BAB TIGA PULUH EMPAT

1654 Kata
  Mendinginkan kepala di bawah air pancuran merupakan hal yang bagus untuk dilakukan saat pikiran sedang kacau. Selama kurang lebih setengah jam, Rei menghabiskan waktu di kamar mandi untuk merenungkan kembali apa yang baru saja ia dan ayahnya ributkan di ruang makan tadi.     Hal yang tidak dapat Rei mengerti tentang ayahnya adalah ambisinya untuk selalu menjadi yang terbaik dalam semua hal. Rei tidak masalah dengan hal itu, namun, ia tidak setuju jika ayahnya berambisi hal yang sama juga pada anaknya hingga menuntutnya untuk mendapat nilai sempurna. Menurut Rei, semua itu tidaklah penting. Rei merasa hidupnya sudah bahagia seperti ini, tanpa harus menjadi nomor satu dalam ujian.     Walaupun begitu, Rei masih tetap mencoba untuk memahami ayahnya. Berkat air dingin yang keluar dari pancuran dan membasuh kepalanya, emosi yang sebelumnya ia rasakan mulai memudar dan pikirannya sudah bisa terkendali. Namun kekecewaannya masih membekas. Ia tidak tahu apakah ia benar - benar bisa melanjutkan pendidikannya nanti dengan kuliah di jurusan musik sama seperti Yuri. Rei mencoba mencari celah. Satu - satunya cara aman untuk ia bisa mendapatkan ijin pergi kuliah jurusan musik adalah mendapatkan nilai terbaik hingga kelulusan nanti. Rei merasa jika dirinya sudah mengabulkan permintaan ayahnya maka ayahnya pun akan melakukan hal yang sama padanya.     Rei membulatkan tekadnya, ia harus pergi kuliah jurusan musik meskipun ayahnya mungkin tidak akan setuju. Hanya itu satu - satunya cara untuk mewujudkan impiannya. Hanya itu gairah yang membuatnya selalu bersemangat menanti hari esok. Ia merasa tidak akan sanggup jika ia harus menjalani hidup seperti apa yang ayahnya inginkan. Ia ingin hidup yang benar - benar hidup. Menjadi dokter tidak membuatnya merasa hidup.     Setengah jam berlalu dan Rei sudah mengganti pakaiannya dengan sweater lengan panjang berwarna cokelat muda yang mendekati dengan warna krem. Rambutnya masih agak basah, namun, ia tidak ingin menunggu hingga rambutnya kering hanya untuk pergi ke tempat Sora untuk makan rapokki (gabungan dari ramyeon yang artinya mie instan dan tteokpokki).     Saat melangkah turun, Rei bisa mendengar suara ayah dan ibunya yang tengah bersiap untuk makan malam sambil membicarakan dirinya. Rei memperlambat langkahnya memutuskan untuk menguping pembicaraan mereka sebentar.  “Aku tidak melarangnya untuk bermain piano, sayang. Hanya saja ia tidak seharusnya berlebihan dalam hal itu hingga mengabaikan yang lainnya.” , ujar ayahnya yang duduk di kursi meja makan sambil membaca koran harian yang isi beritanya melulu tentang konflik pemerintahan dan isu idol yang dibesar - besarkan. Sedangkan ibu Rei sibuk bolak - balik dari meja dapur ke meja makan untuk menyiapkan makanan untuk makan malam.  Ibu Rei mematikan kompor saat supnya sudah mendidih dan memindahkan sup tersebut ke mangkuk yang lebih kecil dengan sendok sayur, “Bukankah dengan begitu terlihat jelas bahwa Rei benar - benar hanya ingin bermain piano? Kita sebagai orangtua sudah seharusnya mendukung dia, bukan? Kita masih beruntung bisa mengetahui apa yang anak kita inginkan dalam hidup, setidaknya ia memiliki gairah untuk itu.” , balas ibu Rei yang tidak setuju pada pendapat suaminya tersebut.  Hal yang sama terjadi pada ayah Rei. Ia tampak tidak setuju pada pendapat istrinya yang tidak memikirkan bagaimana kerasnya hidup saat ini, “Karena kita orangtuanya, sudah sepatutnya kita memberikan dia kehidupan yang layak, sayang. Aku melakukan ini agar ia tidak kesulitan di masa depannya nanti. Aku tidak ingin nantinya dia datang kepada kita dengan raut wajah masam sambil mengeluh sulitnya persaingan dunia dewasa. Aku ingin dia datang kepada kita dengan raut wajah senang karena hidupnya tercukupi.”  Ibu Rei selesai mengisi dua mangkuk dengan sup, lalu membawanya ke meja makan dan meletakkannya satu di hadapan suaminya, dan satu lagi di depan kursinya, “Bukankah itu hal yang bagus jika ia datang kepada kita saat kesulitan? Aku lebih khawatir jika Rei tidak dapat mengutarakan kesulitannya kepada kita. Sudah kewajiban kita untuk menolongnya.”     Rei tidak ingin mendengar lebih banyak lagi. Hatinya terasa sesak melihat kedua orangtuanya berdebat satu sama lain tentang dirinya. Ia pun melanjutkan langkahnya turun dan bersikap seperti benar - benar dari kamarnya. Ayah dan ibu Rei menghentikan pembicaraan mereka begitu mendengar suara langkah di tangga yang sudah pasti itu adalah Rei. Ayah Rei melanjutkan membaca koran seakan - akan tidak ada yang terjadi.  “Aku akan makan malam bersama Sora.” , pamit Rei yang langsung melewati mereka menuju pintu depan.  Ayah Rei tidak menduga hal itu, “Makan malam disini saja. Ajak Sora kemari.” , katanya. Rei menghentikan langkahnya dan berbalik menatap kedua orangtuanya.  “Ayah Rei, biarkan saja.” , elak ibu Rei yang mengerti bagaimana perasaan anak satu - satunya tersebut, “Tunggu Rei, ibu akan menyiapkan kimchi untuk Sora.” , ujar ibunya ramah. Benar - benar terlihat berbeda dengan seseorang yang melerainya tadi.  Rei pun memutuskan untuk menunggu di tempatnya berdiri. Ia menatap dengan sebal pada ayahnya yang terlihat begitu serius membaca koran dan tidak peduli padanya.  Tal butuh waktu lama, ibu Rei kembali dengan membawa sekotak bekal makan siang Rei yang berisi kimchi buatannya dan memberikannya pada Rei, “Ini. Maaf jika ibu tadi menyakiti perasaanmu ya, Rei.”     Rei merasa terharu ibunya meminta maaf padanya. Ia merasa ibunya sudah kembali seperti biasa, ibunya yang penyayang dan selalu memahami perasaannya. Namun, Rei masih tidak ingin berbicara banyak pada kedua orangtuanya.  “Aku akan pulang selesai makan.” , kata Rei yang berusaha terlihat dingin.  “Geurae (benarkah)? Baiklah.” , ibu Sora tersenyum memberikan ijin.  “Aku pergi dulu.” , pamit Rei sebelum benar - benar pergi.  ***     Sora baru selesai membersihkan dirinya. Dengan handuk putih masih melilit di kepalanya untuk mengeringkan rambutnya, Sora memasak tteokpokki yang ia campur dengan ramyeon sambil menunggu Rei datang. Dengan cekatan, ia menyiapkan semua bahan, memasukannya ke dalam teflon berukuran sedang berisi air yang sudah mendidih, dan memasukkan semua bumbu - bumbu.     Bel pintu berbunyi mengalihkan perhatian Sora dari masakannya, segera ia berjalan menuju pintu depan, menggeser kunci gerendel dan membukakan pintu. Rei datang dengan muka masamnya, ia langsung menyodorkan kimchi dari ibunya.  “Ah.. gomawo (terima kasih).” , Sora merasa canggung dengan Rei yang sedang dalam suasana hati tidak baik. Itu berarti ia harus berusaha keras untuk mengembalikan suasana hati Rei, “Masuklah, aku sedang memasaknya.” , Sora membuka pintu lebih lebar dan kembali ke dapur.     Rei menutup pintu dan mengikuti Sora dari belakang. Suasana rumah Sora benar - benar sepi. Ia bertanya - tanya bagaimana bisa Sora tahan tinggal seorang diri di rumah sebesar ini dan mengurus semuanya sendirian. Rei benar - benar kagum.  “Rei, kemarilah. Coba cicipi ini.” , Sora menyodorkan sendok makan yang berisi kuah dari rapokki yang sedang ia masak. Rei menurut saja dan datang menghampiri Sora.  