Selasa (00.19), 01 Juni 2021
---------------------
Hari ini Nesha harus mengantar banyak barang dan itu cukup untuk mengalihkan kemarahannya akan peretas b******k yang sudah mencuri darinya.
Ya, pekerjaan Nesha adalah seorang pengantar barang, terutama surat. Dia cukup menyukai pekerjaan itu karena membuatnya bisa menghafal banyak tempat dan mengetahui identitas hampir seluruh masyarakat di New York. Untuk masalah identitas, tentu masih ada campur tangan keahlian Nesha sebagai seorang peretas. Tapi itu jadi lebih mudah karena Nesha sudah memiliki sedikit informasi. Biasanya nama dan alamat rumah.
Tentu saja hal ini berarti Nesha melanggar privasi orang lain, lagi. Tapi ini diperlukan karena pekerjaan Nesha adalah menjaga keamanan. Dia harus memastikan tidak ada orang-orang yang secara diam-diam tengah mengumpulkan kekuatan untuk menimbulkan masalah. Dan kalau beruntung, Nesha bisa menemukan anggota kelompok New World yang tengah menyamar.
Menjelang sore, tersisa satu surat yang harus Nesha antar. Alamat tujuan surat itu tidak jauh dari rumah Nesha, karena itu dia sengaja mengirim terakhir agar bisa langsung pulang setelahnya.
Kening Nesha berkerut saat dia membaca lebih teliti. Surat itu ditujukan untuk café tidak jauh dari kediaman Nesha. Café sialan tempat Nesha kehilangan fotonya. Yah, sebenarnya bukan cafénya yang sialan. Tapi tetap saja—Nesha kehilangan fotonya akibat wifi di café itu.
“Untuk Mr. Abqari Agam Agler,” ucap Nesha lambat-lambat lalu senyum gelinya timbul. “Hmm, Mr. Triple A. Mungkin dia pemilik baru café itu.”
Tanpa menunggu lagi, Nesha bergegas memacu motor yang selalu ia gunakan bekerja menuju café.
Sesampainya di sana, kening Nesha kembali berkerut melihat café sudah tutup. Padahal biasanya café itu tutup sekitar pukul 05.00 p.m. dan saat ini masih pukul 02.33 p.m. Hm, mungkin hari ini café itu tutup lebih awal daripada biasa.
Akhirnya Nesha memilih menuju kediaman pemilik café di lantai dua. Di samping café, ada sebuah tangga yang langsung menuju balkon lantai dua. Nesha menapaki tangga lalu mengetuk pintu kaca di sana. Butuh empat kali mengetuk hingga terdengar langkah mendekat dari dalam rumah.
Klek.
Nesha sudah bersiap dengan seulas senyum saat mata hazel dan wajah yang tampak tidak asing menyambutnya.
Lelaki tampan yang berdiri di hadapan Nesha juga tampak tertegun sejenak, tapi segera menguasai diri kembali. “Ada yang bisa saya bantu, Miss?”
“Iya, ada surat untuk Anda.” Nesha mengulurkan surat kepada lelaki itu dengan senyum manis di bibir.
Salah satu alis si lelaki bermata hazel yang tak lain adalah Ezio terangkat dan sudut bibirnya melekuk membentuk senyuman. “Ini pertama kalinya aku melihat wanita cantik menjadi pengantar surat.”
“Apa itu masalah?” tanya Nesha, masih dengan senyum manisnya.
Senyum Ezio semakin lebar, membuat Nesha kian terpesona hingga jantungnya berdebar cepat.
“Sama sekali tidak.” Lelaki itu menggeleng, menjawab pertanyaan Nesha tadi. “Tapi sangat menarik dan unik.”
Nesha tidak menanggapi, hanya terus memandang ciptaan Tuhan yang tampak sempurna di hadapannya.
Jujur, Ezio sedikit salah tingkah karena terus diperhatikan Nesha. Tidak biasanya dia merasa seperti itu padahal sudah cukup banyak orang yang memperhatikan dirinya, baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. “Ehm, aku sampai lupa sopan santun. Mari, silakan masuk.” Lelaki itu membuka pintu lebih lebar untuk Nesha.
“Terima kasih, Mr. Triple A.” Nesha berkata setengah melamun.
“Triple A?”
Nesha tersentak lalu nyengir. “Ya, Triple A. Abqari Agam Agler.”
Ezio tersenyum geli. “Agam. Aku lebih suka dipanggil Agam, tanpa embel-embel Mister.” Dalam sekejap, panggilan saya-anda berubah jadi aku-kau. “Dan kalau boleh tahu, siapa namamu?”
“Kau bisa memanggilku Nesha. Tapi, aku lebih suka memanggilmu Triple A.” Senyum Nesha berubah lembut, dengan nada yang nyaris terdengar menggoda. Mungkin ada jiwa jalang dalam diri Nesha hingga dengan berani menggoda lelaki asing. Tapi sungguh, wajahnya terlihat familiar.
“Nesha. Nama yang cantik.” Lalu Ezio meringis. “Panggilan Triple A terdengar mengerikan.” Dia terkekeh. Meski bukan nama aslinya, panggilan Agam terasa lebih masuk akal daripada Triple A.
Nesha mengerucutkan bibir, pura-pura tersinggung. “Sayang sekali, padahal aku benar-benar menyukainya.”
Ezio tidak pernah merasakan ketertarikan seperti ini terhadap lawan jenis sebelumnya. Ternyata wanita yang telah mencuri perhatiannya sejak pertemuan pertama, kini semakin memikat di mata Ezio. Selain cukup mempesona secara fisik, kepribadian wanita ini juga menggugah rasa ingin tahu Ezio. Semakin berbincang dengannya, semakin Ezio penasaran untuk mengenalnya lebih jauh.
Pelan, Ezio mengambil dua langkah mendekat, membuat tubuh bagian depan mereka nyaris bersentuhan. Ini memang tindakan yang terbilang buru-buru mengingat mereka hanya pernah dua kali bertemu. Pertemuan di dunia maya tentu tidak masuk hitungan. Tapi Ezio benar-benar tidak bisa menahan diri.
Sengaja Ezio sedikit membungkuk hingga bibirnya tepat berada di samping telinga Nesha. “Bolehkah aku menyogokmu dengan secangkir cokelat hangat agar kau bersedia mengubah panggilan aneh itu?”
Nesha membeku merasakan hembusan napas hangat yang menyapu telinganya. Debar jantungnya yang memang sedari tadi lebih cepat dari biasa, kini semakin bertalu-talu hingga menyesakkan d**a.
Mendadak seluruh indera Nesha hanya berpusat pada pemilik mata hazel yang berdiri begitu dekat dengannya itu. Bahkan dia sengaja menghirup napas lebih lama dan dalam, karena udara di sekitarnya menyatu dengan aroma maskulin Ezio. Terasa nikmat dan memabukkan.
Astaga, ada apa dengan dirinya? Sepertinya Nesha memiliki reaksi aneh tiap kali bertemu dengan lelaki bermata hazel.
Hah, bermata hazel?
Seketika Nesha seolah tersadar. Dia mundur selangkah, membuat jarak antara dirinya dan Ezio agar bisa memperhatikan wajah lelaki itu lebih seksama.
“Kau—bukankah kau lelaki yang beberapa hari lalu sempat menolongku?”
Kening Ezio berkerut, pura-pura berpikir. “Menolong bagaimana?”
“Menolongku saat nyaris tertabrak. Kau juga sempat berkata bahwa aku menatapmu dengan lapar dan liur menetes.” Nesha mengerucutkan bibir antara kesal dan malu saat mengingat kejadian itu.
Ezio terkekeh. “Ah, jadi kau wanita yang hendak bunuh diri itu?”
“Aku tidak berniat bunuh diri.”
“Oh, jadi kau sedang mempraktikkan ilmu tertentu?” Ezio tersenyum geli.
“Lupakan!” ketus Nesha. “Apa tawaranmu tadi masih berlaku, Mr. Triple A?”
“Segelas cokelat hangat? Tentu saja. Asal sebut namaku dengan benar.”
“Senang bisa bertamu ke rumahmu, Mr. Agam.”
“Tanpa Mister.” Ezio tersenyum seraya mundur, memberi jalan bagi Nesha masuk ke rumahnya lalu menutup pintu di belakang Nesha. “Maaf, rumahku sedikit berantakan. Kalau aku tahu ada wanita cantik yang hendak berkunjung, aku pasti menyempatkan diri untuk beres-beres.”
Nesha menoleh dengan senyum merekah seraya melepas jaket dengan logo perusahaan jasa pengiriman tempatnya bekerja. “Apa Anda sedang merayuku, Mr. Triple A?”
Ezio meringis. “Anggap saja begitu. Aku benar-benar hanya akan menemanimu berbincang kalau kau tidak berhenti menggunakan panggilan aneh itu.” dia melempar surat di tangannya ke meja pajangan di sisi dinding lalu meraih jaket di tangan Nesha. “Biar kusimpan.”
Nesha terkikik geli. “Kau mudah merajuk, rupanya.” Perhatiannya fokus pada tubuh bagian belakang Ezio yang sedang berjalan menuju gantungan mantel di sudut ruangan.
Lelaki itu terlihat amat jantan di mata Nesha. Bahunya lebar, dadanya tampak keras di balik kaus yang ia kenakan, dan pinggangnya ramping. Otak Nesha yang liar mulai membayangkan dirinya melingkarkan lengan di pinggang Ezio sementara kepalanya rebah di d**a lelaki itu. Pasti sangat nyaman.
Begitu sadar akan apa yang baru saja ia pikirkan, Nesha meringis seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Meski tumbuh besar di antara lelaki-lelaki gagah nan tampan, namun ini pertama kalinya Nesha merasakan ketertarikan fisik pada lawan jenis. Yah, semasa sekolah beberapa kali Nesha sempat berpikir menyukai teman sekolahnya. Tapi hanya sebatas itu. Sekedar suka dan salah tingkah di dekat pemuda yang disukainya. Tapi tidak pernah berpikir macam-macam apalagi liar seperti ini.
“Mengenai nama, anggap saja aku sedikit sensitif.” Ezio kembali menghampiri Nesha lalu menunjuk sofa. “Silakan duduk. Aku akan membuatkanmu minuman yang kujanjikan.”
Tanpa menunggu lagi, Nesha duduk di sofa panjang yang tadi ditunjuk Ezio. Dia pura-pura menatap sekeliling, tapi begitu Ezio membelakanginya untuk menuju dapur, Nesha kembali memuaskan penglihatannya akan fisik lelaki bermata hazel itu.
Sepertinya Nesha tidak akan bosan meski harus memandangi sosok setengah dewa itu sepanjang hari.
Baiklah, sedikit berlebihan mengatakan Ezio setengah dewa karena Nesha sendiri tidak tahu seperti apa rupa dewa. Tapi untuk menggambarkan betapa tampan lelaki itu, Nesha rasa kata-kata ‘setengah dewa’ sangat tepat.
Beberapa menit kemudian, Ezio kembali dengan secangkir cokelat yang menguarkan aroma lezat. “Maaf, membuatmu menunggu lama.”
“Tidak juga.” Nesha masih memperhatikan Ezio yang meletakkan cangkir di meja lalu duduk di sebelahnya. “Tampaknya kau mendekorasi ulang tempat ini.”
“Apa kau pernah ke sini sebelumnya?”
“Ya, beberapa kali. Pemiliknya yang lama lumayan ramah padaku.”
Ezio menahan senyum. “Itu artinya dia normal. Hanya lelaki tidak waras yang tidak tertarik pada wanita cantik.”
“Ah, kau mulai lagi.”
“Aku serius.”
Lalu keduanya sama-sama tertawa geli.
“Apa kau sering makan di café? Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya.” Ezio bertanya setelah tawa mereka reda.
“Aku suka makan siang di café saat libur. Biasanya Kath menemaniku.”
“Kau bahkan kenal dengan Kath.” Ezio pura-pura takjub, padahal dia sudah pernah melihat sendiri Nesha makan siang dengan pegawainya itu.
“Ya, karena tempat tinggalku tidak jauh dari sini. Malah akan aneh kalau aku tidak pernah ke café ini dan kenal dengan pemiliknya.”
“Benarkah?” kali ini ekspresi tidak percaya di wajah Ezio bukan sekedar pura-pura. Dia sama sekali tidak tahu bahwa wanita yang telah meretas jaringan wifi cafenya tinggal tidak jauh. Sebelumnya Ezio pikir Nesha hanya orang yang bermain di sekitar café untuk menguji kemampuannya.
Nesha mengangguk, menjawab pertanyaan Ezio tadi.
“Kalau begitu izinkan aku mengantarmu pulang.”
Nesha tertawa kecil. “Rumahku hanya beberapa langkah dari sini.”
“Aku pendatang baru. Apa salahnya mengakrabkan diri dengan tetangga?”
“Ah, benar juga.”
Keduanya pun tenggelam dalam percakapan tak tentu arah. Mereka merasa nyaman satu sama lain meski baru saling mengenal. Seolah ada magnet di antara keduanya yang membuat mereka ingin terus saling dekat, berbincang akrab, dan berbagi tawa.
--------------------
♥ Aya Emily ♥