Tiga Belas

2088 Kata
Selasa (00.21), 01 Juni 2021 ----------------------- Nesha bergerak-gerak gelisah, sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Bayangan Agam mengusik benaknya, membuat beberapa kali ia tersenyum dengan d**a berdebar. Nesha berbaring miring sambil memeluk gulingnya erat. Otaknya masih memutar kebersamaan dengan Agam sore tadi. Lelaki itu terlihat sangat manis saat mengambil alih menuntun motor Nesha. Sayang dia tidak mau mampir karena masih ada pekerjaan. Itu juga alasannya menutup café lebih awal. Beruntung Nesha sempat bertemu dengannya sebelum dia keluar rumah. Di pertemuan pertama, Agam berhasil memesona Nesha. Di pertemua kedua, sepertinya dia telah membuat Nesha mabuk akan dirinya. Pasti lelaki bermata hazel itu menyebarkan virus berbahaya melalui tatapannya yang langsung menyerang otak Nesha. Lihat saja, kemarahan Nesha yang sudah berlangsung selama lima hari tiba-tiba menguap hanya karena bertemu dengan Agam. Nesha bahkan melupakan bahwa dirinya telah menganggap café milik Agam adalah café sialan yang menjadi penyebab Nesha kehilangan banyak foto dan harga dirinya. Karena terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, Nesha tidak sadar saat Mark masuk ke kamarnya. Nesha baru menyadari keberadaan Mark saat lelaki itu telah masuk ke balik selimutnya lalu memeluk Nesha dari belakang. Seperti yang kerap kali ia lakukan sejak melihat sendiri bagaimana Nesha histeris saat tengah malam ketika tidur seorang diri. “Kupikir kau sudah tidur,” gumam Mark dengan nada mengantuk. Mark memang tipe lelaki yang tidak suka berada di ranjang sebelum waktu tidur dan kantuk menyerangnya. Dia mudah terlelap begitu kepalanya menyentuh bantal. Karena itu pekerjaan Mark pasti terbengkalai jika ia berada di ranjang sebelum waktu tidur. Beruntung Nesha sama sekali tidak kesulitan untuk tidur. Dia hanya sedikit mengalami masalah setelah tidur sekitar satu atau dua jam dan menyadari bahwa dirinya seorang diri. Jadi dia tidak perlu mengganggu pekerjaan Mark. Dia akan tidur lebih dulu, beberapa jam kemudian Mark pasti sudah di sampingnya dan membuat Nesha tenang. “Belum.” Nesha hanya menjawab singkat, tidak berniat menceritakan tentang tetangga baru yang mengusik hatinya. Mungkin jika Simon yang ada di belakang Nesha saat ini, pasti Nesha tidak akan ragu untuk menceritakan apa yang dialaminya. “Cepatlah tidur. Besok kita harus menghadiri acara penting.” “Acara apa?” “Jangan bilang kau lupa kalau kita mendapat undangan makan malam dari Pak Presiden.” Nesha menepuk keningnya. “Aku benar-benar lupa.” Mark berdecak. “Apa kau sudah membeli gaun untuk acara itu?” “Haruskah aku memakai gaun?” Nesha meringis, sadar dirinya pasti membuat Mark kesal. “Aku janji akan membakar semua pakaianmu kalau kau berani datang memenuhi undangan Presiden dengan celana jins sobek.” Nesha merengut. Dia tahu Mark serius dengan ucapannya. “Baiklah, besok aku akan beli gaun.” “Bagus. Sekarang tidurlah!” Nesha menggeser posisinya agar lebih nyaman lalu memejamkan mata. Otaknya mulai menghitung domba, berharap cara itu benar-benar ampuh mengatasi kondisinya yang sulit tidur. *** Pagi menjelang, Ezio menikmati secangkir kopi di balkon rumahnya sambil memperhatikan rumah Nesha. Sayang sekali rumah itu berada di samping kediaman Ezio, bukannya di seberang. Dia jadi kesulitan memperhatikan kehidupan di sana. Ditambah lagi ada satu rumah yang menjadi penghalang. Ezio yang semula membungkuk santai dengan lengan bertumpu pada pagar balkon mendadak menegakkan punggung. Keningnya berkerut melihat dua orang lelaki keluar dari rumah itu. Tidak mungkin Ayah atau Paman Nesha, karena mereka tampak seumuran dirinya. Kedua lelaki itu keluar sambil membawa kardus besar lalu meletakkan kedua kardus itu di trotoar depan pagar rumah. Kemudian keduanya masuk kembali. Yang satu tampak membuka pagar lebih lebar. Tak lama kemudian, sebuah mobil SUV hitam keluar dari rumah lalu berhenti tepat di dekat kedua kardus berada. Ezio terus diam memperhatikan, penasaran siapa kedua lelaki itu dan sedang apa mereka. Tidak sampai tiga menit, salah satu lelaki keluar dari balik kemudi mobil lalu memindahkan kardus besar itu ke dalam mobil. Ketika dia hendak memindahkan kardus kedua, lelaki yang satu lagi datang sambil membawa kardus lain. Di belakangnya tampak Nesha yang juga membawa sebuah kardus, namun ukurannya jauh lebih kecil. Ketiga orang itu tampak berbincang akrab seraya memindahkan semua kardus. Setelah selesai, salah satu lelaki langsung masuk kembali ke balik kemudi mobil sementara yang lain masih tampak berbincang dengan Nesha. Dia terlihat menasihati Nesha sesuatu hingga Nesha mengangguk-angguk. Setelahnya lelaki itu mengacak rambut Nesha dengan penuh sayang lalu turut masuk ke mobil. Tak sadar, Ezio memegang cangkir kopi dengan kuat hingga urat-uratnya bertonjolan. Perasaan aneh merambati hatinya. Seperti tidak nyaman, kesal, marah hingga rasanya dia ingin memukul sesuatu. Astaga, ada apa dengan dirinya? Ezio sendiri tidak mengerti apa yang terjadi pada hatinya. Di pertemua pertama, Ezio memang tertarik pada Nesha. Setelah mengetahui bahwa Nesha adalah orang yang sempat meretas wifi café, Ezio merasa kagum dan penasaran terhadap wanita itu. Perasaan Ezio semakin terasa aneh saat Nesha berdiri di balkon rumahnya. Cara bicara dan sikap tubuh wanita itu sangat memikat, membuat Ezio tidak bosan memperhatikannya. Tidak mau hanya berdiam diri saja dan membiarkan perasaannya kian kacau, Ezio kembali ke dalam rumah hanya untuk meletakkan secara asal cangkir kopinya di meja pertama yang ia temui. Setelahnya dia bergegas keluar melalui balkon rumah, membiarkan pintu tidak terkunci. Setengah berlari Ezio menuju rumah Nesha. Dia beruntung wanita itu belum masuk ke dalam rumah, tampak menyiram tanaman bunga di halaman. Hampir lima menit lamanya Ezio hanya berdiri di luar pagar setinggi dadanya. Dia memperhatikan Nesha lekat, menikmati gerak-geriknya. Saat ini wanita itu tengah membelakangi Ezio, memberi Ezio pemandangan indah tubuh bagian belakangnya yang dibalut jins ketat dan kaus longgar. Sementara rambut panjangnya dikuncir kuda. “Ehem, permisi tetangga!” Nesha menegang sejenak mendengar suara itu. Bukan kaget karena suara itu terdengar tiba-tiba. Melainkan kaget karena ia mengenali suara itu. Suara dalam dan seksi yang mengganggu tidurnya semalam. Astaga, kenapa harus sekarang? Dirinya belum mandi dan hanya mengikat rambutnya secara asal begitu bangun tidur. “Apa aku mengganggu?” Ezio bertanya, sedikit resah karena Nesha tidak langsung berbalik. Apa wanita itu tidak suka dirinya datang? Nesha berusaha menahan debar jantungnya lalu melempar selang air dengan asal ke rumput hias. Sejenak dia menghapus titik keringat di wajah dengan punggung tangan lalu berbalik. “Oh, hai!” Nesha tersenyum ragu. Demi Tuhan! Agam terlihat luar biasa tampan dengan celana selutut dan kemeja lengan pendek yang dilipat, memamerkan lengannya yang berotot. Rambutnya juga tampak basah, menegaskan bahwa dia sudah mandi. Sementara dirinya— “Apa aku datang di saat yang tidak tepat?” tanya Ezio. Dia sadar betul Nesha hanya setengah hati menerima kedatangannya. “Ya! Ah, tidak! Maksudku—” Nesha mendesah. Kedua tangannya saling meremas. “Aku belum mandi.” Akhirnya dia memilih jujur seraya meringis malu. Ezio terkekeh, lega bahwa Nesha bukan menolak kedatangannya karena merasa terganggu. “Benarkah? Belum mandi saja kau terlihat cantik begini, apalagi setelah mandi.” “Dasar perayu.” Nesha tertawa kecil seraya membuka pagar. “Kau beruntung kata-katamu berhasil membuatku senang. Jadi, silakan masuk.” “Kau mengizinkanku masuk tanpa penasaran apa tujuanku?” Ezio menggoda Nesha seraya masuk lalu mengikuti wanita itu menuju rumah. “Kupikir kau merindukanku.” Nesha balas menggoda. Tepat sekali. “Sebenarnya aku ingin meminjam gula.” Ezio mengelak, mencoba membuat lelucon. “Gula?” Nesha tersenyum geli. “Apa tidak ada alasan yang lebih baik? Kau punya café. Tidak mungkin kau kehabisan gula.” “Ah, benar juga.” Ezio memasukkan kedua tangan ke saku celana dengan ekspresi seolah berpikir keras. “Kalau begitu aku ingin menumpang sarapan.” “Apa di café—” “Aku diajarkan bahwa tanaman juga akan mati jika kebanyakan air, bukan hanya karena kering.” Nesha berhenti di beranda rumah lalu berbalik menatap Ezio yang berada tepat di belakangnya. Ekspresinya menunjukkan bahwa dia tidak mengerti maksud kata-kata lelaki itu. “Atau kau ingin membuat kolam di halaman.” Kali ini Ezio berkata seraya menunjuk selang air yang masih mengalir dan tergeletak di atas rumput. Seketika Nesha terbelalak. Buru-buru dia mematikan kran lalu memperhatikan lebih seksama halaman yang kini becek dengan ekspresi ngeri. Oh, tidak! Gavin pasti membunuhnya! “Jangan khawatir. Besok siang pasti sudah kering.” Ezio menenangkan. Nesha berjalan kembali ke tempat Ezio berdiri dengan langkah lesu. “Gavin pasti murka melihat itu.” “Gavin?” tanya Ezio seraya membuntuti Nesha ke dalam rumah. Tepat di sebelah ruang tamu, ada sebuah ruangan yang pintunya dibiarkan terbuka. Tampak ada banyak barang-barang elektronik di sana, terutama ponsel dan laptop. “Dia Kakakku. Di sini aku tinggal bersama Kakakku dan sahabat baiknya, Mark.” Ezio mengangguk, teringat dua lelaki tadi. Pasti mereka yang bernama Gavin dan Mark. “Lalu orang tuamu?” Nesha membeku sejenak lalu segera melanjutkan langkah menuju dapur. Tiap ditanya orang tua, pasti ingatan Nesha melayang pada saat dirinya masih enam tahun dan ditinggalkan. “Sepertinya kau tidak suka membicarakan orang tuamu.” Komentar Ezio begitu mereka berada di dapur. “Aku punya kenangan pahit mengenai mereka.” Nesha mengangkat bahu pura-pura tak acuh seraya menunjuk kursi di depan pantri. “Silakan duduk. Aku akan lihat apa masih ada sisa makanan untukmu.” Nesha mengedipkan sebelah mata menggoda Ezio. Ezio masih ingin bertanya, ingin mengenal Nesha lebih jauh. Tapi sepertinya ini bukan saat yang tepat. “Sisa? Kau bercanda, kan?” “Tidak, aku serius.” Nesha nyengir seraya membuka lemari dan kulkas. “Tapi kau beruntung karena tidak ada makanan sisa di sini.” “Suatu kehormatan bisa mencicipi masakanmu.” Nesha terkekeh. “Kau yakin? Gavin dan Mark lebih suka makan makanan basi daripada mencoba masakanku yang menurut mereka mengandung racun. Aku benar-benar payah dalam memasak.” Ezio