantung indah, ditambah alis tebal yang makin mempertajam mata ambernya, semua itu begitu serasi di wajah si lelaki membuatnya tampak seperti gambaran dewa-dewa Yunani. Jadi tidak heran kalau sepanjang jalan ia keluar dari bandara, semua pasang mata menoleh baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Semua, tidak peduli pria atau wanita, anak-anak atau tua, semua mengagumi keindahannya. “Kukira kau tertangkap,” gerutu Ben begitu lelaki bermata amber berada di dekatnya yang sedang bersandar di badan mobil. “Jangan menghinaku begitu.” lelaki bermata amber tersenyum kecil. “Sungguh, jantungku berhenti berdetak akibat ulahmu. Sebenarnya apa yang kau pikirkan?” “Tidak ada.” Ben mendesah. Jika lelaki itu sudah berkata demikian, dia tahu percuma mendesak. “Kita pulang sekarang?” “Jangan dulu. Aku ingin mendengar ledakannya.” Seringai kejam muncul di bibir lelaki itu. “Ide bagus.” Ben juga tersenyum. *** Aku janji lain kali kita akan bertemu lagi. Kalimat itu benar-benar seperti sebuah hinaan bagi Nesha. Dia sudah siap mengejar saat lelaki itu hendak menjauh. Namun gerakannya terhenti karena tiba-tiba lelaki tinggi berseragam dan bersenjata lengkap sudah mencekal lengannya. “Hentikan, Nona! Kau membuat kami kesusahan!” nada suara pengawal yang mengejar Nesha meninggi, menunjukkan dia sedang dilanda amarah. Nesha yang sudah merasa terhina akibat kelakukan lelaki yang telah melecehkannya, semakin geram mendengar lelaki di hadapannya marah padanya. “AKU DILECEHKAN!! Peduli setan aku membuat kalian susah atau tidak.” Nesha menggeliat, berusaha melepaskan diri. Namun cekalan di lengannya semakin erat. “Nesh,” Mark yang berhasil menyusul berdiri di samping Nesha dengan napas terengah sementara Gavin di sisi yang lain dan dua pengawal di belakang mereka. Mereka sempat mendengar apa yang dikatakan Nesha tadi. “Apa yang dilakukan b******n itu?” tanya Mark mulai tersulut emosi juga. “Dia meremas bokongku!! Haruskah aku diam saja dan menganggap kejadian semacam ini biasa terjadi?!” meski Nesha sedang menjawab pertanyaan Mark, namun perhatiannya masih tertuju pada pengawal bermata cokelat yang sedang mencekal lengannya. “Kau sungguh bodoh, Nona,” geram si pengawal. “Aku bawa senjata. Seharusnya kau bilang saja agar aku bisa menembaknya di tempat.” Nesha tertawa merendahkan. “Menembak di tempat? Aku ragu kau bersedia melakukannya. Kau pasti akan terhalang aturan-aturan menyedihkan.” Pengawal yang lain turut angkat bicara. “Sudahlah, percuma terus berdebat. Sebaiknya kita—” DDDHHHUUUUAAARRR!! Suara keras dan teriakan membuat mereka berenam mematung. Bahkan mereka sama sekali tidak bergerak ketika bandara terasa bergetar akibat kerasnya ledakan dan orang-orang yang panik mulai berhamburan keluar. *** “s**t!!” Rico mengumpat karena lengannya membentur pinggiran wajan panas. Entah mengapa sejak pagi dia terus merasa gelisah hingga tidak bisa konsentrasi dengan pekerjaannya. Untung saja dia tidak sedang melakukan aksi pencurian. Kalau iya, mungkin dia akan langsung tertangkap karena tidak fokus. Mencuri? Ah, tidak lagi. Berkat adik kesayangannya dia bertekad berhenti dari kegiatan itu. Bahkan Simon dan Anwar juga sudah setuju. Mereka bertiga mulai melakukan pekerjaan legal. Seperti yang dilakukan Rico sekarang. Dengan bermodal uang tabungannya, dia membuka sebuah rumah makan. Ternyata Simon dan Anwar malah mengekor, turut menanam modal lalu menawarkan diri menjadi pelayan sementara Rico berkutat di dapur. Di hari pertama sejak kepergian Nesha, mereka bertiga sibuk membersihkan dan mendekor bangunan bekas restoran yang sudah bangkrut dan ternyata sudah lama dibeli Rico namun belum ia kelola. Esoknya mereka masih sibuk menatap perabotan. Tentu saja, mereka melakukan itu semua tidak hanya bertiga. Mereka mengeluarkan cukup banyak uang untuk membayar beberapa orang agar membantu. Lalu yang paling sulit adalah menentukan nama rumah makan mereka. Mereka berdiskusi sepanjang malam untuk menemukan nama yang cocok. Hingga akhirnya mereka sepakat memilih nama ‘NESHA’. Dengan begitu mereka bisa merasa bahwa adik mereka ada di sana, sangat dekat. Tak disangka, NESHA langsung kebanjiran pelanggan di hari pertama dibuka. Tapi anehnya, para pelanggan itu—yang sebagian besar adalah kaum hawa—malah lebih sering minta berfoto dengan Rico, Simon, atau Anwar daripada memesan makanan. Menurut para pelanggan, rumah makan itu seperti café dalam drama korea. Semua pegawainya adalah lelaki-lelaki tampan nan gagah. Simon dan Anwar hanya nyengir mendengar penuturan para pelanggan. Sementara Rico malah kesal. Dia membangun rumah makan agar orang-orang bisa mencicipi dan mengagumi masakannya. Tapi ini, mereka yang datang ke rumah makan itu biasanya hanya memesan minuman dan setelahnya duduk memandangi pelayan atau koki NESHA. Yang benar saja! Baru dua hari berlalu sejak pembukaan NESHA. Kekesalan Rico berangsur reda karena ada beberapa pelanggan yang datang lagi karena ketagihan masakannya. Itu membuat semangatnya bangkit untuk terus meracik masakan. Tapi entah mengapa hari ini, tepat satu minggu sejak kepergian Nesha, kegelisahan melingkupi diri Rico. Dia tidak mengerti kenapa, dan benaknya selalu tertuju pada adik kecilnya. Ah, apa ini karena dia belum mendengar suara Nesha pagi ini? Ya, mungkin saja. Terakhir dia mendengar suara adik kecilnya tadi malam. Dan mungkin sekarang dia sudah merindukan Nesha lagi. Rico mengeluarkan ponsel bertepatan dengan kedatangan Simon dan Anwar ke dapur NESHA. Dari tampang mereka, jelas mereka akan merengek minta makan. “Sudah masak?” tanya Anwar sambil melongok dari balik tubuh Rico yang sedang menyandarkan pinggul di pantry sambil mengutak-atik ponsel. “Kenapa sarapan kita belum siap? NESHA akan buka satu jam lagi.” Rico hanya melotot ke arah Anwar lalu kembali sibuk dengan ponsel. Enak sekali Anwar bicara. Seolah-olah Rico adalah pembantunya. Simon mengabaikan kedua sahabatnya dan memilih menyalakan tv yang diletakkan di salah satu dinding bagian atas dapur. Dalam rumah makan itu mereka menyediakan dua tv kabel. Yang satu di depan untuk menghibur pelanggan dan yang satunya lagi di dapur. Simon mengganti-ganti chanel tv dengan tidak semangat. Tidak ada berita atau siaran olahraga. Semuanya membosankan. “Sebenarnya kau sedang apa?” Anwar bertanya setengah kesal. Karena tidak ada tanggapan dari Rico, dia mengitip ke arah ponselnya. “Kau menghubungi Nesha?” Rico tidak menyahut. Dia mengetikkan pesan pada adik kecilnya karena panggilan telepon yang ia lakukan sedari tadi tidak diangkat. Mendengar nama Nesha disebut, Simon segera berbalik menghadap kedua sahabatnya, membiarkan acara tv yang sedang menayangkan drama remaja. “Untuk apa kau menghubunginya sekarang? Tadi malam dia bilang bahwa hari ini rombongannya akan berangkat pagi-pagi. Bukankah kau juga sudah tahu?” Rico mendesah dan akhirnya menyerah. Dia memasukkan kembali ponsel ke saku celana lalu berbalik ke arah kompor untuk melanjutkkan kegiatan memasaknya. “Dia kenapa sih?” Anwar tidak mengerti dengan kelakuan sahabatnya satu itu. Simon diam sejenak lalu bertanya, “Apa kau juga merasa gelisah?” Anwar terbelalak. “Maksudmu, kegelisahan aneh seperti yang tadi kita bicarakan?” Rico segera berbalik kembali menghadap kedua sahabatnya. “Jadi kalian juga merasakannya?” Simon dan Anwar mengangguk bersamaan. Lalu ketiganya terdiam. Mereka saling pandang dan mendadak jantung ketiganya berdegup kencang, seolah mereka tengah bersiap menunggu hal buruk terjadi. “Apa ini ada hubungannya dengan—” “Sssttt!” …king News. Tadi pagi tepat pukul 06.00 waktu Singapura, terjadi ledakan hebat di Bandara Internasional Changi. Ledakan berasal dari sebuah pesawat yang hendak lepas landas. Setelah diselidiki, pesawat tersebut adalah pesawat khusus yang digunakan untuk membawa puluhan hacker terpilih dari berbagai belahan dunia. Menurut dugaan pihak penyidik, insiden ini disengaja dan dilakukan oleh sekelompok teroris yang menjadi buronan PBB. Sekian Breaking News pagi ini. DEG. Seketika bulu kuduk ketiga lelaki yang masih mematung itu berdiri. Jantung mereka seperti diremas dan otak mereka berusaha menyangkal. “Nesha.” Simon mengucap nama itu dengan kengerian yang amat sangat. Sementara itu Rico merosot lalu terduduk di lantai dapur. Matanya memerah. Sedangkan Anwar ternganga dengan jemari meremas d**a, menahan sakit di jantungnya. ------------------- ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN