Amira duduk di sisi tempat tidur Fani, menemuinya sebelum tidur. Ia memerhatikan jumlah obat yang di minumnya bertambah lebih banyak dari sebelumnya. Ditinggal berdua, bertepatan perawat Fani pamit untuk pulang dan akan kembali besok pagi. Jika malam, benar-benar Papah yang akan menjaga Fani. Amira menaikkan selimut lebih atas. Mata Fani terus menatapnya, sudut bibirnya tertarik. Ia merasakan tangan Amira memegang tangannya. “Tetap di sini sama Mamah.” Pintanya. Amira mengangguk, masih belum terbiasa memanggil Fani dengan sebutan ‘Mamah’ alih-alih ‘Bu Fani’ seperti waktu dulu ia bekerja dengannya. “Besok kalian sudah kembali ke Semarang.” Bisiknya. “Iya, Mah.” “Tidak bisa tinggal lebih lama?” tanyanya. Amira menggelengkan kepala, “andai bisa. Tapi, aku dan Mas Kaflin sudah ma