Orang Asing

1018 Kata
Laras diam mencoba menelaah setiap ucapan Yanti. Ucapannya benar tapi semua itu dibalas dengan menggeleng. "Yanti, aku tahu kalau kamu cemas tapi jangan khawatir jika Sebastian benar-benar menyukaiku aku tidak akan membalas perasaan itu. Bagiku Lucy adalah sahabatku, aku tidak mungkin merebut apa yang menjadi miliknya." Sebastian datang dari belakang dengan membawa nampan berisi makanan. Dia tak datang sendirian, Rico bersamanya ikut datang dan duduk di depan Yanti. Sekali lagi Yanti membeku tak tahu harus melakukan apa. "Kenapa kau membawa sekretarismu?" tanya Laras bingung. "Ya agar dia bisa bicara dengan temanmu." Sebastian menjawab dengan nada enteng. "Kau gila, ini kelihatan seperti kita berkencan," omel Laras namun dengan bisikan pelan. "Baguslah biarkan semua orang berpikir begitu." Beda hal dengan Laras yang mengecilkan suara, Sebastian sengaja membesarkan suaranya dan membuat semua orang memperhatikan mereka. Yanti sendiri langsung terbatuk. Pipinya memerah begitu kalimat dari Sebastian terucap. Sebelum sempat mengambil minuman Rico sudah memberikannya lebih dahulu. Malu-malu Yanti menerima minuman Rico kemudian mengucap terima kasih dengan pelan. Rico hanya menganggukan kepala dan menatap pada Sebastian yang berbicara pada Laras. "Tuan apa Anda makan di sini karena pencitraan? Saya bisa memotret beberapa foto untuk Anda." "Tidak usah, aku hanya ingin makan di sini. Lebih baik kau makan saja." Sebastian lalu beralih pada Laras. "Besok aku akan mengajakmu makan ke tempat yang lebih bagus. Kantin ini sesak." Laras sontak menggeleng. "Aku suka di sini, Yanti dan aku sering makan di kantin sebab ditanggung perusahaan jadi terima kasih atas ajakannya." "Tapi lebih baik cari suasana baru bukan?" Laras diam saja tak menanggapi seakan Sebastian tidak ada di sana. Dunia pun tampak ikut setuju, sebelum sempat Sebastian berucap ponsel Laras berdering. Laras buru-buru mengangkat, seraya menjauh dari kantin. "Halo Bu Sri," ucap Laras. "Akhirnya nomormu aktif juga. Kamu dari mana saja? Saya sudah nelpon kamu buat tanya uang kos, kamu juga tidak pernah datang ke kos selama dua bulan, kamu pikir kos Ibu ini gratis kalau kamu nggak bayar uang kos sekarang juga silakan ambil barang-barangmu!" suara kasar terdengar dari balik telepon. "Jangan begitu Bu, maaf saya lagi sibuk sama urusan pribadi tenang saja saya akan langsung bayar kok. Maaf Bu saya janji tidak akan telat bayar lagi." "Ibu pegang kata-katamu, ingat transfer sekarang." Panggilan kemudian ditutup oleh lawan bicara. Laras menghela napas berat dan membayar tagihan kos lewat ponsel. Laras lalu membuka aplikasi chat menemukan banyak pesan yang belum dia baca termasuk beberapa panggilan terlewat. Lucy tak pernah mengirimnya pesan satu pun sebuah tanda jika dia masih perlu berpikir. Kecewa tapi sedikit lega. Lucy mencoba untuk hidup sendiri dari kekangan Sebastian, itu sudah lebih baik dari pada harus terkurung dalam sebuah hubungan toxic. Notifikasi chat muncul, Laras mengenal nama pengirimnya. "Laras, kamu mau ke reuni nggak?" Alis Laras terangkat, dia kemudian membalas pesan dari teman semasa SMA-nya. Laras mengirimi chat balasannya sembari berjalan masuk lagi ke kantin. Tak berapa lama Sebastian yang keluar dari kantin karena menerima telepon. Dia berjalan agak lebih jauh agar tak ada yang bisa mendengarkan percakapannya dengan si penelepon. "Tuan kami sudah menemukan Nona, dia ternyata tinggal di sebuah desa yang memang agak jauh dari kota." Sebastian tidak berucap apapun, sebab masalah pribadi dan bisnis dia jadi melupakan sepenuhnya Lucy. "Terima kasih atas informasinya, aku akan membayar gaji kalian segera." "Tapi Tuan bagaimana dengan Nona? Apa kau tidak ingin meminta kami menjemput Nona untuk pulang?" tanya si penelepon bingung. Sebastian menyunggingkan senyum. Sebuah senyum sinis. "Untuk apa kau membawanya pulang? Kalian segera pergi dari sana, tak usah peduli padanya lagi." "Tuan..." "Aku sudah memiliki seseorang yang lebih baik di sini jadi aku tak peduli mau dia hidup atau tidak, mau dia punya pacar baru atau akan menikah itu urusannya bukan urusanku." Sebastian berucap enteng. 'Baik Tuan, kami akan pulang," sahut si penelepon. "Oh ya jangan lupa kalian tak boleh membicarakan hal ini di depan Nona Laras. Kalian juga harus merahasiakan tentang ini pada Gino." "Baik Tuan, akan kami laksanakan perintah Tuan tapi apa boleh saya bertanya?" tanya si penelepon. "Tentu." "Apa Nona Laras sudah menggantikan posisi Nona di rumah?" Pertanyaan si penelepon membuat Sebastian tersenyum penuh arti. "Kalian tak perlu memanggilnya Nona, dia hanya orang asing yang tidak penting. Nona kalian adalah Laras. Satu hal lagi tolong bagikan lokasinya padaku." Panggilan kemudian ditutup oleh Sebastian secara sepihak. Lokasi telah dikirimkan. Sebastian langsung membagikan lokasi pada nomor yang tak dikenal. Tak lupa dia menulis sebuah chat. "Ini lokasi wanita yang kau cintai, good luck." Sebuah panggilan masuk lagi. Itu dari nomor yang tak dikenal dan Sebastian mengangkatnya dengan senang hati. "Maksud kamu apa mengirimku chat seperti itu?" tanya seorang pria. "Memangnya salah ya dengan chatku, memang benar, kan kalau kau menyukai dia? Pergilah... jemput dia." "Ada apa denganmu?! Kenapa tiba-tiba saja memintaku untuk menjemputnya?! Dia kekasihmu, kau adalah orang yang paling dia cintai!" hardik pria itu. "Sayangnya aku tak peduli padanya lagi. Aku merasa setelah dia pergi, hidupku jauh lebih baik tanpanya, sia-sia sekali selama beberapa tahun ini aku menghabiskan waktu bersama dia, kenapa aku harus bertemu dengan dia lebih dulu? Kenapa aku tidak bertemu dengan Laras lebih dulu?" sahut Sebastian santai. Dari balik telepon pria itu mendengus kesal. "Harusnya aku sadar dari awal, dari dulu sifatmu sudah seperti ini. Kau memperlakukannya seperti dia barang, jika sudah tak berguna maka kau seenaknya membuangnya, kau memang tak punya hati. Kau tak pantas mendapat wanita sepertinya." "Terserah kau mau katakan apa. Jika kau masih mempedulikannya silakan ambil saja." Sebastian menutup telepon. Dia berbalik melangkah menuju kantin lagi di mana Yanti dan Laras asyik mengobrol sementara Rico hanya mendengarkan. "Kau mau pulang kampung?" Pertanyaan Yanti lantas menyita perhatian Sebastian. Dia langsung duduk dan memandangi wanita di depannya tajam. "Iya, aku mau pulang. Ada reuni di SMA jadi aku rasa sekalian lepas kangen sama Mama dan Papa." Laras lalu melihat pada Sebastian. "Jadi aku bisa tidak ke sana?" tanya Laras berhati-hati. Sebastian tidak menjawab, dia menyelesaikan makanannya kemudian pergi bersama dengan Rico yang ikut mengejarnya. "Bagaimana ini? Kalau dia marah kau tidak diberikan izin untuk pergi," kata Yanti khawatir. Takut jika Sebastian akan melakukan sesuatu yang huruk hanya agar bisa menghentikan Laras pulang. "Tidak usah khawatir, aku akan bicara padanya. Santai saja." Laras berucap berusaha menenangkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN