Ekspetasi diluar kendali
***
Tiga hari menuju hari H, Oca menatap sebal langit-langit kamarnya, sesekali ia menggerutu tak jelas. Sudah empat hari dia di kurung seperti anak ayam, tak boleh keluar kemana-mana kecuali makan.
"Masa mudaku yang tergadaikan," gerutu Oca, ia mengambil ponselnya membaca pesan masuk dari Alfi.
Alfi boah
Gue di depan rumah lo, gc pegel niii!! berdiri dari tadi mencetin bel rumah lo gak ada yang bukain.
Oca menaikkan sebelah alisnya, lalu ia bangkit dan melesat dari kamarnya.
"Mah," panggil Oca saat menuruni tangga, rumah ini tampak tak berpenghuni. Pantas saja tak ada yang membukakan pintu, terlebih kamar oca ada dilantai dua paling ujung jadi wajar saja jika dia tak mendengar suara bel.
"Pada kemana, si?" gumam Oca, berjalan menuju pintu depan.
"Bushhheeeng lama amat si loh! panas tau, pegel ni betis gue berdiri molo!!" Cerocos Alfi saat pintu terbuka. Oca memutar bola matanya, saat Alfi tanpa permisi langsung menerobos masuk.
"Gak sekalian lo minum dari galonnya," sindir Oca saat melihat Alfi yang kalap minum air.
"Gue ke sini naik ojek, kepanasan, kehausan, giliran sampe malah di suruh nunggu lama udah kaya patung pancoran gue di depan rumah lo." Oca hanya geleng-geleng kepala, mendengar keluhan Alfi.
"Rumah lo tumben kaya kuburan, lagi pada diruqyah?" Oca langsung menoyor kepala Alfi, saat dengan frontalnya gadis itu melontarkan pertanyaan absurd.
"Lo kira orangtua gue setan?"
"Ya, mangap." Alfi mengusap keningnya.
Kini keduanya sudah berada di kamar Oca. Gadis itu langsung merebahkan diri di kasur. Sedangkan Alfi duduk manis di depan komputer.
"Ngemeng-ngemeng, gue gak nyangka lo bakal nikah sama kak Calvin," ucap Alfi membuka acara pergibahan.
Oca langsung memutar badan tengkurap, wajahnya menatap punggung Alfi.
"Maksud lo?" tanya Oca, yang tak mengerti arah pembicaraan Alfi.
"Ya, gue heran aja kok bisa si cewek pecicilan kaya lo dijodohin sama kak Calvin yang cool. Lo ciuman sama Alfaro aja masih berasa halu buat gue dan sekarang malah mau nikah sama kakaknya, daebak!" Sontak saja mata Oca membulat, mulutnya menganga terkejut mendengar penuturan Alfi.
"WHAT!!" jerit Oca, ia langsung memposisikan diri duduk di tepi ranjang mendekati Alfi.
"Lo tau soal itu?"
"Yaiyalah, bahkan gue lihat dengan mata kepala gue sendiri. Lo anggep apa gue di sana remahan KFC." Oca terdiam, dia pikir tak akan ada yang melihat kejadian di kolam renang itu.
"Terus, kok lo gak bilang ke gue kalo lo tahu." Alfi menoleh kesamping, menatap Oca yang masih syok.
"Lo suka sama Alfaro?" tanya Alfi penuh selidik.
"Gak!" Oca langsung membuang muka, tapi Alfi sudah lebih dulu melihat rona merah dikedua pipinya.
"Booong lo, tuh muka lo ngapa kaya kepiting rebusss." Alfi terkekeh geli melihat Oca yang langsung salah tingkah dan masuk ke dalam selimut.
"Gak nyangka gue lo berdua ada main."
"Alfi diem gak lo!!" teriak Oca dari balik selimut.
"Enak ya lo, nikah sama kakaknya, udah dapet bonus adiknya duluan, kira-kira gimana ya rasain bibir keturunan Sandresss." Oca langsung menyingkap selimutnya duduk menatap Alfi yang masih tertawa. Alfi yang di tatap dengan ekspresi aneh itu seketika mengatupkan mulut.
Ciuman sama Calvin? berasa cium tembok beton, batu kali, kaku dan dingin. Oca menggeleng-gelengkan kepala.
"Alfi bunuh gue plisss!!" teriak Oca histeris, membuat Alfi bergidik ngeri dan langsung menghadap komputer didepannya.
"Gue gak mau menua bersama ki patkay dari antartika!!"
"Kumat lagi dah," gumam Alfi, langsung memakai earphone di telinganya. Berharap suara-suara nyaring itu tak menodai pendengarannya.
-----
Oca sedang memikirkan cara agar pernikahannya dibatalkan. Gadis itu mondar mandir tak jelas.
"Gue punya ide." Dengan mata berbinar ia segera masuk ke kamar mandi. Menimbulkan suara dentuman yang begitu keras.
Suara itu terdengar hingga bawah, mamanya yang sedang menyiapkan sarapan pun sampai terkejut.
"Oca!!" Papanya menggeram, meremas koran yang sedang ia pegang.
"Pa, biar Mama cek dulu ya," ucap mama Oca mengelus pundak suaminya agar tak terbawa emosi.
"Oca," panggil mamanya, sembari berjalan menaiki tangga.
" Ca, sarapan dulu yok." Mama Oca membuka knop pintu, keningnya berkerut saat melihat kamar Oca yang sepi, biasanya dia akan melihat Oca masih bergelung dengan selimut, namun kali ini tak ada siapapun diranjang yang berantakan itu.
"Ca, kamu di dalam?" Mama Oca mengetuk pintu kamar mandi yang tertutup, tak ada jawaban. Dia menempelkan telinganya di daun pintu.
"Gak ada suara air," gumamnya, lalu mengetuk kembali pintu itu.
"Caa, kamu di dalam sayang?" Lagi, hanya ada keheningan. Lalu dengan perlahan ia menarik knop pintu yang ternyata tak di kunci.
" Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaa, Ocaaa!!!" teriakam histeris mamanya membahana keseisi rumah membuat papanya panik dan berlari menuju kamar Oca.
"Pa! Oca Pa!!" Tangis mama Oca sudah tak terelakkan saat suaminya datang dan mendapati Oca sudah bersandar dibathub, dengan kondisi mengenaskan. Ada buiiih dimulutnya.
"Kita bawa ke rumah sakit," ucap papa Oca yang langsung membawanya ke rumah sakit.
"Apa yang dipikirin bocah ini sampai nekat meracuni diri sendiri," gerutu papa Oca.
"Pa! Oca pasti ngelakuin ini karena dia gak mau nikah, sebaiknya kita batalin saja pernikahan itu," ujar sang mama saat di dalam mobil, sambil memeluk Oca dalam dekapannya.
"Sudahlah Ma, itu bisa kita bicarakan nanti yang penting kita bawa anak degil ini dulu." Papa Oca terlihat panik, ia mencekram stir mobil itu dengan kuat.
"Kamu kuat ya sayang," ucap mamanya, dengan isakan pilu. Hingga akhirnya mobil mereka memasuki lobi rumah sakit.
Untung rumah sakit masih tak begitu ramai sehingga semua berjalan dengan cepat, dokternya pun cepat tanggap langsung memasukkan Oca ke UGD.
Dengan perasaan cemas orangtua Oca menanti, dokter di dalam sedang memeriksa keadaan Oca.
"Pa," panggil Angkasa putra sulungnya yang baru saja tiba. Dengan wajah ditekuk ia menyodorkan secarik kertas. Papanya menaikkan sebelah alis menatap Angkasa dengan penuh tanya.
Papa, Mama, kak Ang dan Dylan. Oca sayang kalian. Tapi takdir tak menyayangi Oca.
Pah, maafkan Oca. Oca lebih baik mati dari pada harus menikah dengan kipatkay. Tak apa Oca mati muda tak ada bedanya dengan menikah, masa depan Oca sudah mati.
Papa kekeh dengan pilihan Papa, Oca pun punya pilihan sendiri dan ini pilihan Oca.
Maaf Pa,
Papa Oca meremas kertas itu, sedangkan istrinya sudah menangis histeris.
"Pa, Oca!!" Ia mengoyak lengan suaminya yang hanya terdiam dengan tatapan kosong.
"Ini semua karena Papa, gak seharusnya papa jodohin Oca," sarkas istrinya yang meraung, beruntungnya ada Angkasa yang mendekap mamanya.
"Cukup Mah, oca pasti baik-baik saja." Angkasa mengusap punggung mamanya yang ada dalam dekapannya. Mama Oca masih menangis tersedu-sedu, hingga suara perawat itu mengintruksinya.
"Keluarga pasien,"
"Saya Papanya sus," jawab papa Oca yang langsung berdiri saat perawat itu keluar dan memanggil keluarga Oca.
"Saya Mamanya, bagaimana keadaan putri saya sus?" Mama oca langsung meraih lengan suster itu, menanyai keadaan oca dengan panik.
"Ibu dan Bapak silahkan masuk, nanti dokter yang akan jelaskan," ujar perawat itu, lalu mereka semua masuk.
Mama Oca langsung menghambur kearah Oca yang terbaring lemas di bangkar. Sedangkan papanya menghadap dokter yang berdiri disamping bangkar Oca.
"Bagaimana dok?" tanya papa Oca.
Dokter itu mengembuskan napasnya dengan kasar, membuat papa Oca semakin cemas namun kegarangannya mampu menutupi semua itu.
"Putri Bapak baik-baik saja, ia hanya lupa berkumur." Semua orang di sana terdiam dengan mulut melebar.
"Berkumur?" beo mamanya lalu memalingkan wajahnya menatap Oca yang masih terlelap.