BAB TIGA PULUH TIGA

1379 Kata
   Sora keluar dari kerumunan dengan lesu dan gontai. Ia memikirkan apa yang akan ayah Rei lakukan pada Rei jika ia mengetahui peringkat Rei menurun dibandingkan tengah semester lalu. Sora tahu betul bagaimana kelakar ayah Rei yang selalu menekankan prestasi akademis pada Rei.   “Wae (kenapa)? Apa peringkatmu terjun bebas ke posisi terakhir?” , tanya Rei asal bicara saat Sora menghampirinya dengan tidak bersemangat.   Sora menggeleng lesu.   “Lalu kenapa? Apa peringkatmu tidak sesuai dengan harapanmu?”   Sora diam saja menatap kosong pada kaki – kaki murid yang masih berkerumun.   Rei tidak tahan lagi melihat Sora yang ia pikir telah diperbudak dengan sistem pendidikan di negara mereka yang selalu menekankan prestasi di sekolah dibandingkan bakat dan talenta, “Hei, dengar. Bukan menjadi masalah jika peringkat—“ , belum sempat Rei menyelesaikan kalimatnya, Sora menyela.   “Aku peringkat delapan, Rei. Aku naik tiga peringkat.” , sela Sora masih dengan lesu.   Rei merasa heran, “Mwo (apa)? Ya!” , Rei menyenggol bahu Sora dengan lengannya, “Gosaeng haettda (Hei! Kerja bagus)! Kau berhasil, chukkae (selamat ya).” , ucap Rei senang Sora berhasil mencapai tujuannya setelah semua kerja keras yang Sora lakukan untuk belajar.   Namun Sora tidak terlihat senang sama sekali, ia lebih terlihat lesu dibandingkan bersorak senang.   “Neo wae geurae (kau kenapa)?” , tanya Rei bingung melihat seperti itu. Ia yakin ada sesuatu yang ia lihat tadi dan menyebabkannya jadi seperti ini.   Sora menatap Rei dengan lesu, “Kau turun dua peringkat.” , katanya.   Rei terdiam sejenak. Ia berusaha mengaitkan semuanya. Pikirannya mendapatkan sebuah kesimpulan yang masih ia ragukan.   “Lalu?”   Sora mengerutkan keningnya gemas, “Reii, kau turun dua peringkat!” , tegas Sora lagi kali ini dengan rajukan.   “Lalu kenapa?” , tanya Rei lagi yang merasa tidak ada masalah dengan hal itu.   Sora menurunkan kedua bahunya lemas, “Ayahmu.. Bagaimana kau akan menghadapi ayahmu?” , ujar Sora langsung terus terang.   “Ah.. Kau mengkhawatirkanku?” , tebakan Rei semakin meyakinkan, “Kkeokjeongma (tidak perlu khawatir), aku akan mengurusnya.”   “Bagaimana jika kau tidak diijinkan untuk bermain piano lagi sampai nilaimu membaik?” , tanya Sora yang masih khawatir.   Rei menghela nafas malas, “Mudah saja, aku hanya perlu meningkatkan nilaiku. Itu bukan masalah besar.” , jelas Rei. Namun, hal itu tidak menghilangkan tatapan khawatir pada manik Sora.   “Tsk,” Rei  mengapit leher Sora dengan tangannya, “Sekarang yang lebih penting, kita harus merayakan keberhasilanmu. Kau harus mentraktirku makanan enak hari ini!” , sorak Rei sambil menyeret Sora membawanya pergi dari sana.   “Ya! Ya! Ya! (hei! Hei! Hei!)” , protes Sora berusaha melepaskan dirinya dari apitan lengan Rei , “Noha (lepaskan aku)! Ketiakmu bau!” , bukannya mengindahkan Sora, Rei menyeringai diiringi tawa jahat ala – ala penjahat dalam film.   ***   BRAK!    Ayah Rei menampar meja makan dengan tangan besarnya hingga membuat Rei dan ibunya terkejut. Rupanya siang tadi nilai hasil ujian yang dibagikan melalui surat yang dikirimkan langsung ke rumah masing – masing sudah sampai ke tangan ayah Rei. Ia tampak begitu marah melihat hasil nilai ujian Rei yang menurun dibandingkan ujian tengah semester sebelumnya. Rei yang baru pulang sekolah sudah ditunggu di ruang makan oleh ayahnya yang hari itu sedang cuti bekerja karena kondisi tubuhnya yang tidak fit. Rei hanya bisa diam mendengarkan, karena ia tahu, jika ia membuka mulutnya untuk bicara, maka hanya akan memperkeruh suasana di pagi hari ini.   “Sebenarnya apa yang ada dalam pikiranmu, Rei?! Apa ini karena piano itu?! Benar?!” , omel ayah Rei dengan volume suara yang lebih besar dan nada lebih tinggi dari biasanya. Ia benar – benar terlihat marah.   “Yeobo (sayang).. Jangan begini, nanti tekanan darahmu naik. Rei baru pulang sekolah, biarkan dia makan dan istirahat sejenak.” , rayu ibu Rei sambil menghampiri suaminya dan mengelus lengannya berusaha menenangkan emosi ayah Rei.   Ayah Sora memejamkan matanya berusaha menahan nada bicaranya pada istrinya, “Jangan tahan aku sayang, dia harus tahu batasannya.”   Rei sejak tadi hanya diam mendengarkan. Dalam pikirannya ia terus mengutuk dan mengkomentari setiap kata yang ayahnya ucapkan padanya.   Ayah Rei kembali beralih pada Rei, “Apa ini karena kompetisi itu? karena kompetisi bodoh itu?”   “Otou-san (Ayah)!” , protes Rei tidak tahan lagi, “Berhentilah menyebut piano adalah sesuatu yang bodoh! Otou-san juga tahu aku sangat menyukainya!”   Ayah Rei juga ibunya terkejut melihat Rei yang balas meninggikan nada suaranya.   “Aku hanya turun beberapa peringkat, apakah itu masalah yang begitu besar? Apakah sebuah kesalahan besar jika nilai ujian menurun? Aku hanya manusia biasa, Otou-san. Aku tidak bisa berfokus pada dua hal sekaligus. Aku benar – benar ingin melakukan yang terbaik untuk kompetisi nanti. Kesempatan ini tidak akan datang dua kali, aku harus memaksimalkannya, Otou-san, Okaa-san..” , jelas Rei dengan tegas. Itu hanya sebagian kecil yang terpendam dalam pikiran Rei.   “Ujian ini juga tidak datang dua kali, Rei! Bagaimana kau akan memperbaiki ini? Setidaknya kau harus memiliki peringkat tiga besar pada catatan prestasimu. Kau sudah melakukannya selama ini, kenapa kau mengacaukannya kali ini? Apa kau ingin membuat perjuanganmu sebelumnya menjadi sia – sia?!” , rupanya ayah Rei tidak melembut dengan luapan protes Rei yang tulus dari apa yang Rei rasakan.   “Aku tidak menyesal, Otou-san! Aku tidak menyesal peringkat akademisku menurun, aku lebih kecewa jika aku tidak berusaha keras untuk permainan pianoku nanti.” , ujar Rei dengan sedikit gemetar. Rasanya seperti ada sesuatu yang menyangkut di tenggorokannya saat mengutarakan semua yang ia rasakan.      Ibu Rei merasa sedih mendengar semua ungkapan hati yang Rei utarakan pada mereka. Matanya berkaca – kaca menyadari bahwa anak semata wayangnya yang tidak sepenuhnya menjalani hidupnya dengan bahagia. Air matanya nyaris menetes melihat pertengkaran dua orang laki – laki yang paling ia sayangi.    “Geumanhae (hentikan)!” , hentak ibu Rei yang berhasil mendapatkan perhatian suami dan juga putranya. Mereka berdua terdiam. Bicara dengan nada tinggi adalah hal yang sangat jarang dilakukan oleh ibunya, dan melihatnya berteriak seperti itu benar – benar mengejutkan dan berhasil membuat semuanya terdiam.   Ibu Rei yang tadinya berada di samping ayah Rei, berjalan pindah ke hadapan ayah Rei, “Rei appa (ayah Rei).. Rei, anak kita pasti sudah berusaha melakukan yang terbaik. Kita harus menerimanya .” , ujarnya dengan mata berkaca – kaca.   Kini ia beralih menatap Rei, “Rei.. Jangan lagi bicara kepada ayahmu dengan nada tinggi begitu. Bagaimana pun ia ayahmu.”   “Okaa-san (ibu)..” , Rei memelas kecewa karena ibunya tetap membela ayahnya yang jelas telah menyakiti perasaannya.   “Rei! Jangan membantah ibumu!” , sela ayah Rei.   Rei menatap atap ruang makan sejenak berusaha menjaga agar air matanya yang sudah mengumpul di kelopak matanya tidak jatuh dan kembali menatap kedua orangtuanya yang tengah menatapnya, “Joha (baiklah), jika itu yang otou-san dan okaa-san mau. Aku akan mewujudkannya. Aku akan memastikan mendapat peringkat pertama sampai kelulusan nanti. Tapi biarkan aku kuliah di Jepang, dan biarkan aku yang memilih jurusan.” , tegas Rei dan langsung pergi meninggalkan ruang makan menuju kamarnya dengan langkah yang ditekankan.   “Apa?! Rei! Tunggu dulu!” , panggil ayah Rei namun digubris oleh Rei yang sudah terlanjur kecewa dengan kedua orangtuanya.   “Biarkan dia, ayah Rei. Biarkan dia beristirahat, Rei sudah lelah dengan sekolah seharian ini.” , ujar ibu Rei berusaha menenangkan ayah Rei.      Rei menutup pintu dengan kasar. Ia berjalan menghampiri pianonya dan mengelusnya dengan penuh kasih sayang. Tanpa sengaja, air matanya pun menetes jatuh ke atas tuts piano. Matanya berkedip beberapa kali, ia menyadari saat ini perasaannya benar – benar sedang terluka. Dengan tangan kanannya ia menghapus air matanya dan menarik nafas dalam – dalam untuk menghentikan air matanya dan melupakan kesedihannya.   “Rei..” , panggil Sora melalui jendela kamarnya. Rei terdiam mendengar suara familiar yang memanggil namanya.   “Ya, neo gwaenchanha (hei, kau baik – baik saja)? Rappokki mekgo kaja (ayo kita makan rappokki)~” , bibir Rei bergetar menahan air mata yang memaksa untuk jatuh mendengar ucapan Sora.  "Apa dia sedang ke kamar mandi, ya?" , tanya Sora pada dirinya sendiri sebab ia masih belum mendapat jawaban dari Rei ataupun melihat tanda - tanda Rei ada di kamarnya.     Rei yang tengah bersembunyi di balik dinding dimana Sora tidak bisa melihatnya merasa tersentuh saat menyadari ia masih memiliki seseorang yang mendukungnya di saat seperti ini.    *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN