Delapan Belas

1904 Kata
Selasa (01.29), 01 Juni 2021 --------------------- “Hai,” sapa Nesha lembut begitu ia berdiri di hadapan Agam yang tengah menunggu di ruang tamu rumahnya. Seperti biasa, penampilan lelaki itu sangat memukau di mata Nesha. Beruntung ia sempat merapikan diri tadi meski harus buru-buru. “Hai,” balas Ezio lembut seraya berdiri. Seumur hidup dia tidak pernah merasakan hal seperti ini. Kerinduan yang nyata pada seorang wanita hanya karena tiga hari tidak bertemu. “Kuharap aku tidak mengganggu pekerjaanmu. Kau sangat sulit ditemui tiga hari ini.” “Yah, begitulah. Aku agak sibuk karena harus membantu Mark dan Gavin dan juga mengantar barang.” “Kalau sekarang aku mengajakmu makan siang bersama, apa itu mengganggu pekerjaanmu?” “Tentu saja tidak.” Mark yang menyahut. “Tiga hari ini dia terlalu memaksakan diri untuk membantu kami. Sepertinya ide bagus mengajaknya keluar menghirup udara segar.” Nesha melotot ke arah Mark, memberi peringatan agar Mark tidak tampak sedang menyodorkan Nesha pada Agam. Yah, meski sebenarnya Nesha tidak keberatan. “Dengan senang hati aku akan melakukannya.” Agam tersenyum lebar, merasa mendapat izin. “Kalau begitu aku pergi dulu. Jangan lupa kunci pintunya, Nesh.” Mark berjalan ke pintu tapi lalu berbalik kembali. “Jangan pulang larut malam!” kali ini nada suara Mark serius, seperti menasihati seorang adik. Tanpa menunggu jawaban, diapun berbalik meninggalkan Nesha dan Ezio. Nesha merengut, ingin sekali berseru pada Mark bahwa dirinya bukan anak kecil yang perlu diatur lagi. Namun Nesha tidak berani melakukan itu di hadapan Ezio. Tentu dia harus menjaga tingkahnya. “Dia yang sahabat Kakakmu?” tanya Ezio. Nesha mengangguk. “Iya, dia Mark. Tapi dia menjagaku lebih daripada Gavin.” “Lalu di mana Gavin? Aku belum memperkenalkan diri padanya.” “Dia sedang pergi.” Ezio manggut-manggut. “Kita pergi sekarang? Aku sudah janji pada Mark untuk mengajakmu keluar.” “Tentu. Aku juga hendak menagih makan siang yang tadi kau tawarkan.” Ezio tersenyum. “Silakan pilih sendiri tempatnya.” Senyum Nesha juga merekah. “Tunggu sebentar. Aku mau mengambil jaket.” *** Gavin serta tiga orang lelaki yang datang bersamanya menatap sekeliling bangunan sekolah dasar di hadapan mereka dengan ekspresi beragam. Cukup lama mereka hanya berdiri di sana—di dekat pintu gerbang—hingga seorang lelaki empat puluhan datang menghampiri. “Mr. Ersandio tidak bisa menemui kalian. Kondisi tubuhnya tidak memungkinkan untuk keluar rumah.” Lelaki yang jabatannya adalah salah satu staf pengajar itu memberitahu. “Bolehkah kami yang langsung menemui beliau?” Gavin bertanya sopan. “Tentu. Mari ikuti saya. Rumah beliau ada di belakang bangunan sekolah.” Empat lelaki itupun mengikuti lelaki berkacamata yang akan mengantar mereka menuju rumah Mr. Ersandio, si pemilik sekolah. Tidak sampai sepuluh menit, mereka telah tiba di pintu depan rumah Mr. Ersandio. Lelaki yang mengantar mereka mengetuk pintu beberapa kali, lalu menunggu. “Tidak ada bel di rumah ini?” tanya Farlo, salah satu anggota The Hackers. “Sejak Mr. Ersandio sakit dan lebih sering berada di rumah, bel rumah sengaja dilepas agar beliau bisa nyaman beristirahat.” Klek. Seorang wanita berwajah khas penduduk Cina membukakan pintu. Mungkin usianya sudah mencapai lima puluh tahun namun masih terlihat cantik. “Dia menantu Mr. Ersandio.” Lelaki berkacamata itu menjelaskan. “Sebaiknya saya kembali ke kelas sekarang.” Gavin dan rekan-rekannya berterima kasih. “Hanya dua orang yang boleh menemui Papa. Yang lain silakan menunggu di ruang tamu.” Wanita itu menjelaskan dengan nada lembut. Gavin menoleh ke arah ketiga rekannya. “Siapa yang akan masuk bersamaku?” “Farlo saja. Aku dan Rowan akan menunggu di sini.” Jeth, seorang informan yang bekerja khusus untuk tim The Hackers mengusulkan. “Baiklah.” Setelahnya, wanita berambut lurus hitam itu mengantar mereka menuju halaman belakang tempat Mr. Ersandio tengah istirahat menikmati angin segar. Mata lelaki tujuh puluh tahunan—yang tampak lemah dengan rambut memutih—itu terpejam, membuat Gavin dan Farlo sungkan mengganggu. “Apa beliau sedang tidur?” tanya Gavin pada menantu Mr. Ersandio itu. “Tidak. Papa memang suka memejamkan mata saat menikmati waktu seorang diri. Tapi dia sepenuhnya terjaga.” Begitu mereka mencapai kursi goyang tempat Mr. Ersandio berada, wanita itu berkata, “Papa, ada yang ingin bertemu.” Perlahan, kelopak mata Mr. Ersandio terangkat, menampakkan mata abu-abu yang tak lagi cerah. Entah karena usia atau mungkin penyakitnya. Pandangannya langsung menyapu ke arah Gavin dan Farlo dengan tatapan menilai. Mungkin mengingat-ingat apa dirinya mengenal mereka. “Apa aku pernah mengenal kalian sebelumnya?” tanya Mr. Ersandio tanpa basa-basi. “Tidak, Sir. Ini pertama kalinya kita bertemu.” Gavin memberitahu. Mr. Ersandio mengangguk lalu menoleh ke arah menantunya. “Tolong buatkan minuman untuk mereka.” “Iya, Pa,” sahut wanita itu lalu segera pergi. “Silakan duduk.” Mr. Ersandio menunjuk kursi rotan di hadapannya. Sejenak dia menunggu kedua tamunya duduk sebelum melontarkan pertanyaan. “Jadi, apa yang membuat kalian datang menemui lelaki tua ini?” “Sebelumnya kenalkan, saya Gavin dan ini rekan saya, Farlo. Kami datang ke sini hendak bertanya mengenai panti asuhan yang dulu bangunannya tepat berada di gedung sekolah dasar milik Anda,” ujar Gavin. “Hmm, apa yang kalian maksud adalah panti asuhan yang dulu terbakar itu?” “Iya.” “Ada apa dengan panti asuhan itu?”  “Saya dengar Anda adalah adik dari pemilik panti. Apa Anda masih ingat anak-anak yang pernah tinggal di panti itu?” “Kalian ingin menanyakan masa lalu Senator Leighton?” tebak Mr. Ersandio, tepat sasaran. “Bagaimana Anda tahu?” tanya Farlo penasaran. “Banyak yang datang ke sini untuk menanyakan hal yang sama. Terutama wartawan.” Mr. Ersandio tersenyum kecil. “Masa lalu orang terkenal memang menyenangkan untuk dibahas.” Gavin juga tersenyum kecil. “Maaf kalau membuat Anda harus mengulang cerita yang sama. Tapi bisakah Anda ceritakan mengenai Senator Leighton semasa masih tinggal di panti?” “Aku tidak terlalu ingat masing-masing anak karena aku memang tidak tinggal di panti. Saat kejadianpun aku dan istri serta kedua putraku tinggal di rumah orang tua istriku.” “Tapi kalau Anda sering mengunjungi panti, mungkin masih ingat jika melihat foto semasa kecil Senator Leighton.” Farlo berpendapat. “Sayang sekali tidak. Beberapa wartawan yang pernah datang sudah menunjukkan foto Senator Leighton semasa kanak-kanak. Namun tetap tidak ada kenangan di benakku.” “Jadi, Anda sama sekali tidak ingat apa Senator Leighton pernah benar-benar tinggal di panti asuhan yang dikelola Kakak Anda atau tidak.” Gavin menyimpulkan. Kening Mr. Ersandio berkerut. “Kenapa Anda terdengar meragukan kebenaran bahwa Senator Leighton pernah tinggal di panti?” “Senator Leighton akan menjadi salah satu kandidat Presiden selanjutnya.” Gavin menjelaskan hati-hati. “Asal-usulnya harus diselidiki dengan seksama. Tidak boleh ada catatan buruk yang disembunyikan. Anda pasti juga akan ngeri membayangkan bahwa pemimpin kita ternyata adalah seorang psikopat yang pernah membantai seluruh keluarganya.” Mr. Ersandio terbelalak. “Apa Senator Leighton seperti itu?” Farlo terkekeh. “Itu hanya perumpamaan.” “Hmm, aku mengerti.” Sebelum pembicaraan berlanjut, menantu Mr. Ersandio datang kembali bersama seorang pelayan yang membawakan minuman. “Merry, setelah ini ambilkan foto penghuni panti di kamar Papa.” Wanita yang ternyata bernama Merry itu mengangguk lalu pergi memenuhi permintaan Papa mertuanya. “Oh, Anda memiliki foto penghuni panti?” tanya Farlo. Mr. Ersandio mengangguk. “Seperti yang kubilang, aku tidak ingat masing-masing penghuni panti. Jadi jika ada yang bertanya, aku hanya menunjukkan foto itu. Aku memotret mereka sekitar tiga tahun sebelum kejadian kebakaran.” Sambil menunggu Merry yang masih mengambil foto, Farlo menanyakan hal lain. “Jadi, Anda memutuskan membangun rumah di tanah milik Kakak Anda ini setelah panti asuhan itu mengalami tragedi kebakaran?” “Lebih tepatnya setelah pengadilan memutuskan tanah ini jatuh ke tanganku karena hanya aku satu-satunya keluarga yang tersisa. Bahkan istri dan anak perempuan Kakakku juga meninggal dalam kebakaran.” Kesedihan tampak jelas masih membayangi mata Mr. Ersandio meski sudah puluhan tahun berlalu sejak tragedi  itu. “Apa benar-benar tidak ada yang bisa diselamatkan? Mungkin dokumen-dokumen tertentu.” Farlo yang memang bersifat pantang menyerah masih terus menyelidiki, menggali informasi sekecil apapun. Mr. Ersandio menggeleng pelan. “Tidak ada sama sekali. Dulu area ini jauh dari para tetangga. Kalian bisa lihat sendiri di surat kabar atau media lainnya yang masih menyimpan berita mengenai tragedi kebakaran itu.” lelaki itu menghela napas sejenak, tampak berat mengenang kembali kejadian yang telah merenggut sang nyawa Kakak. “Kebakaran terjadi saat semua orang masih asyik dalam mimpi. Para tetangga yang jaraknya kira-kira tiga ratus meter dari area ini baru menyadari terjadi kebakaran beberapa jam kemudian. Saat itu api sudah melahap seluruh bangunan dan mungkin—sudah tidak ada lagi yang selamat.” “Sekali lagi maaf karena kami membuat Anda harus mengingat kejadian itu lagi.” Gavin berkata sungguh-sungguh. Mr. Ersandio mengangguk. “Seharusnya aku sudah melupakan kejadian itu dan hanya menganggapnya sebagai kenangan. Tapi hingga kini aku masih tidak bisa melakukannya.” Farlo sudah siap melontarkan pertanyaan lain yang mengganggu benaknya namun Gavin menggeleng pelan lalu tanpa suara—hanya gerakan bibir—menyuruh Farlo menunggu. Tak lama kemudian Merry datang kembali, menyerahkan sebuah foto berbingkai pada Mr. Ersandio, lalu pamit keluar. “Nah, ini foto mereka.” Mr. Ersandio menyerahkan foto itu ke tangan Gavin. “Kau pasti bisa langsung menebak yang mana Senator Leighton dari matanya. Tapi wajahnya juga tidak banyak berubah.” Dalam foto itu menunjukkan anak-anak berbaris rapi di halaman rumah besar yang jelas merupakan bangunan panti dari berita-berita yang sudah lebih dulu Gavin dan yang lainnya selidiki. Di bagian depan, tampak beberapa anak duduk bersila di lantai. Di belakang mereka, anak-anak yang lain berlutut. Di belakangnya lagi, tampak sedang duduk di kursi agar yang berdiri di belakang mereka juga bisa tertangkap kamera. “Sepertinya yang ini Senator Leighton.” Gavin menunjuk pada seorang anak yang duduk di barisan depan. Dia hanya menatap datar ke arah kamera sementara yang lain tersenyum lebar. Farlo mengangguk setuju namun tidak berkomentar apapun. Sejenak Gavin memperhatikan dengan lebih seksama foto itu lalu bertanya, “Apa lelaki jangkung berkumis ini adalah Kakak Anda?” Mr. Ersandio mengangguk. “Ya. Wanita di sebelahnya adalah istrinya sedangkan anak perempuan yang duduk di sebelah bocah bermata amber itu adalah anak perempuan mereka.” Gavin menoleh ke arah Farlo. “Tadi  kau ingin tanya apa?” “Oh, itu. Apa Anda tidak merasa ada kejanggalan dengan tragedi kebakaran yang terjadi? Bisa saja, kejadian itu bukan hanya akibat kelalaian penghuni panti seperti yang diberitakan.” “Maksudmu, kejadian itu disengaja? Ada orang yang sengaja membakar bangunan panti?” “Yah, sampai sekarang penyebab utama kebakaran tidak pernah terungkap. Polisi dan masyarakat hanya menduga. Mungkin akibat hubungan pendek arus listrik. Mungkin juga akibat kompor yang lupa dimatikan, lilin yang dibiarkan menyala, puntung rokok menyala yang jatuh ke ranjang, dan dugaan-dugaan lainnya. Apa Anda tidak pernah mencoba untuk menyelidiki lebih lanjut?” Mr. Ersandio menghela napas. “Ya, aku pernah melakukannya. Bahkan penyelidikan terus berlanjut sampai dua tahun hingga akhirnya aku menyerah dan memutuskan mengikhlaskan kepergian mereka agar mereka tenang.” “Lalu foto ini—” kali ini Gavin yang bertanya, “kenapa tidak pernah disebar ke media? Apa wartawan-wartawan yang datang tidak tertarik untuk memublikasi foto ini?” “Bukannya tidak tertarik. Namun aku yang menolak. Biarlah mereka yang sudah meninggal dibiarkan tenang, bukannya menjadi bahan pembicaraan dan rasa penasaran khalayak.” Gavin mengangguk setuju lalu menyerahkan kembali foto itu pada Mr. Ersandio. Selanjutnya mereka hanya basa-basi sejenak lalu memutuskan pamit pulang. -------------------- ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN