Beberapa hari berlalu Sebastian tetap dengan kebiasaannya yang merokok. Kadang di gudang sekolah, dalam gudang atau kelas yang tak terpakai. Semakin lama kebiasaan ini membuatnya jemu, rasa lapar pun tak bisa dipuaskan hanya dua batang rokok.
Kalau seperti ini terus menerus maka Sebastian akan sakit. Apa sebaiknya dia menerima uang dari Gino? Dalam kekalutan berpikir, pintu gudang sekolah terbuka. Seorang gadis berjalan masuk dengan raut wajah yang masam.
"Sampai kapan sih hukumanku berakhir? Aku lelah seharian membersihkan WC," keluh si gadis. Si gadis lantas bertemu mata dengan Sebastian sebelum akhirnya beralih pada rokok yang ditangannya.
"Kau merokok?" Gadis itu berjalan mendekat. Sebastian langsung menjatuhkan rokok di tangan dan menginjaknya agar tak menyala. Dia juga berjalan menjauhkan diri dari si gadis.
"Kau melanggar peraturan sekolah! Ayo ikut aku ke ruang BK." Sebastian tak berbicara tapi suara perut yang lapar terdengar.
"Eh kau lapar ya?" kembali si gadjs bertanya. Sebastian diam saja tapi pipinya memerah malu. "Kau tidak punya uang ya untuk membeli makanan? Kasihan sekali."
Pintu gudang sekolah terbuka. Pak Gutu berjalan masuk ke dalam melihat seksama ruangan itu tampaknya tahu jika ada seseorang yang masuk ke dalam gudang. "Kenapa kau ada di sini? Sebentar lagi bel masuk berbunyi..." perhatian Pak Guru lalu tertuju pada sebuah benda kecil yang berada dekat kaki perempuan.
Pak Guru berjalan maju, ekspresinya berubah ketika melihat sebuah rokok. "Oh itu sebabnya kamu masuk ke gedung sekolah, kamu merokok rupanya."
"Pak itu bukan milik saya, itu punya orang lain," bantah gadis itu cepat.
"Jangan mengelak kamu! Di sini selain kamu siapa lagi? Ayo ikut saya ke ruang BK!" seru Pak Guru memaksa.
"Pak itu bukan punya saya ada kok orang lain di sini." Si gadis masih bersikukuh.
"Udah ada buktinya, cepat ke ruang BK atau saya tambahin hukuman kamu." Si gadis menggigit bibir kesal. Dia pun berjalan keluar dari gudang beserta Pak Guru yang sedang mengomel.
Sebastian berjalan keluar dari persembunyian. Lega dan sedikit bersalah sebab karena dia si gadis itu terkena masalah.
***
"Ma, aku serius aku tidak merokok loh Pak Guru yang tidak mau mendengarkan alasanku." Lagi Sebastian melihat gadis bersama dengan Ibunya keluar dari ruang BK.
Wanita dewasa itu adalah Ibu yang sama beberapa hari lalu berada di ruang BK. "Sudah jangan banyak protes. Mama tahu kamu tidak salah, Mama percaya sama kamu." Ibu itu menenangkan putrinya dengan merangkul pundaknya.
"Tapi aku kesal cowok itu tidak mau bertanggung jawab. Dia pengecut."
"Eh jangan bilang begitu, semua punya alasan Laras. Kita tidak tahu apa pemikirannya dia, bisa saja orang tuanya itu punya sikap yang negatif saat tahu anaknya punya masalah biarkan saja selama itu baik."
Gadis itu mengembuskan napas panjang. "Terserah." Kemudian keduanya pergi berjalan menyusuri koridor sekolah. Sebastian dari kejauhan melihat mereka dan tampak seperti deja vu, hampir saja Sebastian terlibat dengan gadis pembawa masalah.
***
Lagi beberapa hari berlalu Sebastian kembali pada aktivitasnya tapi sayang gudang telah di tutup total sehingga Sebastian tak bisa merokok lagi di sana. Beberapa hari ini juga sering pengurus osis menggeledah tas.
Kalau seperti ini terus, Sebastian akan ketahuan. Dia tak mau Gino datang ke sekolah untuk menjadi walinya. Tak ingin merepotkan pria itu lebih berat lagi.
"Akhirnya aku menemukanmu." Sebastian terkejut mendengar suara yang begitu akrab. Dia yang sedang bersantai di belakang gudang sekolah buru-buru mematikan rokok dan berjalan menjauh dari seorang gadis. Gadis yang tak ingin dia kenali.
"Eh tunggu jangan pergi." Gadis itu berjalan mendekat. Dia menarik Sebastian agar menghadap ke arahnya dan memberikan sebuah kotak makan siang. "Untukmu, di makan ya. Mulai hari ini sampai seterusnya, jangan merokok aku akan menyiapkan makanan untukmu. Tunggu saja aku di sini setelah istirahat."
Sebastian yang menunduk menatap kotak makan siang itu. Pandangannya mengabur dan sebuah tetesan air jatuh tak lama, dia mengangkat kepala kali ini berani memandang punggung si gadis.
"Terima kasih," ucap Sebastian pelan. Meski demikian sang gadis tak menyambut ucapannya. Dia terlanjur pergi dan Sebastian pun tak mengejarnya.
Akhirnya setelah kematian sang ibu ada juga seseorang yang memiliki simpati selain Gino. Hati Sebastian mulai menghangat, dia tersentuh akan kebaikan si gadis asing ini.
Sebastian ingin mencari tahu siapa gadis itu hanya sekadar untuk berbicara tapi dia sama sekali tak punya keberanian membuka suara hanya bisa menatap dari kejauhan meski memiiki beberapa kesempatan. Seperti sekarang Sebastian terus memandangi si gadis asing yang sibuk bercengkerama dengan temannya.
"Ekhem, apa kau sedang menyukai seseorang?" tanya salah seorang siswa. Sebastian tidak menjawab, sedikit kaget tapi sadar bahwa tindakannya yang hanya memandangi gadis itu bisa dikatakan terlihat aneh.
"Tenang saja, kau tidak terlihat aneh banyak sekali orang yang menyukai Lara. Banyak cowok sepertimu mengincar dia juga." Sebastian menatap jengah pada siswa disampingnya ini, fakta jika bukan hanya Sebastian yang mencoba mendekati gadis bernama Lara itu cukup menjengkelkan.
"Dia kelas berapa?" tanya Sebastian.
"Kelas 2 IPS." Sebastian tak banyak berbicara dan pergi begitu saja. Kalau dia terus mendengarkan siswa itu berbicara, Sebastian khawatir tak akan bisa mengontrol emosinya.
Hanya dengan satu informasi saja Sebastian bisa mencari sendiri dan karena ini pula Sebastian tahu bangku Lara. Dia yang begitu malu hanya bisa menulis beberapa surat. Sengaja datang lebih pagi hanya untuk menaruhnya di dalam laci meja itu.
Namun tak lama, Sebastian diminta oleh Ayahnya untuk pulang. Rupanya Sebastian adalah pemilik warisan sah dari harta sang Ibu. Ayahnya tidak berhak mendapatkan sepeserpun.
Watak Ayahnya tak berubah, dia pasti sedang mencari cara membujuk Sebastian untuk bisa mendapatkan harta warisan tapi sialnya Sebastian terlanjur sakit hati dan ini adalah salah satu caranya untuk membalas dendam.
Akhirnya Sebastian memilih pergi menyelesaikan urusan yang belum selesai tanpa berpamitan pada gadis bernama Lara. Berharap suatu hari dia akan bertemu dengannya lagi di lain kesempatan.
Harapan Sebastian terkabul. Nama Lara terpampang jelas di sebuah CV salah satu calon sekretaris barunya, latar belakangnya pun cocok membuat Sebastian girang bukan main. Sayangnya sikapnya begitu protektif dan Lara tidak senang.
Sekarang dengan belajar dari kesalahannya setelah Laras menasehati beberapa hal, Sebastian sadar dia tak akan gegabah. Dia jug tahu akan kesalahpahaman yang terjadi.
Semuanya terasa jelas mengapa Sebastian tak merasa sesuatu bersama dengan Lara sama seperti saat dia bersama dengan mantan tunangannya.
Jika menyangkut ego, Sebastian ingin Laras terus bersamanya tapi di sisi lain dia juga mau Laras bersamanya atas kemauan sendiri. Beginilah kebenaran harapan Sebastian. Silakan anggap Sebastian adalah pria egois dan menyakiti seseorang demi seorang lagi. Entah bagaimana akhirnya... Itu masih menjadi misteri.