Selasa (00.24), 01 Juni 2021
-------------------
Keduanya memilih menggunakan kendaraan umum daripada mobil pribadi. Mereka saling bertukar banyak cerita, terutama mengenai kesukaan masing-masing.
Turun dari bus, mereka putuskan menikmati sarapan di restoran cepat saji. Entah mengapa burger dan soda terasa lebih nikmat daripada biasanya. Mungkin bukan karena apa yang mereka makan, melainkan siapa yang menemani mereka makan.
“Ngomong-ngomong, aku melihat satu ruangan penuh berisi benda-benda elektronik di rumahmu.” Akhirnya Ezio memiliki kesempatan untuk menyinggung hal itu.
“Di sebelah ruang tamu?” tanya Nesha setelah menelan soda dingin di mulutnya.
“Iya.”
“Itu pekerjaan Mark dan Gavin. Mereka dokter komputer.” Nesha menyeringai. “Ah, tidak hanya komputer. Kalau kau memiliki masalah dengan ponsel, tv, atau barang-barang elektronik lainnya, kau bisa minta bantuan mereka. Sejauh ini belum ada benda elektronik yang tidak bisa mereka perbaiki.” Nesha tersenyum bangga.
“Wow, itu keren,” puji Ezio. Hanya basa-basi karena dirinya juga ahli dalam hal memperbaiki benda-benda eletronik, apalagi merusaknya. “Bagaimana denganmu? Apa kau memiliki keahlian tertentu?”
Nesha meringis. “Jangan tanyakan itu atau aku akan marah padamu.” Dia mendesah. “Aku tidak ahli apapun selain membuat masalah.”
“Oh ya? Masalah macam apa?” Ezio tersenyum geli. Dalam hati dia sedikit kecewa karena Nesha tidak mau menceritakan tentang keahliannya dalam hal meretas. Tapi mengingat perkenalan singkat mereka, sepertinya sangat wajar Nesha belum mau bercerita sejauh itu.
“Membuat kolam dadakan, misalnya.”
Keduanya tertawa mengingat genangan air di halaman rumah Nesha.
“Lalu untuk nanti, kau butuh gaun semacam apa?” tanya Ezio.
“Aku tidak tahu.” Nesha mendesah.
“Memangnya acara apa?” Ezio meringis begitu menyadari bahwa dirinya terlalu ingin tahu. “Ehm, bukannya bermaksud—”
Nesha tersenyum menenangkan. “Aku tidak terganggu dengan pertanyaanmu. Asalkan kau juga tidak jika aku bertanya macam-macam.”
“Aku tidak keberatan.” Ezio tersenyum.
Namun dalam hati, keduanya sama-sama berpikir ada beberapa hal yang tidak bisa mereka bagi.
“Mengenai acara nanti malam, sebenarnya hanya makan malam. Tapi Mark mengancam akan membakar semua bajuku jika aku datang dengan celana jins.” Nesha meringis.
Kening Ezio berkerut. Mendadak dia merasa kesal karena sebuah pikiran melintas di benaknya. “Apa kau tidak curiga bahwa Kakakmu hendak menjodohkanmu dengan seseorang?”
Nesha tertawa geli karena dugaan Ezio. “Tentu saja tidak.”
“Bagaimana kau bisa yakin? Memangnya kau tahu siapa saja yang akan makan malam dengan kalian nanti?”
Nesha diam sejenak, berpikir sejauh apa dia bisa jujur pada Ezio. “Selain Mark dan Gavin, aku hanya tahu satu orang. Bisa dibilang dia sering menggunakan jasa Mark dan Gavin. Itu sebabnya mereka cukup menghormatinya. Dan dia lebih pantas menjadi ayahku.” Nesha menyeringai.
“Mungkin orang itu berencana membawa seseorang.” Tak sadar nada Ezio berubah ketus.
“Entahlah. Tapi kenapa kau tampak kesal?”
Ezio meringis. “Ah, itu—yah, wajar aku kesal. Aku tidak terima wanita incaranku diincar lelaki lain.”
Seketika Nesha merona. Dia menunduk malu dengan kedua tangan saling meremas di pangkuan. Dalam hati dia sangat girang, ingin rasanya melompat-lompat sambil mengepalkan tinju ke udara.
“Maaf kalau aku terburu-buru dan membuatmu tidak nyaman.”
Segera Nesha mendongak lalu menggeleng. “Tidak! Sama sekali tidak—” Dia berhenti, menggigit bibir malu. Sekarang dirinya yang malah tampak begitu antusias. Padahal harusnya wanita bersikap jual mahal, kan?
Ezio tersenyum lebar dan mata hazelnya berbinar cerah. “Ehm, senang mendengarnya.”
Nesha juga tersenyum dan mendadak salah tingkah. Dia ingin menatap lama mata hazel itu, tapi malu untuk melakukannya secara terang-terangan. Jadilah dia sesekali mencuri pandang ke arah mata Ezio lalu menunduk kembali.
Mendadak tangan besar Ezio menangkup tangan Nesha yang berada di atas meja. Nesha tertegun dengan pandangan mengarah pada kedua tangan mereka, lalu perlahan mendongak menatap mata hazel indah itu.
“Kuharap kau tidak keberatan.” Ezio berkata lembut.
Nesha menggeleng pelan dengan senyum tertahan. “Sama sekali tidak.”
Ezio tersenyum kecil dengan hati berbunga. “Kita pergi sekarang?”
“Tentu.”
Lalu mereka berdiri dengan tangan Ezio yang menggenggam tangan Nesha. Tapi perlahan, jemari Ezio menyelinap di antara jemari Nesha, membuat jemari keduanya terjalin dalam genggaman erat.
***
Gavin mendadak berhenti melangkah dengan tatapan lurus ke depan. Mark yang berjalan di sebelahnya juga turut berhenti lalu menatap Gavin penasaran.
“Ada apa?”
Pertanyaan Mark tidak mendapat jawaban karena yang ditanya masih fokus pada sesuatu dengan bibir terkatup rapat. Akhirnya Mark memalingkan wajah dari Gavin, hendak mencari tahu apa yang begitu menarik perhatian lelaki itu.
Nesha?
Kening Mark berkerut melihat Nesha yang berjalan santai beberapa meter di depan mereka. Tampaknya dia baru saja keluar dari restoran cepat saji yang hendak dituju Mark dan Gavin. Yang lebih membuat Mark heran sekaligus penasaran adalah lelaki yang berjalan di samping Nesha. Keduanya tampak sangat akrab. Terlalu akrab malah.
Dan astaga! Apa mereka bergandengan tangan?
“Aku tidak pernah melihat lelaki itu sebelumnya.” komentar Mark.
Tanpa menanggapi, Gavin mendahului Mark lalu berjalan menuju restoran cepat saji. Mereka memang berencana membeli makanan untuk bekal perjalanan mereka mengantar barang. Dan entah ini berkah atau musibah, Gavin terpaksa harus melihat Nesha berjalan mesra dengan seseorang.
“Gavin, tunggu!” Mark segera menyusul lalu berjalan di sebelah Gavin. “Jangan langsung menyimpulkan. Mungkin mereka hanya berteman.”
“Bukan urusanku,” ketus Gavin.
Mark menyeringai. “Terus saja berbohong pada dirimu sendiri. Jangan bilang aku belum memperingatkan jika suatu saat kau terpaksa melihat nama Nesha dan lelaki lain di undangan pernikahan.”
Gavin mendadak berhenti lalu melayangkan tatapan membunuh ke arah Mark. “Sekali lagi, itu bukan urusanku.”
Lalu Gavin berbalik menuju mobil mereka diparkir, meninggalkan Mark yang kini terkekeh geli di depan restoran.
***
Nesha berdiri ragu saat keluar dari kamar ganti setelah mencoba gaun panjang berwarna hitam yang menonjolkan warna kulitnya. Gaun itu menutup bagian depan Nesha dengan sempurna. Lebih menyempit di pinggang dan menyerupai rok dengan banyak lipitan hingga ke mata kaki. Bagian punggungnya lebih terbuka, hanya tertutup tali-temali hitam yang terjalin indah. Nesha tampak begitu menawan dan anggun dengan gaun itu
Setelah menghela napas sejenak, Nesha mulai melangkah menuju tempat Ezio menunggu untuk memberikan penilaian. Ini adalah gaun pertama yang Nesha coba setelah keluar masuk tujuh toko dan tentu saja, atas saran Ezio.
Tiba di tempat Ezio menunggu, Nesha hanya berdiri diam sekitar tiga meter di depan lelaki itu yang sedang menunduk, tampak memeriksa pesan di ponselnya. Mungkin sadar dirinya diperhatikan, Ezio mendongak dan dia pun tertegun dengan bibir terbuka.
Tatapan kagum Ezio membuat Nesha salah tingkah. Dia berdehem lalu berkata, “Aku tahu bahwa aku cantik. Tapi bisakah kau berhenti menatapku dengan lapar dan liur menetes?”
Ezio tersentak kaget. Beberapa detik kemudian dia terkekeh geli menyadari Nesha meniru kalimatnya di pertemua pertama mereka. Perlahan dia berdiri seraya memasukkan ponsel ke saku lalu berjalan menghampiri Nesha.
Ezio menatap Nesha dari atas ke bawah dengan ekspresi menilai. Kekaguman nampak jelas dalam mata hazelnya. Sejak pertama bertemu, Ezio hanya melihat Nesha dalam balutan kaus atau kemeja dan celana jins. Belum perah melihatnya mengenakan gaun seperti ini. Sungguh, wanita itu jadi semakin memikat. Bahkan ada kesan menggoda dalam diri Nesha, yang bahkan tidak wanita itu sadari.
“Bagaimana? Jangan hanya memandangiku seperti itu. Kau semakin membuatku gugup.” Bibir Nesha mengerucut kesal.
Ezio berdiri tepat di hadapan Nesha, memperhatikan wajah wanita itu yang memerah lebih lama. “Sangat cantik.”
Nesha menahan senyum malu layaknya remaja di hadapan kekasih pertamanya. “Terima kasih.”
“Maksudku gaunnya.”
Seketika senyum malu Nesha pudar. Kesal, dia meninju lengan atas Ezio yang terasa keras.
Ezio tertawa geli melihat raut wajah Nesha. “Aku tidak bercanda. Gaunnya memang cantik.”
“Kalau begitu beli saja gaun ini lalu kau kenakan sendiri,” ujar Nesha ketus.
“Sayangnya aku tidak bisa menikmati kecantikannya jika kukenakan sendiri. Jadi untukmu saja.” Ezio masih tertawa geli.
Nesha menghentakkan kaki seraya berbalik hendak meninggalkan Ezio namun Ezio memegang lembut lengan Nesha. Perlahan lelaki itu mendekat hingga tubuh bagian belakang Nesha menempel di tubuh bagian depan Ezio.
“Beli gaun ini tapi kenakan saat makan malam denganku,” ujar Ezio lembut.
Jantung Nesha mulai berdebar cepat. Dia semakin gugup, namun hatinya berbunga-bunga mendapat ajakan itu. “Makan malam? Kapan kau mengajakku makan malam?” Nesha berusaha agar suaranya terdengar tetap tenang.
“Sekarang aku mengajakmu.”
“Itu lebih terdengar seperti perintah.”
Ezio menahan senyum seraya memaksa otaknya menemukan kata-kata ajakan yang tepat. Sungguh, sebenarnya dia juga gugup. “Hmm, maukah kau pergi makan malam denganku akhir pekan depan?”
“Akhir pekan depan?”
Kenapa pekan depan? Kenapa tidak malam ini saja? Sisi liar Nesha mulai mengeluh.
“Iya. Apa kau sudah memiliki rencana?” Ada perasaan kecewa dalam hati Ezio. Dia benar-benar ingin mengajak Nesha kencan makan malam saat akhir pekan. Tentu saja tidak mungkin malam ini karena wanita itu sudah memiliki rencana dengan kakaknya.
“Sama sekali tidak.”
Senyum Ezio merekah. “Jadi, kau tidak keberatan makan malam denganku, kan?”
“Kedengarannya menyenangkan.”
“Aku akan menjemputmu dan jangan lupa kenakan gaun ini.”
Nesha mengangguk malu-malu tapi kemudian dia tersentak kaget saat menyadari sesuatu. “Lalu untuk acara nanti malam, aku harus mengenakan apa?”
Ezio mundur menjauh dari Nesha agar otaknya bisa berpikir jernih. “Kurasa, gaun hijau emerald yang tadi kau tunjuk sangat cocok. Kau harus mencobanya dulu.”
Nesha berbalik lagi sambil menunjukkan wajah merengut melihat Ezio dengan santai kembali duduk di sofa panjang. “Bilang saja kau senang melihatku mencoba gaun-gaun itu.”
“Memang.” Ezio nyengir. “Aku bahkan berencana membelikanmu beberapa gaun.”
“Aku tidak akan mengenakannya,” ketus Nesha seraya menghentakkan kaki lalu berbalik, meninggalkan Ezio yang terkekeh geli.
***
Gavin dan Mark tertegun melihat Nesha turun dari lantai dua dengan gaun hijau emerald yang membuatnya tampak begitu menawan. Dia terlihat sangat berkelas dan anggun. Benar-benar memukau dan pasti mengundang decak kagum dari semua orang yang melihatnya.
“Astaga, kau yakin akan membiarkan Nesha keluar seperti itu?” bisik Mark pada Gavin.
“Apa maksudmu?”
“Kau belum mengikatnya. Bisa-bisa dia direbut lelaki lain.”
Gavin melirik Mark kesal. “Berhenti bicara omong kosong.” Setelahnya Gavin hendak berbalik, namun langkahnya terhenti mendengar suara lembut Nesha.
“Gavin. Aku perlu bicara denganmu.”
“Ehm, aku akan menunggu di luar.” Mark segera menyingkir tapi masih menyempatkan diri menepuk bahu Gavin lalu mengacungkan ibu jari untuk menyemangatinya. Tentu saja gerakan itu hanya Gavin yang melihat.
Gavin melotot kesal ke arah Mark, tapi diam-diam menelan ludah. Sungguh, jantungnya sekarang bergemuruh. Melihat Nesha tampak sangat cantik dalam balutan gaun itu saja sudah berhasil membuat napas Gavin tercekat. Apalagi kini dirinya ditinggalkan berduaan dengan wanita itu. Dia jadi tidak mempercayai dirinya sendiri untuk menahan diri agar tidak menyergap Nesha saat ini juga dan membiarkan Mark pergi makan malam dengan Presiden seorang diri.
Sementara itu Nesha menghela napas sebelum melangkah lebih dekat ke arah Gavin lalu berdiri di hadapannya. “Aku minta maaf.”
Maaf? Kening Gavin berkerut. Maaf untuk apa? Mungkinkah Nesha sudah tahu perasaannya dan wanita itu hendak menolak Gavin bahkan sebelum dirinya menyatakan perasaan? Apa karena lelaki itu?
Sial!
“Kau tidak perlu minta maaf,” ujarnya datar lalu berniat melewati Nesha, keluar dari ruang tamu rumah yang mendadak terasa sempit.
Buru-buru Nesha memegang lengan Gavin. “Gavin, kumohon. Aku tidak bermaksud melakukan itu. Ada seseorang—”
“Terserah!” mendadak Gavin berseru. “Aku tidak peduli siapa orang itu dan apa hubungan kalian. Jadi jangan bahas apapun. Kita sudah terlambat.” Gavin menyentak lengannya hingga terlepas dari cengkeraman Nesha lalu bergegas keluar rumah.
“Hubungan?” Nesha bergumam tidak mengerti. Buru-buru dia menyusul Gavin yang sudah berdiri di samping Mark. “Aku tidak mengerti maksudmu, Gavin. Hubungan apa? Aku hendak minta maaf karena membentakmu beberapa hari lalu. Aku marah pada orang lain tapi melampiaskannya padamu dan Mark. Aku sudah minta maaf pada Mark dan sekarang aku minta maaf padamu.”
Gavin membeku di tempat sementara Mark nyaris menyemburkan tawa gelinya. Meski tidak tahu apa yang tadi kedua orang itu bicarakan, Mark bisa menebak bahwa Gavin salah paham. Dan pasti ini berhubungan dengan kecemburuan yang berusaha Gavin tutupi.
“Apa aku tidak bisa dimaafkan?” tanya Nesha dengan nada sedih.
Perlahan Gavin menoleh lalu melayangkan tatapan membunuh ke arah Mark. Andai matanya bisa mengeluarkan sinar laser, Gavin pasti akan melompat gembira melihat Mark terbujur kaku bersimbah darah di hadapannya.
“Gavin.” Nada Nesha berubah memohon sekaligus mendesak.
Gavin berusaha menekan perasaan malunya karena salah paham lalu berbalik menghadap Nesha yang menatapnya dengan ekspresi memelas. “Jangan khawatir, aku sudah memaafkanmu. Dan aku juga minta maaf. Tadi aku merasa kesal lalu tanpa sadar malah melampiaskannya padamu.”
“Sungguh?” wajah Nesha mulai berbinar.
Gavin mengangguk pelan. Tapi kemudian dia terbelalak melihat Nesha mendadak memeluknya erat.
“Terima kasih.”
Gavin mendesah, sadar betul Nesha hanya menganggapnya sebatas sahabat. Dan mungkin juga—seorang kakak. “Sama-sama.”
***
Perjalanan menuju gedung putih tempat diadakannya jamuan makan malam tidak sesederhana orang biasa. Mereka masih harus berganti mobil, menggunakan jalan memutar, dan mendapat pengawalan khusus menuju tempat jamuan. Hal itu diperlukan untuk menyamarkan keberadaan mereka dari siapapun yang mencoba mencari tahu siapa mereka bertiga sebenarnya.
Tiba di gedung putih, mereka masih harus melewati prosedur keamanan seperti biasa. Setelahnya mereka langsung dipersilakan menuju ruang makan.
“Kita benar-benar terlihat seperti orang penting,” Mark berbisik dengan nada geli. Bagaimana tidak? Di belakang mereka ada banyak agen dengan setelan jas serba hitam yang bertugas mengawal.
“Kita memang orang penting, Mark. Iya kan, Gavin?” Nesha yang berada di tengah juga menahan senyum geli.
Gavin hanya mengangkat bahu sebagai tanggapan.
Tak lama kemudian, mereka telah sampai di ruang makan megah di mana Presiden tengah menunggu. Namun langkah Nesha langsung membeku seketika, melihat mata amber yang tampak begitu familiar balas menatapnya.
Aku janji lain kali kita akan bertemu lagi.
Sialan!
---------------------
♥ Aya Emily ♥