Angin berhembus membuatku sedikit meringis kedinginan. Hal itu membuat kunang-kunang yang berada dijariku tadi pergi. Aku bangkit dari duduk-ku, tetapi tidak melangkah pergi.
"Menikmati pemandangan ini, heh?"
Tubuhku menegang ketika mendengar suara seseorang yang terdengar dari belakang. Suara yang sangat rendah dan ... familiar.
Aku perlahan berbalik. Remang-remang, aku melihat wajah seseorang yang sangat aku kenali. Kendrick.
Tapi tunggu. Ada yang berbeda darinya. Sekitar yang gelap tanpa ada penerangan lebih disini selain rembulan membuat wajah Kendrick tidak begitu terlihat jelas. Aku melangkah mendekatinya. Ingin melihat lebih dekat. Tetapi saat sudah tepat didepannya, sesuatu yang tadi kulihat sudah menghilang.
"Matamu..." Bisa kulihat kini Kendrick menaikkan satu alisnya. Aku menggeleng pelan. Mungkin aku salah lihat. Tapi tadi sepertinya matanya berwarna merah.
"Kenapa kau selalu mengagetkanku? Dan bagaimana kau tahu aku ada disini?" Kataku mencoba melupakan hal tadi.
"Karena kau sangat mudah ditebak. Tanpa perlu berpikir panjang pun aku tahu kau sangat penasaran pada tempat ini." Aku memicingkan mata, menatap Kendrick yang terlihat mencurigakan.
Kendrick maju selangkah, ia melepaskan jubah hitamnya lalu memakaikannya ke pundakku.
"Udara malam sangat dingin. Bagaimana bisa kau keluar dengan pakaian seperti ini?" Ujarnya membuat kesadaranku kembali. Aku sedikit kaget dengan perlakuannya tadi.
Aku membuang muka menatap ke samping. Sadar jika saat ini wajahku memanas. "Memangnya ditempat ini ada pakaian lain selain gaun?"
Tak menadapati jawaban membuatku menoleh, menatap Kendrick yang masih terdiam menatapku.
"Sebaiknya kau masuk sekarang. Kau sudah lama berada diluar." Kendrick hendak berbalik.
Melihat itu aku menatapnya kesal. "Aku masih mau disini."
"Kenapa?"
Aku berbalik kembali menatap hamparan danau ini. "Karena disini sangat indah."
Bisa kudengarkan langkah kaki yang mendekat. Kendrick berhenti disampingku. Ikut menatap ke danau. "Baiklah. Tapi jangan salahkan aku jika besok kau sakit."
Aku mendengkus kesal ketika mendengar perkataannya. "Tuan Kendrick yang terhormat, maaf saya tidak seperti yang Anda bayangkan. Tubuh saya jauh lebih sehat dibanding yang Anda lihat." Ucapku sedikit menekankan setiap kata.
"Benarkah?"
Bibirku membentuk seluas senyuman bangga. "Tentu saja! Di duniaku, aku sering lari pagi dan jarang memakan junk food." Kendrick terus menatapku, kurasa dia kurang mengerti perkataanku?
"Err... maksudku sejenis makanan cepat saji. Penuh lemak dan aku tidak suka itu." Dengan cepat aku menimpali lagi.
Aku membasahi bibirku. Sesekali aku melirik Kendrick melalui ekor mataku. Dia masih bergeming di tempatnya. Pandangannya sekarang lurus menatap danau.
Jubah yang Kendrick berikan ini menghangatkan tubuhku. Aku memegang leherku dan seketika teringat akan sesuatu. Aku kembali menatap Kendrick. "Ada yang ingin kutanyakan."
Mendapati dehaman Kendrick membuatku kembali membuka mulut. "Saat aku ada disini, kalung ini sudah bertengger di leherku. Sebenarnya buat apa aku memakai kalung ini?" Aku menarik liontin kalung yang ada pada leherku.
Kendrick melirikku lalu turun pada kalung yang kuperlihatkan liontinnya. "Apa kau pernah berpikir dunia ini mempunyai bahasa yang berbeda dari duniamu?"
Pertanyaan yang Kendrick layangkan membuatku mengernyit. Beberapa lama aku terdiam untuk memikirkannya membuatku melebarkan mata saat sudah mengerti arti perkataannya.
"Jadi kalung ini membuatku bisa mengerti apa yang kalian ucapkan?" Kendrick mengangguk.
"Seperti yang kau katakan."
Aku kembali menatap hamparan danau. Langit semakin menggelap, udara disekitarku terasa semakin dingin. Aku membasahi bibir bawahku terus menerus. Diam-diam aku menoleh, memperhatikan Kendrick yang menatap lurus kearah danau. Sinar rembulan menerpa wajahnya, membuat wajahnya kali ini lebih jelas terlihat.
Bagiku, Kendrick masih menjadi sosok yang penuh misteri. Dia tidak ingin menceritakan hal apapun tentangnya padaku. Aku mengulum bibirku, memalingkan wajah menatap sekitar. Suara binatang malam menghiasi kesunyian malam ini, kunang-kunang yang semakin bertambah banyak, dan Kendrick yang berada disampingku dalam diam. Entah kenapa ini semua membuatku merasa nyaman.
"Apa di istana ini masih mempunyai tempat yang indah seperti ini?" Kataku menghancurkan kesunyian yang membelegu beberapa saat.
"Ya. Masih banyak lainnya." Aku tersenyum tipis, "Benarkah? Bisa kau ajak aku ke tempat-tempat itu?"
"Apa kau sangat menyukai hal-hal yang indah?" Tanyanya balik. Aku mengerutkan keningku, "Tentu saja. Siapa yang tidak suka dengan keindahan?" Aku mendengkus pelan. "Ah, kurasa kau orangnya."
"Aku sudah lama berada disini. Tentu saja aku sudah terbiasa melihatnya." Aku mengangguk-anggukkan kepala mendengar perkataannya. "Dan aku hanyalah pendatang baru disini." Balasku sarkas.
Aku menatap kosong kearah danau. "Aku rindu keluargaku."
"Itu hal yang wajar."
"Oh ya. Bagaimana dengan keluargaku? Pasti mereka sangat mencemaskanku sekarang." Aku menatap Kendrick dengan pandangan cemas. Aku baru mengingatnya. Pasti Yuli dan Mom sedang menangis karena kepergianku yang sangat lama. Aku tidak pernah bisa jauh dari rumah. Bahkan pergi untuk berhari-hari dari rumah pun tak pernah. Bisa dibilang aku seorang introvert. Menyendiri di rumah lebih menyenangkan dari pada berada diluar.
"Entahlah."
Aku menghela napas. "Lalu, kau pernah mengatakan ada manusia 'kan didunia ini?"
"Ya."
"Apa mereka sepertiku? Maksudku rupa mereka seperti aku? Mereka tidak punya kekuatan yang aneh 'kan?" Tanyaku bertubi-tubi. Kendrick kini menoleh menatapku. Aku tidak begitu melihat ekspresi apa lagi yang dipasangnya kali ini karena aku hanya memandang danau.
"Kau terlalu banyak bertanya." Desisnya membuatku cemberut.
"Tentu saja. Aku kan orang baru disini. Sudah sepantasnya aku bertanya banyak hal." Aku mengangguk-angguk membenarkan perkataanku. Tidak ada yang salah dalam perkataanku. Faktanya, aku memang orang baru di dunia asing ini.
Kendrick berdeham. "Sebaiknya kau masuk sekarang."
"Kau mengganti topik!" Aku semakin cemberut, menatap wajahnya yang hanya diterangi oleh rembulan.
"Sesi tanya jawabnya diundur. Kau bisa bertanya lagi nanti. Sekarang sebaiknya kau kembali kedalam kastil."
Aku menatapnya kesal, "Hanya aku? Bagaimana denganmu?"
"Tentu saja aku akan mengantarmu sampai ke kamarmu." Aku menaikkan satu alisku lalu terkekeh pelan kemudian. "Kau kira aku akan keluar lagi?"
"Mungkin."
Aku tertawa renyah. Lalu langsung terdiam menatapnya datar. "Leluconmu sangat lucu."