Sora meniupkan terlebih dahulu kuah pada sendok dan menyuapkannya pada Rei saat dirasa sudah dingin, “Eottae (bagaimana)?” , tanya Sora meminta pendapat.  Rei mengangguk - angguk puas, “Masitda (enak).” , jawabnya jelas, singkat, dan padat sambil memberikan jempolnya untuk lebih meyakinkan Sora.     Sora tersenyum senang sekaligus puas pada masakannya. Ia pun mematikan kompor dan memakai sarung tangan oven untuk mengangkat teflon berisi rapokki dengan beberapa lembar keju mozarella yang sudah meleleh di atasnya.  “Aku saja.” , Rei menengadahkan tangannya meminta sarung tangan yang dipakai Sora.     Sora mengangguk mengiyakan dan melepas sarung tangan oven di tangannya dan memberikannya pada Rei untuk membiarkan rei yang membawa teflon panas tersebut sedangkan ia mengambil kain untuk alas teflon agar tidak bersentuhan langsung dengan meja makan berwarna putih bersih karena sering dibersihkan olehnya.     Sora duduk di kursi yang biasa tempat ayahnya duduk, dan Rei duduk di depan sampingnya tempat biasa ia duduk.  “Uwaaah~ Lihat keju yang meleleh ini.” , ujar Sora saat menarik tinggi - tinggi mie yang berada tepat di bawah keju. Rei tidak berkata apa - apa dan hanya makan dengan tenang.  Melihat Rei yang tidak ceria seperti biasanya membuat Sora khawatir, “Apa yang terjadi? Apa ayahmu memarahimu karena peringkatmu yang turun?” , tanya Sora langsung ke intinya.  “Aku tidak mengerti apakah itu hal yang begitu salah jika peringkatmu turun?” , tanya Rei yang terdengar lebih seperti sedang protes dan mengeluh. Sora diam mendengarkan, ia yakin masih banyak yang ingin Rei katakan padanya.  “Aku tidak bisa berfokus pada dua hal sekaligus. Nilai akademisku menurun bukan berarti aku tidak fokus mengerjakannya, hanya saja fokusku sudah ke hal lainnya. Mereka belum saja melihat permainan pianoku, aku yakin mereka pasti akan melihat peningkatanku.” , lanjut Rei. Sora hanya menanggapinya dengan mengangguk - angguk mengerti.  Rei mengambil dua potong tteokpokki dan menyuapkannya ke dalam mulutnya, “Yang ayahku lakukan hanya protes. Tidak terima. Ingin aku mengerti mereka. Tetapi dirinya sendiri apa pernah mencoba untuk mengerti aku?” , katanya lagi dengan tteokpokki dalam mulutnya.  “Kau pasti senang ayahmu bangga padamu karena peringkatmu naik.” , ujar Rei.  “Ayahku?” , tanya Sora memastikan, “Dia tidak tahu soal itu.”  “Wae (kenapa)? Apa ayahmu kerja lembur lagi? Berapa hari kali ini?” , tanya Rei yang sudah paham bagaimana sibuknya ayah Sora.  “lima hari.”  Rei membelalakan matanya terkejut tidak menyangka, “Heol.. Pekerjaan macam apa yang membuatmu tidak pulang selama lima hari?”  “Tidak, kali ini berbeda. Dia pergi ke Singapura mewakili rumah sakitnya. Yah, setidaknya ia memiliki waktu untuk beristirahat di hotel daripada terus berdiri membedah tubuh orang lain.”     Rei tidak tahu harus bereaksi apa. Ia tiba - tiba merasa bersalah karena sudah mengeluhkan ayahnya pada seseorang yang bahkan tidak merasakan memiliki sosok ayah dalam hidupnya.  “Jadi kau akan sendirian selama lima hari ini?” , tanya Rei.  Sora mengangguk, “Gwaenchanha (tidak apa). Aku suka ketenangan.”     Mereka melanjutkan makan dengan tenang. Sora makan dengan sedikit menunduk. Lengan baju sebelah kirinya merosot hingga memperlihatkan tali bra bening yang melekat pada kulit putih Sora. Rei pun menaikkan kerah baju Sora untuk menutupi tali bra tersebut. Sora menatap Rei dan yang menyadari hal itu tiba - tiba merasa malu sekaligus canggung. Tangannya segera menarik kerah bajunya lebih ke atas dan melanjutkan makannya. Rei pun kembali mengambil sumpitnya dan melanjutkan makannya dengan canggung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN