Lara termenung. Dia membeku sesaat menangkap siluet seseorang yang dia kenali. Padahal Lara sendiri telah mencoba menghapus dan memikirkan segala kemungkinan yang ada.
Meski Lara tahu jika bisa saja pria itu menemukannya dengan mudah tapi sampai sekarang tidak ada tanda-tanda jika keberadaannya diketahui. Apa dia datang ke reuni ini untuk menemukannya? Banyak sekali pertanyaan dalam benak Lara yang ingin sekali mendapat jawaban.
"Lara, kamu kenapa? Wajahmu pucat begitu?" tanya sang lawan bicara. Lara mencoba tersenyum dan menjawab sekenanya.
"Aku tak apa-apa. Oh ya, aku harus pergi. Nanti kita bicara lagi." Lawan bicaranya hanya menganggukan kepala tanda mengerti lalu mereka berpisah.
Lara kembali melihat pria itu. Meski memiliki jarak dia bisa menelisik wajah sang kekasih. Ya, dia akui jika bersama dengan pria itu begitu menyakitkan sebab memori bagaimana kekasihnya itu membela wanita lain tapi di sisi satunya, dia begitu posesif begitu membekas dalam ingatan.
Lara dibuat bingung mengapa pria itu tak bisa memilih antara dia dan wanita itu jika memang dia mencintai Lara? Apakah sesusah itu menentukan pilihan? Intinya adalah Lara pergi sebab dia lelah dengan hubungan mereka yang tak menentu.
Menatap lekat lagi, Lara kembali merasa suatu getaran rindu yang kuat dalam dirinya. Tak bisa dipungkiri masih ada rasa untuk sang pria dan melihat dia dari jarak yang tak terlalu jauh cukup meluluhkan hati yang begitu lelah.
Setiap memori pahit pasti akan ada selalu kenangan manis. Lara masih ingat setiap tulisan surat yang dibuat oleh pria itu dan bagaimana Lara dilindungi dari beberapa orang yang kejam. Lara merindukan hal itu.
Rindu akan segala kenangan indah mereka. Tanpa sadar Lara berjalan dengan langkah pasti bergerak pada pria yang kini membelakanginya. Dia tak sabar ingin memeluk dan pulang kembali pada rumah mereka.
Sebelum sempat Lara menjulurkan tangan menyentuh punggung pria itu, sebuah nama keluar dari mulutnya. Nama yang sama sekali tidak asing tapi cukup membuat Lara terkejut.
"Laras." Pria itu berjalan menjauh dari Lara tanpa menyadari kehadiran wanita itu untuk menghampiri sahabatnya, Laras.
***
"Kenapa memanggilku? Rindu ya." Laras memandangi Sebastian dengan senyuman mengejek. Pria itu seperti hewan peliharaan yang senang bisa bertemu kembali dengan majikannya.
"Bisa jadi." Sebastian menjawab singkat dengan senyum, sebuah senyum aneh menurut Laras. Wanita itu lantas menepis pikirannya dan kembali fokus pada obrolan.
"Kau tak takut ya aku melaporkanmu pada temanku? Kalau dia datang aku akan langsung mengatakan semuanya termasuk saat kau menggodaku."
Sebastian bukannya takut senyumannya makin lebar saja. "Coba saja bilang, aku tidak takut tapi memangnya dia akan percaya padamu?" tanya Sebastian menantang.
Laras termenung. Mengapa pria di depannya ini begitu percaya diri? Laras tahu jika Sebastian memiliki kepercayaan diri yang bagus tapi entahlah ada sesuatu dari sudut pandangnya.
"Sudahlah dari pada kita bertengkar lebih baik ayo pulang, aku ingin beristirahat." Sebastian ikut saja di belakang sembari meraih ponsel di sakunya.
"Bisa tidak kita jangan dulu telpon supirmu, aku mau berjalan dulu." Meski sedikit terkejut tapi Sebastian menurut saja dan berjalan mengikuti wanita itu.
Keduanya kini berjalan beriringan dengan langkah santai. "Sebenarnya aku datang ke reuni bukan hanya untuk bertemu dengan teman-temanku tapi aku ingin bertemu seseorang."
Sebastian lantas menajamkan pandangan, ekspresi tak suka jelas tampak di wajah. "Aku sebenarnya sedang mencari seorang siswa yang sering aku bawakan bekal."
Laras menghentikan langkah begitu juga dengan Sebastian. Dia tak menyadari perubahan raut wajah dari bosnya itu. "Aku pernah kena masalah karena laki-laki itu, aku awalnya marah tapi setelah aku berpikir lama aku jadi kasihan padanya. Setiap istirahat aku sadar dia tak pernah datang ke kantin. Dia juga tidak pernah terlihat bergaul dengan teman-temannya jadi aku berinisiatif untuk mencoba dekat dengan memberikannya bekal. Tapi setelah itu kami tak punya kesempatan. Dia katanya pindah lagi."
Sebastian diam saja mendengar penuturan Laras. Tak tahu harus bereaksi apa. Dia pun tidak berani mengatakan yang sebenarnya. "Harusnya aku lebih berani menyapa, aku menyesal sebab tahu dia kesepian tapi tak melakukan apapun hanya memberikannya bekal saja. Tapi kalau pun bertemu lagi aku rasa dia tak mengenalku begitu juga aku ... aku saja lupa bagaimana rupanya," lanjut Laras sambil tersenyum getir.
"Dia pasti berterima kasih padamu." Laras yang memandang ke depan beralih pada Sebastian. Pria itu akhirnya bersuara.
"Benarkah?" tanya Laras meragu.
"Tentu, sebagai seorang pria dan meski aku memiliki kepribadian yang buruk, aku akan membalas budi pada orang-orang yang baik padaku. Itulah seorang pria. Mereka tidak akan melupakan kebaikan sekecil apapun itu dan aku yakin, dia pun tak melupakan kebaikan yang kamu buat."
Laras memandangi Sebastian lekat. Menemukan keseriusan dalam tatapannya tanda Sebastian tidak berusaha menghibur. Dia tak ragu seperti Laras.
Lantas, wanita itu tersenyum. "Terima kasih sudah membuatku merasa lebih baik. Aku jadi penasaran sekarang, Apa dia berusaha mencariku juga?" tanya Laras bergurau.
"Bisa saja atau bahkan dia mencarimu lebih dulu sayangnya karena salah jalan dia tidak bisa menemukanmu." Laras tidak mengerti ucapan Sebastian tapi dia tersenyum menganggap ucapan sang lawan bicara hanyalah sebuah candaan.
Setetes air jatuh menimpa kepala Laras diikuti dengan gerimis hujan yang semakin lama semakin deras. Sebastian meraih tangannya dan berjalan cepat menuju sebuah terminal bus yang sepi.
"Aku akan menelepon supirku, biar dia menjemput kita di sini." Laras mengangguk pelan, sambil memeluk tubuhnya yang terasa dingin. Udara yang sejuk memperburuk keadaan.
Laras mencoba untuk tidak menggigil setidaknya sampai sebuah jas menutupi tubuhnya. Dia menoleh ke samping menemukan Sebastian sibuk dengan ponsel hanya mengenakan kemeja polos berwarna putih.
Laras mempererat jas yang dikenakan. Dia bisa mencium aroma parfum milik Sebastian yang membuatnya tenang. "Sebentar lagi supir akan datang menjemput."
Tidak ada jawaban dari Laras dan suasana menjadi hening sebentar sebelum suara hujan menyambut. Sebastian kemudian berjalan mendekat lalu duduk di samping Laras. Entah mengapa suasana canggung terasa kental sekali padahal selama ini mereka selalu mengobrol santai.
Apa ini semua karena suasana malam ini begitu dingin? Mungkin saja. "Laras, aku ingin bertanya sesuatu. Ini menyangkut Lara." Lara sontak menoleh, matanya mengerjap mata beberapa kali. Dalam hati merutuk kesal, hampir saja dia lupa jika nama temannya adalah Lara.
Karena sering memakai nama "Lucy" Laras jadi terbiasa mengucapkan nama samaran yang ia buat sendiri. "Ah iya, mau tanya apa?" tanya Laras berusaha menutup kegugupannya.
"Kalau Lara datang dan aku ingin putus, apa kau tidak keberatan?" tanya Sebastian.
"Tentu, selama kau putus dengannya baik-baik. Tidak ada yang salah kok kalau kamu ingin sendiri atau fokus pada hal lain. Semuanya terserah kamu," sahut Laras lugas.
"Lalu bagaimana dengan kita? Apa kita akan tetap menjadi teman?" tanya Sebastian lagi.
"Wah itu pertanyaan yang cukup rumit. Kalau bisa dibilang aku akan memihak Lara."
"Kenapa?" tanya Sebastian terdengar kesal.
"Karena dia temanku."
"Tapi aku temanmu juga," sergah Sebastian cepat.
"Kau tak mengerti, sebagai seorang sahabat yang sejak kecil sudah berteman dengan Lara, aku tak mungkin mengkhianati sahabatku dengan tetap berteman denganmu."
"Lalu bagaimana jika aku masih ingin berteman denganmu? Apa kau tetap memilih dia ketimbang aku?" tanya Sebastian makin lama terdengar suara kemarahan di sana.
"Iya." Tidak ada keraguan dari jawaban singkat Laras.
"Kenapa?"
"Karena kau telah mengkhianati sahabatku dengan mencoba membuatku dekat denganmu. Itu tanda jika kau sebenarnya menginginkanku dan mencoba menyingkirkan Lara. Kau sudah menyakiti hatinya dan aku tak terima hal itu."