Selasa (00.42), 01 Juni 2021
---------------------
BRAK!
Nesha memukul meja untuk melampiaskan perasaan frustasi. Sudah tiga hari berlalu namun dirinya maupun Mark dan Gavin belum menemukan sesuatu. Tidak ada yang mencurigakan dari masa lalu dan aktivitas Senator Leighton.
Media sosial hanya ia gunakan untuk kepentingan politik. Sesekali ia juga membalas pesan dari teman-teman semasa sekolahnya. Tapi hanya itu. tidak ada kekasih atau mungkin affair. Dia benar-benar bersih. Bahkan semua akun banknya yang berhasil Nesha retas tidak menunjukkan adanya aliran dana yang salah.
“Istirahat, Nesh,” saran Mark. “Tiga hari ini kau nyaris tidak istirahat.”
Nesha memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. “Aku tidak bisa istirahat sementara musuh ada di depan mataku sendiri.”
“Kita hanya menduga.”
Nesha mendongak tiba-tiba lalu melayangkan tatapan tajam pada Mark. “Jadi kau tidak benar-benar percaya padaku bahwa Si Leighton adalah lelaki tiga tahun lalu?”
“Kalaupun benar Senator Leighton adalah lelaki tiga tahun lalu, belum tentu juga dia adalah bagian dari kelompok New World. Sekali lagi itu hanya dugaan.”
“Tapi bagaimana kalau dugaan itu benar?”
“Maka kita akan menghentikannya sebelum pemilihan Presiden dimulai atau pengangkatan Jenderal PBB yang baru dilaksanakan. Tapi tidak dengan cara seperti ini. Kau bekerja tanpa istirahat. Apa gunanya? Kau hanya akan menyakiti diri sendiri namun tidak ada apapun yang berhasil kau dapatkan.”
Menyadari kebenaran kata-kata Mark, Nesha menghempaskan punggung ke sandaran kursi. Sebenarnya dia memang lelah. Tapi dia sangat ingin menemukan sesuatu agar bisa menyeret Senator Leighton ke penjara. Hal ini sangat membuatnya frustasi. Musuh ada di depan mata, namun dia tidak memiliki kekuatan untuk menjatuhkannya.
“Di mana Gavin?” tanya Nesha akhirnya.
“Satu jam lalu dia bersama seorang informan dan dua orang anggota The Hackers pergi untuk menyelidiki langsung lokasi panti asuhan yang pernah ditempati Senator Leighton.”
“Ah, kukira perjalanan itu masih akan dilakukan besok.”
“Tidak, hari ini. Sudah kubilang kau kurang istirahat hingga mengabaikan sekeliling.”
Kali ini Nesha mengangguk setuju.
“Aku harus pergi dulu untuk mengantar laptop. Kalau kau lapar—”
Ting tong.
“Apa kau sedang menunggu seseorang?” tanya Nesha.
“Tidak.” Mark berdiri. “Biar aku yang membuka pintu. Mungkin itu salah satu pelanggan.”
Nesha mengangguk. “Aku akan membereskan tempat ini dulu.”
Mark meninggalkan Nesha lalu bergegas menuju pintu depan. Dalam benaknya, dia menyusun kata-kata penolakan yang tidak menyinggung pelanggannya karena untuk beberapa hari ke depan, Mark dan Gavin sepakat untuk tidak menerima jasa perbaikan dulu. Mereka perlu fokus untuk menyelidiki Senator Adlan Leighton.
Sampai di pintu depan, Mark langsung membuka pintu. Seketika keningnya berkerut karena merasa familiar dengan lelaki bermata hazel yang kini tersenyum ramah ke arahnya.
“Aku mencari Nesha. Apa dia ada di rumah?” tanya Ezio tanpa basa basi saat ia berhadapan dengan lelaki bermata biru.
Ezio teringat penjelasan Nesha bahwa wanita itu tinggal bersama Kakak dan sahabat Kakaknya. Jika dilihat dari segi fisik, lelaki di hadapan Ezio ini mungkin sahabat Kakak Nesha karena sama sekali tidak ada kemiripan dengan Nesha. Bahkan warna kulit, mata, dan rambutnya sangat jauh berbeda.
“Kau siapa?” tanya Mark dengan kening berkerut. Sama sekali tidak berusaha memperhalus pertanyaannya.
“Oh, maaf aku tidak memperkenalkan diri.” Buru-buru Ezio mengulurkan tangan yang langsung disambut Mark. “Namaku Agam, teman Nesha. Aku pemilik café yang baru.” Agam menjelaskan seraya menunjuk cafenya.
“Aku Mark.” Dia tidak berusaha menjelaskan lebih detail. “Sepertinya aku pernah melihatmu.”
“Mungkin kau pernah melihatku di café.”
Lagi-lagi kening Mark berkerut. Butuh beberapa detik kemudian hingga dia ingat saat tanpa sengaja melihat Nesha sedang berjalan dengan seorang lelaki. Ya, tidak salah lagi. Memang lelaki ini yang Mark dan Gavin lihat sedang bersama Nesha hari itu.
“Yah, mungkin.” Akhirnya Mark berkata seraya mundur untuk mempersilakan Ezio masuk. “Silakan duduk dulu. Aku akan memanggil Nesha.”
“Terima kasih.”
Kali ini Mark tidak perlu repot kembali ke ruang bawah tanah karena Nesha tampak sedang membuat kopi di dapur.
“Sudah kubilang kau harus istirahat. Kenapa masih hendak minum kopi?” tegur Mark.
Nesha mendesah seraya menghempaskan diri di kursi kayu di dekatnya. “Aku tidak bisa tidur sendirian, Mark.”
Mark mengangguk paham. Nesha tidak akan bisa tidur sendirian tanpa berteriak histeris. “Andai perjalananku bisa ditunda, aku pasti akan menemanimu. Tapi aku sudah berjanji akan mengantar laptop ini sekarang.”
“Tidak masalah. Aku akan baik-baik saja.”
“Oh ya, di luar ada tamu untukmu.”
“Orang yang tadi menekan bel?”
Mark mengangguk. Dia penasaran seperti apa sebenarnya hubungan Nesha dengan lelaki itu tapi tidak ingin terkesan terlalu mencampuri masalah pribadi.
“Aku akan menemuinya. Apa dia tidak memperkenalkan nama?” tanya Nesha dengan nada lesu. Sungguh, dia sedang malas untuk berbasa-basi.
“Namanya Agam.” Mark berkata singkat, menunggu reaksi Nesha.
“Agam?” Mendadak Nesha mendongak menatap Mark dengan mata berbinar. “Lelaki jangkung bermata hazel?”
Mark mengangguk pelan.
“Astaga, kenapa dia harus datang sekarang?” Nesha panik seraya berdiri lalu membenahi penampilannya. “Aku terlihat seperti gembel. Apa tidak masalah kalau aku mandi dulu dan sedikit berdandan?”
Melihat tingkah Nesha yang berubah drastis, mata Mark menyipit. Belum pernah ia melihat Nesha seperti ini. Tampak bingung dan panik hanya karena penampilan.
“Apa kau menyukai lelaki itu, Nesh?”
Pertanyaan tiba-tiba Mark membuat Nesha yang sedang membenarkan ikatan rambutnya berhenti bergerak selama beberapa detik lalu kembali menyelesaikan kegiatan tangannya. “Memangnya kenapa?”
“Berarti iya, kau menyukai lelaki itu?”
Nesha menggigit bibir bagian bawahnya seraya mendesah. “Aku tidak tahu, Mark. Yang jelas aku—aku ingin tampak sempurna di hadapannya.”
“Sepertinya kau bukan sekedar menyukainya. Kau mulai mencintainya.”
Nesha terkekeh geli atas kesimpulan yang ditarik Mark. “Terlalu dini untuk membaca perasaanku. Kami baru saling mengenal. Tapi—yah, aku merasa sangat nyaman dan betah di sampingnya.” Nesha mengakui malu-malu.
Dalam hati Mark turut berduka atas perasaan Gavin yang semakin sulit terbalas. Namun itu hanya pikiran selintas karena kini perhatian Mark tertuju sepenuhnya pada Nesha. Dia seperti seorang Kakak yang berusaha melindungi adiknya.
“Dengar, Nesh. Aku tidak melarangmu untuk menjalin hubungan cinta. Tapi berhati-hatilah. Jaga hatimu jangan sampai terluka. Aku tidak suka harus membunuh seseorang hanya karena alasan cinta.”
“Hei!” seru Nesha. “Kenapa sampai mengungkit masalah pembunuhan hanya karena aku—mungkin—menyukai seseorang?”
“Karena aku sudah menganggapmu sebagai adikku. Jadi aku tidak akan segan membunuh seseorang demi melindungi adikku.”
Usai berkata demikian, Mark mengacak pelan rambut Nesha lalu meninggalkan Nesha yang masih berdiri di dapur dengan senyum sayang di bibirnya.
-------------------
♥ Aya Emily ♥