Akhirnya Laras kembali mengepak barang sementara Sebastian sendiri alih-alih ikut membantu, dia mengambil foto kamar Laras dan mengirim pesan dengan seseorang entah pada siapa. Laras pun tak peduli, selama pria itu tak mengganggu.
Koper milik Laras akhirnya siap dengan di dalamnya ada beberapa barang. Tinggal membuat benda itu berdiri agar tak memakan tempat. Mungkin beban di dalamnya begitu banyak Laras agak kesusahan.
"Sini biar aku bantu." Tangan Sebastian relfek menyentuh pegangan koper di mana tangan Laras berada. Buru-buru Laras melepaskan koper dan menjauh beberapa langkah.
"Kenapa reaksimu begitu? Aku cuma membantu kok."
"Ya aku hanya ingin jaga jarak, kau kan pacar temanku. Aku tidak mau sampai ada yang berpikir kalau aku merebut kamu dari dia."
Sebastian melirik sebentar, dia tersenyum kecil seraya memindahkan koper milik Laras. "Kalau mau menggodaku boleh kok."
"Maksudmu apa? Senang digodain gitu? Kau tak takut kalau aku bilang pada dia?" tanya Laras menantang.
"Tentu, aku tak takut." Sebastian menjawab tenang. Dipandanginya Laras yang menunjukkan raut wajah masam. "Kau serius tidak mau pulang bersamaku?" tanya pria itu intonasinya terkesan serius.
"Tidak, aku mau tidur di sini lagi pula besok pun aku tak akan bekerja aku sudah dapat surat cuti untuk itu. Kalau kau bersikeras, aku bisa melawan kok," balas Laras sengit sambil tetap memandangi Sebastian, layaknya sebuah tanda kalau Laras tak main-main.
"Baiklah kalau itu maumu."
"Hah?" gumam Laras. Matanya membulat mendengar balasan Laras. Apa ucapan Yanti benar? Sebastian sering setuju karena menyukaimya? Laras buru-buru menolak pemikiran itu. Tidak, dia tak boleh menarik kesimpulan terlalu cepat.
"Lagi pula ada renovasi di rumahku, aku tak akan membiarkan tamu sepertimu melihat keadaan rumah berantakan," lanjut Sebastian memberi alasan.
"Benarkah? Aku rasa rumahmu baik-baik saja saat kita pergi kerja."
"Itu terserahku, kalau aku mau ganti suasana ya aku harus renovasi rumah." Sebastian menyahut ketus.
"Kalau begitu aku pamit dulu, sampai jumpa besok." Sebastian benar-benar pergi tanpa mendengar Laras yang mencoba bersuara. Meski mereka bertengkar kecil, Laras setidaknya harus mengucap salam perpisahan.
"Apaan itu tadi, sampai jumpa besok? Aku, kan mau pulang kampung," gumam Laras sendiri.
***
Laras tiba di bandara sekitar jam 5 pagi, sengaja jam penerbangan yang dia pilih pagi agar tak terlalu siang dan bisa mendapat jam istirahat. Dia tersenyum, tak sabar ingin bertemu dengan orang tuanya.
Tibalah untuk mengecek tiket pesawat. Laras dengan tenang memberikan tiket miliknya pada pramugari. "Nona maaf sepertinya anda kendala di sini. Tiket Anda sepertinya tidak bisa digunakan."
"Terus, bagaimana? Aku masih bisa pergi hari ini?" tanya Laras khawatir.
"Tenang saja Nona, kami baru saja mendapat kabar jika ada seorang penumpang yang baru saja membatalkan tiketnya. Anda masih bisa menggunakan kursinya."
"Oh syukurlah. Kalau boleh tahu apa ada semacam biaya ekstra atau semacamnya?" tanya Laras lagi berhati-hati.
"Tidak Nona. Ini tiket Anda, nikmati perjalanan menggunakan maskapai kami." Laras menganggukan kepala dan berjalan menuju pintu yang terhubung dengan pesawat.
Seorang pramugari kembali ia temui. "Selamat datang," ucapnya ramah. Laras tersenyum dan memberikan tiket untuknya. Si pramugari melihat sebentar dan merobek ujung tiket.
"Mari ikuti saya." Laras patuh saja mengikuti pramugari yang mengantarnya menuju kursi. Melewati ruang kelas ekonomi keduanya kemudian masuk ke dalam kelas bisnis.
Pramugari kemudian berhenti mempersilakan Laras agar duduk di salah satu kursi. Laras terpana, tak menyangka jika dia akan berada di kelas bisnis.
"Nikmati perjalanannya Nona." Pramugari itu pergi meninggalkan Laras yang masih terkagum. Pandangannya beredar pada tv di depan kursi serta beberapa tombol. Tampak mahal dan elegan.
Laras tak percaya menikmati perjalanan kelas dengan biaya kelas ekonomi? Wah ini suatu keberuntungan. "Astaga aku tak percaya kita naik di pesawat yang sama, nomor kursi kita berdekatan juga."
Suara ini... Laras mengenalnya. Seorang pria tersenyum lebar ketika Laras memalingkan muka. "Kok kau ada di sini?" tanya Laras pada pria yang tak lain adalah Sebastian.
"Ya aku juga ada perjalanan bisnis di kotamu. Kebetulan sekali bukan?" Dengan kehadiran Sebastian Laras akhirnya sadar tidak mungkin dia memperoleh semua fasilitas mewah ini tanpa campur tangannya.
Laras menghela napas. Sepertinya menjauh dari Sebastian tampak mustahil. "Sudahlah aku tak peduli alasanmu apa. Kerjakan saja pekerjaanmu dan aku dengan pekerjaanku."
"Tapi aku butuh bantuanmu sekarang. Bisa tidak aku tinggal di rumahmu? Menginap beberapa hari."
Mata Laras melebar sontak raut wajahnya berubah jengkel. "Nggak bisa, apa susahnya bayar hotel penginapan juga boleh kenapa harus di rumahku?" omel Laras kesal.
"Kita, kan teman Laras. Sebagai teman bukankah kita seharusnya saling membantu." Sebastian membalas dengan senyum lebar.
"Membantu sebab kau memberikanku kelas bisnis begitu?" Laras berucap dengan gaya menyolot.
"Nah itu tahu, semua kan nggak ada yang gratis." Laras mendengus. Tidak ada yang bisa dilakukan selain setuju. Tentu saja sebab membalas kebaikan Sebastian atau ini adalah jebakan? Laras sendiri tak tahu mengapa semua ini terjadi.
"Baiklah tapi jangan kau mengatakan hal yang aneh apapun pada orangtuaku." Laras kemudian memberikan penghalang antara dia dan Sebastian. Pria itu begitu mengganggu.
***
Dengan membawa koper Laras dan Sebastian bergerak menyusuri jalan kompleks perumahan. Pesawat tiba ketika hari telah menjadi malam meski tidak terlalu larut. "Ingat ya perkataanku jangan katakan hal yang aneh pada mereka."
Sebastian tidak menjawab hanya tersenyum kecil. "Apa kau merasa keberatan dengan kopermu? Aku bisa membantu."
"Nggak usah aku bisa kok." Laras dan Sebastian akhirnya tiba di sebuah rumah sederhana dengan pagar mengelilingi sekitar rumah itu. Laras memencet bel. Tak lama dua orang keluar dengan senyum lebar.
Mereka menghampiri Laras, tak malu-malu memeluk Laras setelah menanggung kerinduan yang cukup lama mengingat jika Laras bekerja di kota lain. "Senang rasanya kau kembali, ayo masuk Mama sudah buatkan makanan favoritmu."
"Sebelum itu Ma, aku mau perkenalkan seseorang." Dua orang yang tak lain adalah orang tua dari Laras akhirnya sadar akan kehadiran Sebastian.
"Perkenalkan dia..." Laras menggantungkan katanya, menatap segan pada Sebastian.
"Namaku Sebastian, senang bertemu dengan kalian Ayah dan Ibu Laras. Aku adalah..."
"Dia teman sekolahku. Dia ikut reuni denganku sayangnya ada kendala. Dia tak punya tempat untuk menginap. Bisa tidak dia menginap di rumah kita?" tanya Laras berhati-hati. Sebastian diam saja memberikan lagi senyuman agar tidak terlihat gugup.
"Tentu sayang, kamar tamu kita tersedia bagi semua tamu. Ayo masuk kalian berdua. Makan malam sudah siap." Laras menghembuskan napas lega. Dia memperhatikan lagi Sebastian yang ikut menatapnya. Entah apa arti tatapannya itu tapi senyum Sebastian terlihat penuh makna.