meringis. “Kita punya banyak kemiripan. Kakakku bilang lebih menyeramkan melihatku ada di dapur daripada melihat kecelakaan.” Nesha tertawa geli. “Pantas saja kau memilih menjalankan bisnis café. Jadi kau tidak perlu memasak sendiri dan menghabiskan banyak uang untuk beli makanan tiap hari.” “Benar sekali.” Lalu keduanya tertawa bersama. “Bagaimana kalau secangkir kopi sebagai pengganti sarapan?” Nesha menawarkan setelah tawa mereka reda. Ezio menggeleng. “Aku sudah minum kopi tadi. Apa kau tidak bekerja hari ini?” “Ini akhir pekan. Aku libur.” “Kalau begitu, jalan-jalan denganku sebagai pengganti sarapan?” Nesha menahan senyum. “Aku hanya ingin memastikan, apa itu ajakan kencan?” Ezio menggaruk tengkuknya malu. “Sebenarnya, ya.” “Dengan senang hati. Itupun kalau kau tidak keberatan menungguku mandi dan sedikit berdandan.” Ezio ternganga, tidak menyangka Nesha akan langsung setuju. “Kau mau?” tanyanya dengan senyum merekah. “Kau berharap aku menolak?” goda Nesha. “Tidak!” buru-buru Ezio menggeleng. “Aku akan menunggu selama yang kau butuhkan.” “Baiklah. Kau bisa  menunggu di ruang tengah. Ada TV di sana agar kau tidak bosan.” “Jangan khawatir. Aku akan anggap rumah ini rumah sendiri.” Ezio tersenyum lebar. Nesha terkekeh. “Silakan.” Lalu dia keluar dari dapur menuju kamarnya. Ezio memperhatikan lebih seksama dapur Nesha. Tampak bersih dan terawat. Lalu dia keluar menuju ruang tengah yang tadi ia lewati bersama Nesha saat hendak menuju dapur. Tatapannya kembali memperhatikan sekeliling. Tidak ada foto atau apapun yang bersifat pribadi di ruangan itu. Semua hanya barang-barang umum yang biasa ada di sebuah ruangan. Lukisan pemandangan, bunga dan vasnya, serta miniatur kendaraan umum untuk mempercantik. Sejak masuk ke rumah itu, yang menarik perhatian Ezio hanya ruangan di sebelah ruang tamu. Ada banyak komputer di sana, yang mengingatkan Ezio bahwa Nesha adalah seorang peretas. Meski kesan pertama menunjukkan bahwa Nesha adalah peretas yang kemampuannya lumayan, tapi Ezio belum bisa menebak apa Nesha hanya menggunakan kemampuannya untuk bermain-main atau memanfaatkannya untuk tujuan tertentu seperti yang Ezio lakukan. Menjadi seorang peretas membuat Ezio terbiasa tidak mempercayai siapapun. Tapi kali ini dia tidak bisa menahan diri untuk mempercayai Nesha. Dia berharap Nesha bukanlah seorang peretas seperti dirinya. Karena kalau benar begitu Ezio harus mencari tahu, dia lawan atau kawan. “Apa aku terlalu lama? Aku sudah berusaha cepat.” Nesha turun dari tangga menuju tempat Ezio masih berdiri mematung dengan pandangan menerawang. Ezio berbalik lalu mengulas senyum. Dugaannya benar. Nesha semakin terlihat cantik setelah merapikan diri. Apalagi saat membiarkan rambutnya tergerai seperti saat ini. “Aku tidak punya rok atau gaun. Jadi jangan kecewa dengan penampilanku.” Nesha tampak malu. Dia hanya mengenakan atasan model rompi dan celana jins. “Kau sangat cocok mengenakan apapun. Aku tidak akan pernah kecewa.” “Kau mulai lagi. Tapi, terima kasih.” Nesha tersipu. “Itu mengingatkanku bahwa aku harus mencari gaun untuk acara makan malam nanti.” “Kebetulan sekali. Aku akan membantumu.” Nesha mengangguk senang. Yang tidak dia duga, Ezio mengulurkan lengannya untuk Nesha. Sambil menahan senyum girang, Nesha menyelipkan tangan di lengan Ezio, lalu keduanya berjalan keluar rumah seperti sepasang kekasih. ------------------- ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN