“Raivan,” ucap Nayla terkejut saat melihat pria itu mengetuk pintu kamarnya.
“Aku ingin bicara, Nay,” katanya pelan.
Nayla ragu, tak yakin harus mempersilakan Raivan masuk atau tidak. “Di dalam?” tanyanya dengan suara pelan.
Raivan mengangguk.
Dengan sedikit canggung, Nayla membuka pintu lebih lebar dan mempersilakannya masuk. Kamarnya sederhana untuk menerima tamu. Tidak ada sofa atau kursi—hanya sebuah bean bag di pojok ruangan, tempatnya biasa membaca. Ia sempat kebingungan harus bagaimana menyambut tamunya malam-malam begini.
Baru saja ia berbalik, Nayla tersentak saat Raivan tiba-tiba meraih tangannya, menahan langkahnya. Dengan lembut, pria itu menuntunnya duduk di sisi ranjang.
Jantung Nayla berdegup kencang. Harusnya mereka bersama dimulai malam besok ‘kan? Apakah sudah terhitung mulai malam ini? Ia gugup bukan main—tidak tahu harus berbuat apa di hadapan suaminya.
“Perihal rencana pembagian waktu itu …,” ucap Raivan, menunduk—meraih—menggenggam tangan Nayla. “Aku belum siap.”
“Maksudmu?”
“Nay, kita tumbuh bersama. Tapi hubungan kita yang sekarang... aku belum bisa menerimanya sepenuhnya. Ini terlalu berat, Nay. Aku tidak bisa mengkhianati Salsa.”
“Tapi ini keinginan Salsa, Raivan.”
Raivan menghela napas panjang, lalu menatap Nayla dalam. Ia menggenggam tangan wanita itu lebih erat. “Justru karena aku tidak bisa menolaknya, makanya aku menerima semua ini. Sama seperti kamu, kan? Kamu setuju menikah denganku karena Salsa, bukan karena kamu mencintaiku. Kamu bukan tipe perempuan yang akan jatuh cinta pada suami sahabatmu sendiri. Itu bukan kamu, Nay.”
Nayla membeku, tak percaya Raivan akan membicarakan hal ini. “Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang?” tanyanya pelan.
“Pelan-pelan, Nay. Aku butuh waktu. Aku harus belajar banyak hal terutama soal berlaku adil.”
“Kamu belum siap kita tidur sekamar?” tanya Nayla, nyaris berbisik.
Raivan mengangguk.
Hening sejenak. Meski masih bingung, Nayla merasa sedikit lega karena Raivan mau jujur dan membagi keresahannya.
“Aku ikut apa pun keputusan kamu, Van,” ucap Nayla akhirnya, membuat Raivan mengembuskan napas lega.
“Terima kasih, Nay,” katanya lembut. Ia mengecup punggung tangan Nayla, bergantian. Kemudian, tangannya terulur mengusap pipi wanita itu. “Tapi tetap saja, kamu tidak boleh terlalu dekat dengan laki-laki lain. Termasuk Pak Kepala Sekolah itu. Aku tidak suka. Entah kenapa, aku tidak bisa menjelaskan perasaan ini, tapi aku tak suka cara dia menatapmu.”
Nayla menatap wajah Raivan lekat-lekat. Satu poin lagi, Raivan semakin terbuka dengan pikirannya—bicaranya pun kembali seperti dulu—hangat.
“Besok kita berangkat bareng, ya. Makan siang bareng juga. Aku jemput kamu pulang kamu mengajar,” katanya dengan senyum kecil yang muncul di wajahnya.
Senyum tipis pun merekah di wajah Nayla. Ia mengangguk pelan.
“Kamu tidur, ya. Aku naik ke kamar lantai atas,” ucap Raivan sambil mengusap puncak kepala Nayla dengan lembut.
Nayla masih bingung. Jujur saja, ia belum tahu harus bagaimana menyikapi semua ini. Tapi ia berusaha berpikir positif—berusaha memahami Raivan. Semua ini butuh waktu. Untuk saling menerima, untuk saling menyesuaikan. Poligami memang bukan perkara mudah dan adil tidak bisa seinstan itu.
***
Semalaman Salsa tak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi oleh Raivan. Ternyata, sesulit itu berbagi hati. Meski mulutnya berkata siap, hatinya masih terus diuji. Namun, ia berusaha meyakinkan diri—bahwa ia mampu melewati semua ini. Bahwa cinta tak selalu tentang memiliki secara utuh, ‘kan? Tapi tentang keikhlasan dan pengorbanan.
Lama ia termenung malam itu, hingga akhirnya tertidur sendiri.
Saat membuka mata pagi itu, pandangannya langsung tertumbuk pada sosok Raivan yang tengah sibuk menyiapkan perlengkapannya. Ada rasa hangat yang menyusup pelan ke d**a. Belakangan ini, Salsa memang sedang suka-sukanya mandi air hangat, berendam lama dengan sabun favoritnya. Dan Raivan menyiapkannya.
Pakaian yang hendak dikenakan pun sudah disiapkan, terlipat rapi di ujung ranjang.
“Morning, love,” sapa Raivan lembut sambil merangkak naik ke atas ranjang. Ia mengecup kening Salsa, lalu mengusap perutnya yang mulai membuncit, memberi kecupan lembut seolah menyapa kehidupan kecil yang sedang tumbuh di dalam sana. “Air mandimu sudah siap, Sayang.”
Senyum merekah di wajah Salsa. Ia segera memeluk Raivan erat-erat, seakan ingin menyalurkan semua cinta dan kegundahan yang tersisa dalam dekapannya.
“Terima kasih ya, Mas,” ucapnya pelan, sarat dengan rasa syukur.
Raivan membisikkan sesuatu di telinga istrinya, suaranya dalam dan penuh keyakinan. “I love you, Sa.”
Pagi hari ini, mereka bertiga sarapan bersama—pemandangan yang tak pernah lepas dari perhatian Nayla adalah cara Raivan memperlakukan Salsa. Namun, pagi ini terasa sedikit berbeda. Saat Raivan membuatkan s**u hamil untuk Salsa, ia juga menuangkan segelas s**u segar untuk Nayla dan menyodorkannya ke sisi wanita itu.
Senyum mengembang di wajah Nayla. Begitu pula di wajah Salsa.
“Terima kasih, Mas,” ucap Salsa dengan nada manja. “Sejujurnya aku kurang suka s**u ini, tapi demi baby… Mama paksa, Sayang,” ujarnya sambil mengusap perutnya yang mulai membuncit. Nayla tersenyum kecil mendengar candaan ringan itu.
Suasana pagi terasa hangat dan menenangkan, membangkitkan semangat dalam diri Nayla. Setelah merapikan diri dan mengambil tas, Nayla sempat terhenti saat melihat Raivan memeluk Salsa di pintu depan—membisikkan sesuatu sambil mencium setiap inci wajah istrinya, lalu berakhir pada lumatan lembut di bibir.
Nayla diam, menahan napas sejenak. Tapi ia mengingat kembali ucapan Raivan semalam. Ia paham, Raivan butuh waktu. Dan Nayla siap menunggu.
Setelah momen mesra itu berakhir, barulah Nayla berani mendekat. Salsa terlihat sedikit salah tingkah, buru-buru merapikan dirinya sambil menjauh dari pelukan Raivan.
Pagi ini, mobil tidak sesunyi biasanya. Raivan sesekali menceritakan pekerjaannya. Entah bagaimana, obrolan itu mengalir begitu saja. Raivan memang suka bercerita. Nayla hanya menanggapi dengan anggukan dan senyum tipis—menjadi pendengar yang baik.
Begitu sampai di halaman sekolah, Raivan memarkir mobil lalu menoleh dan tersenyum pada Nayla.
“Sampai ketemu siang nanti,” ujar Nayla lirih.
Raivan mengangguk. Nayla mengulurkan tangan untuk menyalaminya dan Raivan menyambutnya dengan hangat. Ia bahkan mengecup punggung tangan Nayla—seperti permintaan yang pernah diutarakan Nayla. Ia bahkan tak pernah melakukan itu pada Salsa.
Hanya itu. Tak ada kecupan di dahi, pipi, atau sekadar belaian seperti apa yang selalu ia lihat saat Raivan bersama Salsa—membuat Nayla terdiam sejenak, menunggu penuh harap.
“Nay?” suara Raivan menyentakkannya dari lamunan. “Kok malah melamun?”
“Ah, i—iya. Aku turun ya. Sampai ketemu siang nanti,” sahut Nayla tergesa.
“See you, Nay.”
Begitu turun dari mobil, Nayla memejamkan mata sejenak. Menyalahkan dirinya sendiri.
Apa yang kamu tunggu, Nay? batinnya.
“Apa yang kamu harapkan?” gumamnya pelan, malu pada diri sendiri. “Bisa-bisa kamu, Nay.” Ia memukul pelan kepalanya, berusaha mengusir pikiran-pikiran tak senonoh yang mulai tumbuh tanpa izin.
***
Siang itu, usai mengajar, Nayla bersiap-siap pulang. Ia merapikan diri di ruang guru, memoles sedikit riasan di wajahnya. Sekadar memberi kesan segar, karena hari sudah lewat tengah hari.
“Mau ke mana, Miss Nayla?” tanya salah satu rekan guru sambil melirik iseng.
“Jangan cantik-cantik, udah ada yang punya, kan?” goda yang lain sambil terkekeh.
“Justru harus makin cantik dong kalau mau ketemu pujaan hati,” celetuk seorang lagi dengan mata jahil.
Mereka tahu Nayla sudah menikah, tapi tak satu pun tahu bahwa dia adalah istri kedua.
“Apa sih? Saya cuma touch up biasa. Kok heboh,” elak Nayla sambil tersenyum tipis—menggeleng, mencoba menyembunyikan debar di dadanya.
Sambil menunggu Raivan, Nayla kembali membuka laptop, menyelesaikan beberapa pekerjaannya. Waktu berlalu tanpa terasa, hingga satu per satu rekan kerjanya pamit pulang.
“Miss Nayla jadi dijemput nggak? Mau bareng saya?”
“Enggak usah, Miss. Saya juga sudah mau pulang kok,” jawab Nayla, menahan kecewa yang mulai menyusup pelan.
Saking asyiknya bekerja, ia baru tersadar—waktu telah lewat satu jam dari yang dijanjikan. Ponselnya tetap membisu, tak ada pesan, tak ada panggilan dari Raivan. Akhirnya, Nayla menekan nama Raivan di daftar kontaknya. Nada sambung berdering lama, nyaris putus, hingga akhirnya tersambung.
“Nay,” suara Raivan terdengar terburu-buru. “Nay, maafkan aku—”
“Mas, ini pesanan kamu. Ini punya aku,” suara Salsa menyela dari seberang, suaranya terdengar ceria.
Nayla membeku. Suaranya tercekat hingga tidak bisa berkata-kata.
“Nay—”
“Kamu di mana, Van?” tanyanya pelan.
“Aku di butik Salsa. Hari ini tiba-tiba ada klien-nya yang mau fitting dan dia minta Salsa langsung yang handle. Jadi aku anterin dia. Aku… aku lupa soal makan siang kita.” Suara Raivan melembut, terdengar menyesal. “Kamu masih di sekolah?”
Nayla tak menjawab. Ia hanya tertawa kecil—sumbang, getir.
Lupa? Satu kata sederhana yang bisa membuatnya hatinya kembali hancur.
“Aku minta Fadlan jemput kamu, ya?”
Hening sesaat.
Nayla masih menatap layar laptop kosong di depannya, menatap pantulan dirinya sendiri yang penuh harap, lalu dihantam realita.
“Tidak perlu, Van,” jawabnya akhirnya, pelan tapi tegas. “Aku pulang sendiri saja.”