Selasa (01.40), 01 Juni 2021
-----------------------
“Hai, Kak.”
Senator Leighton mendongak, membalas tatapan mata hazel lelaki di depannya dengan mata ambernya. Selang sepersekian detik, mata sang Senator melebar tidak menyangka bahwa yang datang bukanlah Ben.
“Apa yang kau lakukan di sini?!” nadanya terdengar mengancam. Buru-buru ia berdiri, mengitari meja lalu menghampiri Ezio yang sama sekali tidak terintimidasi sikap dingin Senator Leighton.
“Merindukanmu. Hampir dua bulan kita tidak bertemu.” Senyum di bibir Ezio tidak hilang.
“Aku sama sekali tidak merindukanmu. Pergilah, dan jangan mengunjungiku lagi.” Senator Leighton mendorong bahu Ezio agar berbalik kembali ke jendela namun Ezio bergeming.
“Kak,” mendadak senyum Ezio menghilang dan kini nada suaranya terdengar sedih. “Berhenti terus-menerus melindungiku. Sekarang aku bisa melindungi diriku sendiri.”
“Kalau benar begitu, turuti kata-kataku. Pergi dari negara ini, kalau perlu dari benua ini. Uang yang kuberikan masih ada, kan?”
Senator Leighton menepuk pelan pipi Ezio lalu kembali berusaha mendorong lelaki itu ke jendela. Tapi lagi-lagi Ezio bergeming.
“Aku tidak akan meninggalkanmu.”
“Lalu apa? Kau hanya akan menerima hukuman lagi dari Kakek karena tidak sanggup melaksanakan misi.”
Raut wajah Ezio terlihat semakin sedih. “Maaf karena kau harus menggantikanku menerima hukuman, lagi.”
“Lupakan! Aku baik-baik saja. Sekarang pergilah sebelum ada orang yang melihatmu.”
“Aku tidak akan pergi. Kecuali kau ikut bersamaku.”
“Tidak bisa. Kau tahu bagaimana aku. Aku akan menyelesaikan apa yang sudah kumulai.” Senator Leighton memegang pundak Ezio, kanan dan kiri, seolah hendak menegaskan apa yang akan dia sampaikan. “Pergilah. Hidup yang baik, bangun rumah tangga, atau lakukan apapun yang kau inginkan. Tapi jangan di sini. Jangan berhubungan dengan pemerintahan atau orang-orang kita lagi.”
Sejenak Ezio tidak mengatakan apapun, hanya membalas tatapan mata amber sang Kakak. “Kak Ozzie…”
“Jangan memanggilku dengan nama itu lagi! Sekarang aku adalah Senator Adlan Leighton. Mengerti?”
“Bagiku kau tetap Ozzie Dero.”
“Terserahlah! Sekarang kau pergi dari sini dan jangan pernah kembali.”
Kali ini Senator Adlan Leighton atau Ozzie Dero mendorong Ezio lebih keras hingga lelaki bermata hazel itu terpaksa berbalik. Tapi sebelum Ozzie berhasil mendorong lebih jauh, buru-buru Ezio mengatakan hal yang membuatnya nekat datang ke kediaman sang Senator.
“Aku ingin memperkenalkanmu pada kekasihku.”
DEG.
Gerakan Ozzie langsung berhenti. Dia membeku di tempat dengan ingatan melayang pada ucapan Ben beberapa hari lalu.
Kesempatan itu Ezio gunakan untuk berbalik kembali menghadap sang Kakak. Kini wajahnya berbinar. “Dia baru menjadi kekasihku sekitar tiga hari. Tapi aku tidak sabar ingin memperkenalkanmu padanya.”
Ozzie tercekat, seolah ada tangan tak kasat mata yang tengah mencekik lehernya sekarang.
Dia tidak tahu harus melakukan apa. Di satu sisi kebahagiaan Ezio adalah yang paling utama bagi Ozzie. Tapi ia akui, ada rasa panas di dadanya menyadari bahwa wanita incarannya kini telah menjadi kekasih sang adik. Dan di sisi lain, Ozzie tidak bisa membiarkan Ezio terus berhubungan dengan Nesha tanpa mengetahui kenyataan bahwa wanita itu bisa membuatnya dipenjara. Atau yang lebih buruk lagi, dibunuh Kakek mereka jika si tua itu tahu bahwa Ezio memiliki kekasih seorang anggota The Hackers.
“Kak,” tegur Ezio karena Ozzie tak kunjung bersuara. “Kau bisa meluangkan waktu untuk bertemu dengannya, kan?”
“Tidak, tidak bisa.” Ozzie menggeleng. Setelah menimang sejenak, akhirnya dia memutuskan memberitahu Ezio. “Kau juga sebaiknya jauhi wanita itu.”
“Wanita itu?” kening Ezio berkerut. “Kau berbicara seolah mengenalnya. Padahal namanya saja belum kukatakan.”
Tanpa menanggapi, sang Senator berbalik menuju meja kerjanya. Ia membuka salah satu laci, mengambil selembar foto lalu ia bawa ke hadapan Ezio. “Wanita ini yang kau maksud, kan?” tanya Ozzie seraya menyodorkan foto di tangannya.
Ezio menerima foto itu lalu terbelalak melihat wajah Nesha yang diambil gambarnya secara close-up. Nesha terlihat sangat cantik dalam foto itu. Sepertinya dia tengah berbincang dan tertawa dengan seseorang. Tampak jelas foto itu diambil secara diam-diam.
“Kenapa kau menyimpan foto Nesha?”
“Karena dia adalah salah satu musuh dan tim keamananku secara berkala mengirim foto serta informasi mengenai kegiatannya.” Yah, itu tidak sepenuhnya bohong. Tapi foto-foto terbaik Nesha selalu ia simpan secara terpisah. Termasuk foto yang saat ini masih berada di tangan Ezio.
“Maksudmu?”
“Nesha adalah anggota tim The Hackers. Dan yang lebih buruk lagi, Nesha serta Gavin dan Mark adalah para pemimpin The Hackers. Mereka sengaja bekerja terpisah dari markas pusat The Hackers untuk menghindari kelompok New World. Dan kalau perlu menangkap kelompok New World secara diam-diam.”
Ezio ternganga, tidak percaya bahwa wanita yang disukainya saat ini adalah musuh. “Maksud Kakak, Nesha sengaja mendekatiku untuk tujuan—”
Buru-buru Ozzie menggeleng. “Kurasa tidak. Sepertinya dia juga tidak tahu bahwa kau memiliki hubungan dengan kelompok New World. Jadi segera jauhi dia sebelum dia tahu siapa dirimu.”
Ezio menunduk menatap foto di tangannya lalu kembali mendongak menatap sang Kakak. Terlihat jelas ada keraguan yang nyata dalam sorot mata dan raut wajahnya. “Aku—aku menyukainya. Lebih dari sekedar suka.”
“Tapi bukan cinta. Kau hanya akan sedih selama beberapa saat tapi setelahnya kau pasti akan jatuh cinta pada wanita lain. Jadi turuti kata-kataku. Pergilah!”
Ezio mundur selangkah seraya menggeleng mantap. “Aku tidak akan pergi.”
“Tidak ada pilihan lain.”
“Kenapa aku harus pergi meninggalkan satu-satunya keluargaku dan wanita yang kusukai?”
“Ini demi keselamatanmu!” tegas Ozzie, berusaha membuat Ezio mengerti.
“Kalau sekarang aku pergi, aku tidak akan bisa hidup tenang. Aku akan hidup dalam pelarian dam dihantui kenyataan bahwa Kakakku dan wanita yang kusukai akan sampai pada titik temu dan akhirnya saling membunuh.”
“Lupakan urusan di sini!”
“Aku—tidak bisa.” Ezio mundur lagi. “Aku akan memberitahu Nesha siapa aku sebenarnya.”
“Bodoh!” geram Ozzie seraya menyentak lengan sang adik. “Kau mau bunuh diri, hah?”
“Mungkin sebaiknya begitu.”
“Kau pikir setelah melakukan itu, Nesha akan menatapmu dengan penuh cinta dan menganggapmu pahlawan?” kali ini Ozzie memegang erat bahu sang adik hingga terasa menyakitkan. “Itu tidak akan terjadi. Orang-orangnya akan menyeretmu ke penjara dan akan menyiksamu hingga kau mengatakan semua yang kau tahu tentang kelompok kita. Lalu seperti biasa, kau akan memilih bungkam dan menerima siksaan.”
“Kalau memang begitu akhirnya, kuharap kau bersedia menjaga Nesha.”
PLAK!
Suara tamparan menggema dalam ruangan itu. Setelahnya suasana menjadi hening. Ezio tertunduk, tidak berani lagi menantang mata amber sang Kakak. Sementara Senator Leighton menatap tajam sang adik, lalu perlahan tangannya yang tadi telah melayangkan tamparan perlahan mengepal. Perasaan bersalah mendera hatinya.
Tok tok tok!
“Sir, Anda baik-baik saja di dalam?”
Itu suara penjaga keamanan di kediaman sang Senator. Sepertinya dia tidak sendirian. Mungkin bersama asisten Senator yang selalu setia menunggu di luar ruang kerja saat sang Senator ingin sendirian.
Ozzie menghela napas sejenak sebelum berkata dengan suara agak nyaring agar terdengar keluar ruang kerjanya. “Ya, aku baik-baik saja. Memangnya kenapa?”
“Sepertinya ada suara aneh dari dalam.”
“Aku tidak dengar suara apapun. Pergilah, jangan ganggu aku lagi agar aku bisa segera menyelesaikan pekerjaan.”
“Baik, Sir.”
Selama beberapa saat, Ozzie masih menunggu hingga orang-orangnya benar-benar menjauh. Kemudian ia mendekati Ezio yang masih tertunduk, lalu ia tarik sang adik ke dalam pelukannya.
“Aku sangat menyayangimu. Kau tahu itu, kan?” Ozzie tercekat dan matanya terasa panas. Dia juga sangat merindukan Ezio tapi terpaksa harus mengubur perasaan itu. “Aku ingin kau memiliki kehidupan normal layaknya orang lain. Jangan membuatku terus-menerus cemas memikirkanmu.”
Ezio tidak mengatakan apapun dan hanya membalas pelukan sang Kakak.
Beberapa saat kemudian, Ozzie melepas pelukannya lalu mundur selangkah. Kedua tangannya menangkup pipi kiri dan kanan Ezio lalu mendongakkan wajah sang adik agar membalas tatapannya. Ternyata mata Ezio berkaca-kaca. Bukan karena tamparan sang Kakak. Tapi karena kenyataan dia selalu berada di posisi sulit seperti ini dan selalu tidak berdaya menghadapinya.
“Sudahlah, turuti kata-kataku. Pergi dari sini.” Kali ini sang Senator bicara dengan nada yang lebih lembut.
Tanpa menanggapi, Ezio berbalik memunggungi sang Kakak dengan lesu lalu berjalan menuju jendela. Sekitar tiga langkah dari jendela, lelaki bermata hazel itu berhenti lalu menoleh. “Aku tidak akan pergi, Kak. Aku tidak akan meninggalkanmu ataupun Nesha. Tapi aku masih akan mempertimbangkan hendak memberitahu identitasku atau tidak pada Nesha.”
“Jangan lakukan itu, Ezio. Kumohon.”
Lagi-lagi Ezio tidak menanggapi. Dia berjalan terus menuju jendela lalu melompat keluar menuju gelapnya malam.
Kedua tangan Ozzie mengepal di samping tubuh. Perasaannya campur aduk. Rasanya dia ingin melempar semua barang dalam ruangan ini untuk melampiaskan amarahnya.
Ya, marah adalah perasaan yang paling mendominasi hati Ozzie. Tapi dia sendiri tidak mengerti, marah semacam apa yang dirinya rasakan. Marah karena sang adik tetap keras kepala dan membahayakan diri sendiri ataukah marah karena—cemburu?
***
Apa kau bisa keluar rumah diam-diam tengah malam nanti?
Pesan itu berasal dari Agam. Nesha mengerutkan kening bingung karena tidak biasanya Agam memintanya keluar seperti itu sekaligus merasa antusias, penasaran seperti apa rasanya keluar diam-diam tengah malam hanya untuk menemui sang kekasih.
“Apa ada informasi baru tentang Senator Leighton hari ini?” tanya Mark pada Nesha yang tampak termenung di depan laptopnya sambil salah satu tangan menimang-nimang ponsel.
“Hmm, tidak ada.” Nesha sedang tidak fokus memikirkan sang Senator saat ini karena perhatiannya tertuju pada pesan dari Ezio. “Eh, Mark. Malam ini aku ingin tidur sendirian.”
“Hah?” Mark menatap Nesha dengan sorot tak percaya.
Gavin yang juga duduk di sofa seberang Nesha turut mendongak.
“Yah, kurasa sudah saatnya aku belajar mengatasi rasa takutku. Aku tidak bisa terus-menerus membiarkan masa lalu menghantuiku.” Itu tidak sepenuhnya bohong. Sudah lama Nesha ingin melakukan itu, belajar melawan rasa takutnya. Namun dia selalu menunda. Dan mungkin malam ini adalah kesempatannya mencoba.
Mark mengangguk mengerti. “Ya, kau benar. Tidak selamanya kita akan bersama. Suatu ketika kau bisa saja harus berkumpul bersama orang-orang asing dan menghabiskan malam bersama mereka.” Mark mendesah dengan gaya dramatis. “Tidak semua orang sebaik diriku. Tidak mengambil keuntungan dari kondisimu yang rentan ketika tidur. Bahkan Gavin pun tidak berani tidur bersamamu tiap malam karena takut lepas kendali.”
Gavin melotot ke arah Mark sementara Nesha terkikik geli.
“Kenapa melihatku seperti itu? Memangnya aku salah bicara?” Mark membalas pelototan Gavin dengan sorot geli di matanya, sama sekali tidak merasa gentar atau terintimidasi. Kemudian dia menoleh kembali ke arah Nesha. “Nanti malam kalau kau merasa takut, langsung saja ke kamarku.”
“Jangan khawatir, Mark. Aku tidak akan repot-repot melakukannya. Aku hanya akan berteriak agar kau yang datang.” Nesha nyengir.
“Kamarmu lebih dekat dengan kamarku. Tentu aku yang akan merasa terganggu,” protes Gavin.
Mark berdecak. “Bahkan meski kamarmu ada di halaman depan, jika mendengar Nesha berteriak kau pasti akan berlari menghampirinya lebih dulu.”
“Apa-apaan kau ini! Aku tidak—”
Belum sempat Gavin selesai bicara, tiba-tiba Nesha berdiri lalu duduk di sebelah Gavin. Dengan manja, wanita itu memeluk pinggang Gavin seraya menyandarkan kepala di lekukan bahu lelaki itu, membuatnya melotot dan meringis.
“Meski Mark tidak menjelaskan seperti itu, aku tahu kau memang akan melakukannya. Kalian berdua sangat berarti bagiku seperti seorang kakak. Terima kasih karena telah menjaga dan menemaniku selama tiga tahun ini.”
Mark menahan senyum geli melihat raut wajah Gavin yang tampak tersiksa. Tapi beruntung hal itu tidak lama karena Gavin sudah tampak menyerah dan hendak menyerang Nesha. Wanita itu berdiri seraya berseru, “Waktunya tidur!” kemudian dia pun membenahi laptopnya lalu bergegas ke kamar.
“Nesha benar-benar wanita paling tidak peka yang pernah kukenal.” Mark terkekeh.
“Kau yang aneh. Bagaimana bisa kau tidur tiap malam bersama seorang wanita tapi tidak pernah bernafsu padanya? Aku mulai curiga bahwa kau penyuka sesama jenis.”
Mark pura-pura kaget dengan menutup mulutnya yang terbuka dengan salah satu tangan. “Ah, apa aku ketahuan? Kalau begitu aku jujur saja. Sebenarnya aku lebih bernafsu padamu.” Mark berdiri lalu dengan gaya gemulai mendekati Gavin yang buru-buru menjauh.
“s**t! Kau menjijikkan!”
“Ugh, Gave Sayang. Aku ingin tidur bersamamu malam ini.”
Gavin segera kabur ke kamarnya lalu menutup pintu rapat. Sementara di luar terdengar suara Mark yang terbahak melihat reaksi Gavin.
---------------------
♥ Aya Emily ♥