Aku berbalik sambil menyibakkan jubah bagian belakang, membuatnya terangkat dan jatuh dengan elegan. Aku berjalan kembali menuju istana.
Tapi saat aku berbalik dan melangkah pergi, aku sempat melihat Kendrick yang sedang tersenyum.
Apa maksudnya?
***
"Kurasa sampai disini saja." Ujarku saat kami sudah sampai di depan pintu kamarku.
Kendrick mengangguk. "Masuklah."
Setelah tersenyum sekilas sambil mengucapkan selamat malam, aku masuk kedalam kamar lalu kembali menutup pintu.
Perlahan aku berjalan menuju cermin yang ukurannya lebih besar dari tubuhku. Aku menatap pantulan diriku disana lalu membuka jubah hitam yang sedari tadi menutupi tubuhku. Kedua tanganku menangkup wajahku sendiri.
"Untuk apa aku disini?" Gumamku kepada cermin yang menampilkan diriku disana.
Bibirku yang sebelumnya merah marun berubah pucat, wajahku terlihat lelah, dan sekarang tubuhku yang terasa pegal.
Aku menghela napas kecil. Berjalan ke kamar mandi lalu membersihkan diriku.
Aku keluar dari kamar mandi dengan gaun tidur yang tipis yang terbuat dari kain sutera lembut, karena memang gaun ini yang biasa kugunakan untuk tidur. Berbeda dengan gaun-gaun tebal dan mewah yang sering Ri sediakan.
Sambil mengeringkan rambutku yang basah karena aku tadi mencucinya dengan shampo beraroma mawar, aku duduk didepan meja rias.
Tubuhku kini terasa lebih segar dengan aroma terapi yang menenangkan. Aku menatap wajahku di cermin dengan tatapan datar. Tanganku terus bergerak mengeringkan rambutku sendiri.
Aku kembali menghela napas. Di dunia ini, yang selalu kulakukan hanya berjalan-jalan dan diam didalam kamar. Tidak ada hal lain yang bisa kukerjakan. Untuk melihat keadaan luar dunia ini pun aku masih tak di ijinkan.
Beberapa saat aku memejamkan mata. Tanganku yang tadinya bergerak mengeringkan rambutku terhenti. Aku diam sesaat. Menenangkan diri mungkin cara yang lebih ampuh sekarang.
Kadang aku masih tak percaya jika aku berada di dunia bak dongeng yang dulu sering Mom ceritakan sebelum aku tertidur. Seiring berjalannya waktu tinggal di dunia ini, aku mulai percaya bahwa sekarang aku sedang tidak bermimpi.
Tetapi selalu ada pertanyaan yang muncul di benakku selama tinggal disini. Pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa kujawab sendiri, dan tidak ada seorang pun di dunia ini yang ingin menjawabnya. Bahkan Kendrick sekali pun.
Banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan pada pria itu, tapi aku terlalu takut untuk melontarkan pertanyaan itu. Seolah pikiranku menentangku untuk bertanya dan menyuruhku hanya diam dan menikmati hari-hariku disini tanpa harus tahu kebenarannya.
Kadang kebenaran sering terasa lebih menyakitkan. Dan kadang kebenaran juga terasa lebih indah. Jadi diantara kedua itu, kebenaran mana yang harus kurasakan? Menyakitkan atau indah?
Aku mengambil sisir berukiran bunga yang selalu ada diatas meja rias lalu menyisir rambut panjangku yang sudah mengering.
Rambut yang selalu kurawat dan biarkan memanjang. Biarpun Mom dan orang terdekatku menyuruh memotongnya, aku tetap melindunginya dan membiarkannya memanjang dengan indahnya.
Aku kembali menatap wajahku pada cermin. Seluas senyuman tipis ku-ulas dengan tatapan mata yang menyendu. Mungkin benar kata Kendrick.
Semua pertanyaan dan rasa penasaranku akan terjawab nanti. Aku tinggal menanti kapan tiba saatnya. Biarpun itu memerlukan waktu yang lama. Karena perlahan aku mengetahui, jika aku sudah mulai merasa nyaman berada di dunia ini.