Sebelas

1799 Kata
Selasa (00.16), 01 Juni 2021 -------------------- Nesha berjalan tergesa menuju café di sebelah yang hanya dipisahkan sebuah rumah milik sepasang suami istri lanjut usia yang tidak dikaruniai anak. Begitu sampai, Nesha berjalan dengan punggung tegak dan dagu terangkat, sengaja menampakkan wajah agar peretas tadi langsung mengenali dirinya. Ya, Nesha berharap peretas itu sudah melihat foto-fotonya. Jadi Nesha bisa langsung menebak yang mana orang itu dari bahasa tubuhnya. Nesha sengaja memilih tempat duduk yang paling jauh dari pintu masuk. Matanya menatap sekeliling. Tentu bukan hal aneh jika seseorang masuk ke sebuah café lalu pandangannya mencari-cari. Orang lain pasti menduga dia sudah membuat janji temu dengan seseorang di café itu. Namun sampai Nesha tiba di tempat duduk yang dipilihnya, tidak ada seorang pun yang tampak mencurigakan. Bahkan semua pengunjung café yang mengakses wifi hanya menggunakan ponsel pintar. Nesha yakin peretas yang mencuri fotonya tidak hanya menggunakan ponsel. Dia pasti menggunakan laptop atau PC. “Hai, Nesh. Lama kau tidak berkunjung ke sini.” Seorang wanita dengan seragam pelayan di café itu menyapa Nesha. Nesha tersenyum pada wanita yang beberapa tahun lebih tua darinya itu. “Hai, Kath. Aku cukup sibuk beberapa hari ini. Jadi aku hanya fokus pada pekerjaan.” Kath berdecak. “Sesibuk apa sampai kau tidak bisa berjalan beberapa langkah ke sini?” Nesha nyengir. “Aku juga harus hemat uang.” “Memangnya kedua kakakmu tidak mau menyisihkan sedikit uang untukmu? Kulihat bisnis mereka cukup ramai.” Sebelum Nesha menanggapi, Kath buru-buru melanjutkan. “Kau mau makan apa? Biar kuambilkan. Ini juga waktunya aku istirahat makan siang.” Nesha memberitahukan pesanannya. “Baiklah, tunggu sebentar.” Nesha mengangguk. Begitu Kath pergi, pandangan Nesha kembali mencari-cari. Tapi sama seperti tadi, tidak ada yang mencurigakan. Perasaan kesal mulai merambati hati Nesha. Sungguh, dia merasa dipermainkan. Awas saja kalau dia berhasil menemukan siapa pelaku yang telah mencuri fotonya. Nesha yakin orang itu belum pergi dari café ini. Dan pasti sekarang dia sedang mengawasi Nesha sambil tersenyum puas. Brengsek! Beberapa saat kemudian, Kath kembali dengan nampan penuh sajian makan siang untuk mereka berdua. Setelah menata makanan di meja, wanita itu duduk di hadapan Nesha. “Ehm, Nesh. Ngomong-ngomong, apa Gavin masih belum punya kekasih?” Nesha yang hendak menyuapkan makanan ke mulut langsung berhenti. Selama beberapa saat dia seperti masih berusaha mencerna kalimat Kath. “Kau menyukai Gavin?” tanya Nesha kemudian seraya menikmati makanannya yang tadi urung. Memang di daerah itu, Nesha memperkenalkan Gavin sebagai Kakaknya. Sementara Mark, karena fisiknya sangat berbeda jauh dengan fisik Nesha dan Gavin yang memiliki warna kulit kuning langsat dan mata hitam kecokelatan, maka dia memperkenalkan Mark sebagai sahabat Gavin yang sudah ia anggap seperti Kakak kandung. Wajah Kath memerah karena pertanyaan Nesha. “Yah, sudah cukup lama. Tapi aku tidak percaya diri untuk mendekatinya.” Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Kath. Dia cukup cantik dan kepribadiannya juga tidak mengecewakan. Yang bermasalah adalah Gavin. Walau Gavin selalu menaggapi Nesha dan Mark meski dengan sikap menyebalkannya, Nesha tahu sendiri betapa dingin sikapnya pada orang lain. Bahkan jika dia merasa tidak penting, dia tidak akan mau menjawab pertanyaan orang. Itu juga yang membuat Nesha heran mengapa bisnis yang sedang dilakoninya bisa berkembang padahal sikap Gavin sama sekali tidak bagus. Karena itu, Nesha tidak berani menawarkan diri untuk mendekatkan mereka. “Seharusnya kau dekati dia agar kau bisa tahu kepribadiannya. Bukankah selama ini kau hanya melihat Gavin dari jauh?” “Aku benar-benar  gugup dan tidak percaya diri, Nesh.” “Cobalah berteman dulu, jangan langsung ke tahap serius. Aku tidak akan memberitahu apapun mengenai Gavin karena kau sendiri yang harus mencari tahu.” “Tapi bagaimana kalau Gavin langsung menolakku saat aku mencoba berteman dengannya?” Nesha menelan makanan di mulutnya lalu menatap Kath lekat. “Dari situ kau bisa menilai, apa Gavin pantas kau perjuangkan atau lebih baik kau hanya mengaguminya dari jauh dan mencari lelaki lain yang lebih baik untukmu.” Kath diam, memikirkan dengan serius saran Nesha. “Tapi… bagaimana caraku mendekati Gavin?” Nesha mengerutkan kening, mengunyah sekaligus berpikir. “Aku bukan pakar cinta. Tapi kalau hanya cara agar kau bisa berinteraksi dengan Gavin, kurasa aku tahu.” “Apa itu?” tanya Kath antusias. “Kau harus sedikit mengorbankan ponselmu.” Nesha nyengir. Kini giliran Kath yang mengerutkan kening, tidak mengerti maksud Nesha. Tapi lalu dia tersenyum lebar. Kenapa hal itu tidak pernah terpikirkan olehnya? *** Lelaki tampan bermata hazel menahan senyum geli melihat wanita yang ia tolong pagi tadi masuk ke café dengan pandangan mencari-cari. Sayangnya apa yang dia cari berada di balik dinding, mengawasinya melalui kaca satu arah. Sebenarnya, pertemuan dengan wanita itu bukan disengaja. Ezio Dero bahkan tidak kenal siapa wanita cantik bermata hitam kecokelatan itu. Hari ini adalah hari ketiga dia menjalankan bisnis café yang sebelumnya milik pemuda asal Skotlandia yang akhirnya memutuskan pulang ke kampung halaman dan menetap di sana. Cukup menarik karena bisnis semacam ini merupakan hal baru baginya. Tapi juga membosankan, sama sekali tidak ada ketegangan yang memacu adrenalin. Pertemuan dengan wanita itu pagi ini sedikit menghibur bagi Ezio. Namun dia tidak bisa berlama-lama karena dia memiliki janji temu. Dia pikir, dirinya dan wanita itu tidak akan bertemu lagi. Tapi ternyata, semua terjadi di luar dugaannya. Saat dia sedang asyik mengawasi laptop dan ponsel yang mengakses wifi di cafenya, tiba-tiba seorang peretas muncul, berusaha mengakses wifi café secara gratis. Selama beberapa saat, Ezio hanya mengawasi pergerakan peretas itu. Dia cukup kagum dengan kemampuan si peretas karena hanya peretas-peretas profesional yang bisa menyusup masuk ke komputer orang lain tanpa terdeteksi. Dia tampaknya juga menguasai bahasa jaringan dengan nyaris sempurna. Iseng, Ezio mencoba-coba seberapa kuat sistem keamanan di komputer peretas itu. Yakin tidak memiliki celah untuk menerobos masuk, Ezio memilih berpura-pura menjadi seorang hacker newbie atau script kiddies. Dia berencana menerobos masuk dengan cara kasar dan meninggalkan jejak seorang peretas pemula. Tapi di luar dugaan, peretas itu malah mengendorkan sistem keamanannya. Sepertinya dia cukup sombong hingga berani menyepelekan peretas lain, bahkan seorang script kiddies sekalipun. Dan, voila! Ezio berhasil masuk. Selama sepersekian detik dia langsung membuat keputusan apa yang akan dia lakukan sebelum peretas itu menyadari kemampuannya yang sesungguhnya. Ezio membaca cepat semua folder utama lalu mengambil sebuah folder yang paling menarik perhatiannya. Ya, folder foto. Ezio suka mengetahui wajah orang yang menjadi lawannya di dunia maya. Sementara orang itu tidak tahu wajahnya. Namun sayang, Ezio hanya sempat mengambil sedikit isi folder karena peretas itu langsung mengetahui tujuannya lalu memutus jaringan internet. Bahkan sebelum dia sempat menyisipkan malware ke dalam komputer itu. Namun yang paling menarik dari semua itu, Ezio langsung mengenali sosok wanita dalam foto. Dia sempat mengira, mungkin wanita dalam foto adalah orang spesial bagi si peretas hingga peretas itu menyimpan banyak fotonya. Tapi setelah wanita itu datang ke café dengan pandangan mencari, Ezio semakin yakin bahwa wanita itu adalah peretas yang tadi berhadapan dengannya. Dan itu artinya, hidup di kota ini tidak semembosankan yang ia duga sebelumnya. *** Sudah lima hari sejak file foto Nesha dicuri seorang peretas dan hingga detik ini dia tidak berhasil mengetahui siapa pelakunya. Nesha benar-benar frustasi dan itu membuatnya amat marah. Anehnya, karena terlalu marah Nesha kerap kali langsung tertidur begitu kantuk menyerang dan sama sekali tidak terganggu mimpi buruk. Nesha belum pernah merasa semarah ini. Ah, sebenarnya pernah. Saat ia bertemu dengan lelaki kurang ajar bermata amber. Namun kemarahannya saat itu hanya berlangsung sementara karena tiap kali bertemu si pemilik mata serigala, selalu ada hal besar yang terjadi dalam hidup Nesha. Pertemuan pertama di taman, setelahnya pikiran Nesha tertuju pada rencana untuk menjadi bagian dari The Hackers. Pertemuan kedua di bandara juga. Meski Nesha amat murka, namun itu hanya sementara karena setelahnya tragedi meledaknya pesawat di bandara Changi menyita seluruh perhatian Nesha. Lalu dia masih harus menjalani banyak tes yang membuatnya terpaksa melupakan hal-hal remeh. Tapi sekarang, tidak ada kegiatan atau kejadian luar biasa yang bisa membuat Nesha melupakan pencurian lima hari lalu. Dia sungguh marah dan merasa terhina. Seseorang telah meremehkannya dan mungkin sedang menertawakan dirinya saat ini. Pagi ini, Nesha hendak berangkat kerja tanpa pamit karena terlalu malas berbasa-basi dengan kedua rekannya. Dia sudah hendak melewati pintu depan ketika Mark datang lalu menarik lengannya. Terpaksa Nesha berhenti lalu menoleh, membalas tatapan penuh tanya milik Mark. “Sebenarnya ada apa denganmu akhir-akhir ini? Apa ada sesuatu yang mengganggu?” Nesha mendesah. Dia benar-benar tidak mau menceritakan kejadian memalukan itu. “Aku hanya sedang kesal.” “Iya, aku tahu. Tapi kenapa? Apa kau marah padaku atau Gavin?” “Tidak.” “Lalu apa? Ini tidak adil karena kau juga melampiaskan kekesalanmu pada kami.” “Maafkan aku.” Lagi-lagi Nesha mendesah. “Ada seseorang yang menggangguku. Bukan kalian, tentunya. Aku tidak bisa melampiaskan pada orang itu hingga kemarahan ini serasa menumpuk.” “Kau tidak mau menceritakannya lebih detail?” “Untuk hal ini aku tidak bisa, Mark.” Mark mengangguk paham. Sedekat apapun mereka, akan selalu ada hal-hal yang tidak bisa mereka bagi. “Tidak masalah. Tapi jangan lampiaskan pada kami amarahmu itu. Kau membuatku takut. Bahkan Gavin juga.” Seketika, tawa Nesha menyembur. “Gavin? Takut padaku? Apa kau bercanda?” “Aku serius. Kaupikir kenapa beberapa hari ini kau jarang berpapasan secara langsung dengan Gavin? Itu karena dia menghindarimu setelah kejadian kau membentaknya dua hari lalu.” Mark juga tidak bisa menahan tawa gelinya. Saat itu Gavin menegur Nesha karena membuat kotor meja makan. Nesha yang biasanya hanya membalas dengan mencibir Gavin, tiba-tiba berdiri lalu membentak Gavin. Mark juga sampai tersentak kaget mendengar bentakan Nesha yang lebih menyerupai teriakan. Setelahnya Nesha masih mengumpati Gavin dengan semua kata-k********r yang ia kuasai dalam bahasa inggris dan indonesia, kemudian pergi meninggalkan ruang makan. “Sepertinya aku harus minta maaf padanya.” Nesha meringis. “Kurasa begitu.” Lalu Mark melanjutkan dengan wajah berbinar. “Bagaimana kalau kita pergi ke bar malam ini? Sudah lama kita tidak melakukannya. Atau kemana pun yang kau inginkan yang bisa sedikit meredakan amarahmu. Kau yang pilih.” “Aku ingin pulang ke Indonesia.” Nesha berkata lirih dengan nada sendu. Sebenarnya Nesha tidak berniat mengatakan itu. Dia hanya menyuarakan apa yang tiba-tiba melintas di benaknya saat Mark berkata ‘kemana pun yang kau inginkan’. Mark mendekat, menghapus jarak di antara keduanya. Lalu dia merengkuh Nesha ke dalam pelukan. “Aku juga merindukan keluargaku.” Nesha menahan air mata yang mendadak ingin keluar. Dia tidak boleh cengeng, dia harus kuat. Perlahan Nesha melepaskan diri dari dekapan Mark seraya memaksakan seulas senyum. “Aku bersikap berlebihan hari ini.” Mark membelai rambut Nesha lembut. “Suatu hari nanti kita pasti bisa pulang.” Nesha mengangguk, berusaha meyakinkan diri bahwa ucapan Mark benar adanya meski terasa mustahil. “Kurasa aku tidak ingin kemana pun malam ini.” Nesha menunduk melihat jam tangannya. “Aku harus pergi sekarang. Sampai nanti.” “Sampai nanti.” -------------------- ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN