Beberapa tahun yang lalu
Sebastian muda tidak mengerti mengapa Ayahnya mengirim dia ke kota lain bersama dengan Gino. Tak peduli jika Sebastian meraung ataupun menangis, Ayahnya dengan kejam mengusir dia dari kediaman sang Ibu.
Dia tak terima tapi apa yang bisa dilakukan oleh pemuda berusia 16 tahun selain pasrah. Uang pemberian dari Ayahnya pun tak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Gino notabenenya adalah seorang pelayan harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan.
Sebastian tak enak dengan hal itu. Dia bukan siapa-siapa tapi Gino harus menanggungnya. Sebab itu pula Sebastian sering menolak pemberian uang dari Gino. Meski diterima, Sebastian menyisihkan uang itu untuk tabungan sementara yang lainnya dia membeli rokok.
Iya, rokok. Rokok itu digunakan sebagai penahan lapar jangka panjang. Biasanya dia hanya membawa satu atau dua puntung rokok yang dipakai diam-diam saat istirahat. Seperti sekarang Sebastian menghisap rokok di belakang gudang sekolah yang jarang sekali ada orang di sana. Itu adalah tempat favoritnya menyendiri tak mau bersosialisasi dengan banyak orang.
"Lepaskan aku!" Suara seorang perempuan terdengar dari seberang. Diikuti dengan beberapa suara perempuan lain. Sebastian tak peduli dan tetap merokok.
"Ayo ngaku kamu kan yang nyebarin video itu." Seorang dari perempuan mencoba mengintimidasi yang lain. Ini bukan pembulian terlihat seperti melabrak. Sebastian menggelengkan kepala, sifat perempuan selalu seperti itu.
"Video apa? Aku tak mengerti ucapanmu."
"Cukup pura-puranya, kalau bukan kamu siapa lagi? Kamu kan yang memergoki aku dan pacarku bermesraan?" desak perempuan itu lagi.
"Tapi aku hanya lewat waktu itu. Aku pun tidak punya ponsel untuk merekam kau dan dia lalu apa buktimya video itu berasal dari aku?" Perempuan lainnya pun keras kepala tak ingin mengalah.
Sebastian tak tahu apa yang terjadi tapi dengan suara ribut jelas ada sebuah tamparan. "Jangan jadi jagoan di sini! Memangnya kamu siapa?!" bentak perempuan yang mendesak.
Dengan tembok yang menghalangi pandangan Sebastian terkejut tiba-tiba perempuan itu terpelanting jatuh ke tanah. Dari hidungnya keluar cairan merah yang membasahi seragam sekolahnya.
Perempuan itu sadar jika dia terluka dan mulai menangis sementara teman-temannya tampak panik membantu ia bangun. "Hei apa yang kalian lakukan?!" Sebastian yang tertegun langsung tersadar begitu mendengar suara guru. Dia segera mematikan rokok dan pergi, tak mau terlibat masalah juga.
***
Istirahat belum berakhir Sebastian yang masih tertarik dengan Kejadian tadi beranjak menuju ruang BK. Pintu tidak terkunci yang membuat dia bisa mendengar percakapan guru BK dengan beberapa siswi tadi.
Dari tempatnya berdiri juga dia bisa melihat dua wanita dewasa bersitegang satu sama lain. "Pokoknya saya tak mau tahu ya Bu, dia harus minta maaf sekaligus bayar perawatan rumah sakit anak saya!" kata salah seorang wanita.
"Tapi anak Ibu yang duluan memukul saya!" Masih si perempuan keras kepala bersikukuh. "Laras hentikan!" Suara tegas itu keluar dari wanita yang lain.
"Biar dia yang salah tapi kamu juga salah karena melukainya. Mama tak pernah mengajarkan kamu untuk melukai orang lain!" Laras mendengus, dia lantas menaruh punggungnya di kursi sambil bersidekap d**a.
Wanita yang adalah Ibu Laras berbalik memandang Ibu dengan anaknya yang masih memegang hidungnya. "Saya meminta maaf Bu atas masalah yang ditimbulkan oleh anak saya. Saya berjanji akan membayar biaya rumah sakit bila perlu. Anak saya juga akan menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatannya."
"Bagus kalau begitu Ibu bisa bertanggung jawab tidak seperti anaknya." Ibu dari anak perempuan lain menatap sinis pada Laras.
"Ayo minta maaf sama Kiki, kamu memang salah." Perintah dari Ibunya membuat Laras mendesah kesal. Dia kemudian berdiri menghadap pada perempuan yang dia pukuli.
"Aku minta maaf atas kesalahanku. Aku sangat menyesal..." Ibu dan anak perempuan itu tampak tersenyum puas tapi Laras belum menyelesaikan kata-katanya. "Tapi apa Ibu tahu alasan kenapa kami bertengkar?" tanya Laras.
Si anak perempuan membulatkan mata, sadar jika Laras akan memberitahunya tentang video yang beredar. "Apa maksudmu Laras? Sudah jelas kita di sini sedang membicarakan kelakuanmu yang buruk? Kenapa kau tiba-tiba mengalihkan pembicaraan?" tanya si anak perempuan. Dia tampak cemas.
"Sebenarnya Ibu pun penasaran." Suara guru BK ikut nimbrung. "Apa permasalahannya sampai-sampai kalian berkelahi? Tidak mungkin tidak ada masalah kalian bertengkar hebat."
Laras tersenyum membenarkan ucapan guru BK. "Masalahnya di awal adalah aku pernah memergoki Kiki dan pacarnya bermesraan setelah sepulang sekolah. Kiki pikir karena aku memergoki mereka, aku dituduh menyebarkan sebuah video tentang mereka."
Keringat dingin muncul di pelipis Kiki sedang teman-teman Kiki yang lain menunduk gusar. "Video? Video tentang apa?" tanya Ibu Kiki bingung.
"Aku tak tahu video apa, coba tanya pada mereka." Pandangan Laras lalu melirik pada sebuah ponsel milik salah seorang perempuan. Dia berusaha menyembumyikan ponsel tapi Ibu Kiki lebih cepat mengambil dan mencari video itu.
Raut wajah Ibu Kiki berubah pucat kemudian merah padam. Dia memandangi sang putri dengan pandangan penuh kebencian. "Aku bisa jelasin...." sebelum sempat menyelesaikan perkataannya, Kiki mendapat tamparan keras di pipi cukup membuatnya jatuh dari kursi.
"Dasar anak tak tahu diri, beraninya kamu membuatku malu! Bangun kamu, bangun!" Kiki dengan tubuh bergetar ditarik paksa oleh Ibunya sendiri. Air mata terus beruraian di pipi hanya bisa pasrah keluar dari ruang BK.
Sepanjang koridor Sebastian bisa mendengar suara cemprang Ibu Kiki membentak putrinya. "Jadi kalian tahu selama ini? Lalu kenapa kalian tak melapor ke sekolah?" Kali ini guru BK mengintimidasi beberapa siswi yang juga terlibat dalam perkelahian itu.
"Mohon maaf Bu, bagaimana dengan hukuman anak saya? Saya harap dia juga diberikan hukuman setimpal."
"Untuk Laras, dia akan diskors satu minggu ke depan dan akan menjalani hukuman lain setelah dia masuk."
"Baik Bu, terima kasih saya janji akan memperhatikan putri saya. Kami pamit undur diri." Guru BK mengangguk dan kembali memusatkan perhatian pada yang lain sementara Laras serta Ibunya berjalan keluar.
"Kamu ini kenapa harus dia sekeras itu? Mama dan Papa tidak mengajarimu membalas sampai melukai dia setidaknya satu pukulan tipis saja."
"Aku juga tidak tahu kalau pukulanku sekeras itu. Lagi pula dia yang tampar aku duluan jadi aku membalasnya. Apa Mama bisa merahasiakan ini dari Papa? Aku tak mau sampai dia tahu kalau aku berkelahi."
"Kalau soal itu Mama saja yang urus kamu tenang saja. Oh ya karena hari ini kamu diminta pulang lebih awal ayo ikut Mama kita ke mall, Mama mau belanja." Percakapan antara Ibu dan Laras diperhatikan oleh Sebastian dari jauh.
Saat Kiki dipaksa pulang Sebastian mencoba untuk menjaga jarak. Kalau dipikir-pikir ngeri juga gadis bernama Laras itu. Selain karena dia melukai Kiki, dia juga bisa memanfaatkan situasi dengan baik. Ada bagusnya Sebastian tak mengenal dia.