Menghapus Dendam

2007 Kata
Sandra melirik Farel yang baru saja datang menghampirinya di halaman belakang setelah acara makan malam tadi dia asik mengobrol dengan papa dan juga Mas Gilang. "Ga langsung pulang?" tanya Sandra setelah Farel ikut duduk di kursi yang ada tepat di sebelahnya. "Akan terlihat aneh sekali jika langsung pulang tanpa bicara denganmu dulu kan?" Sandra tidak langsung menjawab, ia diam sejenak sambil memperhatikan taman kecil yang ada tepat di hadapan mereka. Dia merasa canggung sekali dengan Farel saat ini. "Thanks ya, lo udah mau datang, gue pikir lo marah dan ga akan peduli sama sekali." Sandra akhirnya berbicara. "Siapa bilang gue ga marah?" "Jadi lo marah?" "Lebih tepatnya merasa tidak suka." Sandra menarik napas pelan, "gue minta maaf, setelah dipikir-pikir gue emang sedikit keterlaluan dan ga sopan ke lo. Tapi gue masih ga habis pikir kenapa lo masih mau kesini?" "Karena gue nggak enak sama keluarga lo yang lain, tapi setidaknya gue ga nyesel karena lo udah sadar atas kesalahan lo dan mau minta maaf sekaligus bilang terima kasih." Gadis berambut cokelat pekat sebahu itu hanya mengangguk kecil tanpa menoleh pada Farel. "Kalau begitu apakah bisa hubungan kita lebih baik? Sejak awal kesan kita satu sama lain sangat buruk, bahkan di satu rumah ini gue rasanya punya hubungan yang sangat baik dan akrab, kecuali sama lo." Sandra melihat ke arah pria sipit yang juga melihatnya untuk menunggu respon. "Kenapa? Lo se nggak suka itu ke gue karena masa lalu?" lanjut Farel lagi karena Sandra hanya diam. "Gue mulai paham sekarang kenapa lo bisa ngomong gini ke gue." Farel mengerutkan dahinya, "apa maksudnya?" "Kecelakaan yang lo alami bikin memori waktu SMA lo ilang ya? Lo nggak inget gue? Tapi bukannya lo bilang udah sembuh? Atau lo sengaja berlagak lupa?" tanya Sandra menatap Farel penuh rasa penasaran. Mengenai pembahasan di meja makan tentang Farel yang sempat kecelakaan dan hilang ingatan menarik perhatian Sandra. Kini giliran Farel yang terdiam, pertanyaan Sandra membuatnya bingung harus menjawab apa. Perihal masalah mengingat Sandra saja sudah membingungkan bagi Farel, apalagi hal lainnya. "Atau lo emang nganggap itu bukan masalah penting dan lupain gitu aja?" Sandra terus menodong Farel dengan pertanyaan. Farel menarik napas dalam, "gue nggak mungkin pernah ngebully orang lain." Jawaban Farel langsung dijawab senyum kecut oleh Sandra, "lo memutuskan untuk ngelupain segalanya ternyata." "Gue akan bantu lo, tapi bukan dengan cara lo ngancem gue dengan hal yang bahkan gue nggak tahu." "Udahlah terserah, gue enggak peduli lo emang masih ilang ingatan atau lo sendiri yang ngehilangin ingatan lo." Untuk beberapa saat tidak ada lagi yang bersuara antara Farel ataupun Sandra, mereka tenggelam dengan pemikiran masing-masing. "Jadi lo mau bantu gue?" akhirnya Sandra lah yang memutuskan untuk kembali bersuara memecah keheningan yang terasa dingin. "Lo tadi denger kan apa yang keluarga lo bilang? Kalau memang seandainya lo ga suka dengan perjodohan ini, gue bisa bilang ke mereka dan lo ga harus repot dengan semua ini, ga ada pemaksaan dan lo bisa fokus sama pacar lo." "Karena gue mau lanjut sama pacar gue makanya gue butuh lo sekarang." "Kalau gue mau bantu setidaknya lo bisa cerita kan ke gue apa masalahnya?" Tenang sekali gaya Farel bicara menatap Sandra. "Gue ga pinter cerita," jawab Sandra pendek sambil terlihat bingung. Agaknya ia enggan untuk mengabulkan permintaan Farel. Farel tersenyum kecil sambil kini mengulurkan tangannya pada Sandra yang membuat gadis itu menatap pria tersebut penuh tanda tanya. "Ayo baikan dan jadi teman, dengan begitu lo bisa cerita dengan lebih nyaman ke gue dan gue akan bantu sebisa gue." Sandra mengerjapkan matanya berkali-kali coba memahami keadaan hingga secara perlahan kini membalas jabat tangan Farel yang terasa begitu hangat. Melihat itu senyum Farel semakin mengembang, "oke mulai dari sekarang berhenti bicara pakai lo gue, sepertinya jauh lebih baik seperti bagaimana kita tadi dia meja makan, di depan semua orang." Dahi Sandra mengerut, "maksudnya?" "Saat kita bicara menggunakan aku kamu, kita terlihat memiliki hubungan baik, sedangkan dengan lo gue kesannya kita masih berantem. Tidak masalah kan? Sekalian untuk membiasakan di depan orang lain." "Ish, lo beneran ribet ya ternyata orangnya. Gue ga mau," "Hush. Kan? Kita baru saja akan memulai hubungan baik, aku cuma minta syarat ini sebelum aku bantu kamu lebih jauh. Biar vibes nya lebih adem aja." Sandra memutar bola matanya malas, "okey." "Jadi kamu bisa cerita sekarang karena secara resmi kita adalah teman." Sandra kini menautkan tangannya satu sama lain di atas pahanya, ia terlihat bingung bagaimana harus menjelaskan keadaannya kini pada Farel yang padahal bisa dibilang orang baru, namun paling bisa membantunya saat ini. "Oke, sepertinya kamu sedang berpikir, aku akan menunggu sejenak sambil ngambil minum dulu ke dalam, boleh?" tawar Farel sudah berdiri dan bersiap untuk kembali masuk ke rumah. Sandra sedikit terkejut, "kamu bisa ambil air sendiri?" Farel tertawa, "aku bisa minta tolong siapa aja nanti yang ada di dalam kan? Kamu juga sekalian ingin aku bawakan minuman?" "Agak aneh saat tamu malah menawari tuan rumah untuk minum," tanpa sadar Sandra ikut terkekeh karena Farel. "Apa salahnya?" "Tidak usah, kamu nggak masalah minta tolong sendiri ke dalam buat ambil minum?" Sandra memastikan lagi karena Farel tampak sudah biasa mondar mandir di rumahnya yang padahal baru kali pertama disinggahi Farel. "Tidak masalah asal saat aku kembali kamu sudah mau untuk cerita, setuju?" Sandra kembali tersenyum lalu mengangguk yang membuat pria itu berjalan masuk ke rumah meninggalkan Sandra sendirian. Gadis itu benar-benat seolah diberi waktu untuk berpikir mengenai apa dan bagaimana ia harus menjelaskan pada Farel. Tak butuh waktu lama Farel sudah kembali dengan dua gelas air putih dan meletakkannya di antara dirinya dan Sandra. "Aku bawakan sekalian karena takut kamu haus saat nanti bercerita," ujar Farel sebelum Sandra bersuara mengenai minuman yang Farel bawakan. Sandra hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar penjelasan Farel namun tetap menerima gelas pemberian Farel. "Berpikirlah dulu kalau kamu belum bisa bicara," lanjut Farel berusaha untuk tidak mengganggu Sandra lalu diam-diam mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Sandra yang awalnya tidak begitu memperhatikan kini tersadar karena sepertinya Farel tidak hanya minum air, namun juga sambil memakan sebuah obat. "Kamu makan apa? Obat? Obat apa?" tanya Sandra penasaran. "Ah bukan apa-apa, hanya vitamin harian. Jadi bagaimana? Aku sudah bisa dengar ceritanya?" kini Farel sudah memfokuskan dirinya untuk mendengarkan Sandra. Sandra yang sebelumnya sudah coba berpikir kini memutuskan untuk benar-benar bercerita padaFarel walau ia yakin tidak akan runut, "waktu itu aku udah pernah singgung kan kalau aku udah punya pacar tapi papa sama mamaku ga suka?" Farel mengangguk, "ya, siapa namanya?" "Dika, kita udah pacaran sejak kuliah sampai sekarang, intinya aku ngerasa cocok dan nyaman banget sama dia. Bahkan rasanya aku ngelakuin apa aja pasti sama dia." "Wah, sudah lama juga ya, lalu kenapa papa mama kamu nggak suka?" Sandra angkat bahu, "mereka bilang hubunganku sama Dika itu toxic, padahal enggak sama sekali. Hidup aku lebih berwarna dan nyaman sejak ada dia. Ya walaupun emang sih Dika ini ga deket sama keluargaku, tapi ya itu juga karena keluarga aku nggak ngasih respon positif ke dia. Dan aku pikir mungkin juga karena keluarga Dika nggak se kaya keluarga aku, tapi keluarganya tergolong mapan kok, Dika juga punya pekerjaan." Farel sedikit mengerutkan dahi, "maaf sebelumnya bukan ngerasa sok tahu atau apapun, tapi aku pikir keluarga kamu bukan yang tipe ngelihat orang dari harta." "Iya, aku tahu. Tapi sikap mereka ke Dika bener-bener beda." "Maaf lagi nih, bukan maksud apa-apa, tapi menurut kamu secara objektif Dika ini orangnya baik nggak?" "Ya baiklah! Kalau enggak baik mana mungkin gue bertahan selama ini sama dia!?" Sandra langsung seperti terpancing emosi dengan pertanyaan Farel, padahal Farel sudah berusaha bertanya secara baik-baik. Pria berkulit cerah itu memutuskan untuk mengangguk saja karena ia paham sekarang kalau Sandra sepertinya agak sensitif dengan topik tersebut, "okey okey, terus sekarang kenapa nih kita harus lanjut perjodohan ini?" Sandra melihat kesekitar dulu sebelum menjawab Farel untuk memastikan tidak ada yang tahu pembahasan mereka, "sekarang papa bener-bener tegas minta aku ga lagi lanjutin hubungan sama Dika, papa ngancem narik semua fasilitas yang di kasih ke aku, padahal aku butuh banget sekarang untuk jalanin bisnis. Terus papa jodohin aku sama kamu." "Lalu?" "Papa akan percaya aku ga lagi berhubungan sama Dika kalau nurutin perjodohan ini. Seandainya kamu mundur sekarang aku mungkin akan coba dijodohin lagi sama yang lain yang belum tentu mau aku ajak kerja sama nutupin hubungan aku sama Dika." "Kamu pikir aku mau nutupin hubungan kamu sama Dika?" "Tadi kamu bilang mau bantu kan? Tadinya aku ngancem kamu, tapi tadi kamu sendiri yang bilang mau bantu." Farel menarik napas lelah, "terus mau sampai kapan? Ga mungkin kan selamanya kamu sama keluarga kamu main kucing-kucingan begini?" "Ini cuma sebentar, setidaknya sampai aku buktiin kalau aku sama Dika bisa berhasil, kalau begitu papa dan mama ga akan punya alasan lagi untuk nentang hubungan aku dan Dika." "Jadi kalian sekarang sedang menyiapkan sesuatu?" Farel kini mulai paham dan menemukan sebuah titik penting. Gadis bermata bulat itu mengangguk, "aku mau kerahkan semuanya untuk usaha bisnis yang kali ini, nggak mau gagal lagi, ini udah jadi mimpi aku dari jauh hari sebenarnya." "Jadi beberapa kali sebelumnya kalian gagal?" Sandra menggigit sekilas bibir bawahnya sebelum menjawab dengan yakin, "kami hanya sedang tidak beruntung, tapi kali ini aku yakin akan berhasil, aku akan pastikan itu." Farel tersenyum melihat api semangat di mata Sandra, gadis ini terlihat sangat serius pada apa yang ia ucapkan, "aku harap itu berjalan dengan baik, orang tuamu pasti juga berharap sama. Jujur saja papa dan mas kamu tadi sempat ngebahas ini." "Oh ya? Mereka bahkan membahas hal itu padamu?? Apa yang mereka katakan?" "Yakin ingin mendengarnya?" "Katakan saja, aku sudah terbiasa dengan ucapan pedas dari mereka." "Ah tidak, aku tidak akan membicarakannya." "Hey!! Jangan membuatku penasaran, cepat beri tahu aku!! Aku sudah bilang kalau aku sudah biasa, aku tidak akan mengamuk hanya karena itu." desak Sandra sangat tidak sabar. "Mereka hanya bilang kalau kamu sedikit ceroboh dan gegabah, beberapa kali usahamu gagal dan agak sulit untuk mengarahkanmu. Jadi semua kegagalan itu kamu hadapi bersama Dika?" Sandra mengangkat alisnya dan malah menunjukkan wajah bangga, "kami sangat setia bukan?" "Hei, bukankah seharusnya kamu mulai memikirkan apa yang salah dari kalian?" Farel terheran dengan respon Sandra yang membuatnya perlahan paham apa yang menjadi masalah antara gadis ini dan keluarganya. "Kalau kamu akan ikut menjatuhkan dan menjelek-jelekkan kami, lebih baik kamu diam. Memangnya kalian pikir kami mau gagal melulu? Kami juga usaha keras, cuma ya memang lagi ga beruntung saja." "Baiklah, good luck, semoga kali ini benar-benar berhasil, kamu terlihat yakin sekali." Farel memutuskan untuk tidak menyampaikan pemikirannya karena dilihat-lihat itu tidak akan ada gunanya dilihat dari bagaimana Sandra merespon. "Btw, kenapa kamu mendadak mau bantuin aku? Maksudnya, kita baru saja kembali bertemu dengan kesan yang aku rasa sangat tidak baik." Sandra masih penasaran dengan sikap Farel yang ia rasa terlalu baik. "Entahlah." "Farel, aku bertanya serius!" Farel terkekeh melihat ekspresi marah Sandra, "pertama karena keluargamu sudah sangat baik pada keluargaku, terlebih dulu saat papaku masih hidup, bagiku keluarga adalah segalanya. Dan lalu, bukankah di awal kamu mengancamku agar bisa membantumu? Setelah aku pikir-pikir, jika memang di masa lalu aku menyakitimu, setidaknya sekarang aku bisa mengurangi rasa sakit hati itu, saat orang lain menyimpan dendam padaku tentu itu menjadi beban tersendiri bagiku, aku ingin mengurangi itu." "Hm.., begitu," hanya jawaban pendek yang keluar dari mulut Sandra setelah Farel menjelaskan. "Berjanjilah ini tidak akan lama, kamu akan membuktikannya dengan cepat, kan? Jujur saja berbohong seperti ini sangat tidak nyaman." Sandra tersenyum dan mengangguk dengan cepat, "tentu, aku juga tidak mau berlama-lama." "Bagus." "Tapi..," "Apa?" "Saat ini kamu benar-benar sedang sendiri? Bagaimana dengan Meisya? Kamu tidak bersamanya lagi?" tanya Sandra walau sedikit ragu, tapi ia benar-benar penasaran. Farel tersenyum miring, "aku tidak sepertimu, aku menjalankan perjodohan ini pada awalnya karena memang aku sedang sendiri dan mencoba mencari pasangan serius." Sandra menghela napas pendek, "aku pikir kalian jodoh, cocok soalnya." "Nggak ada yang tahu perihal jodoh. Cepat selesaikan ini karena aku nggak mungkin terlalu lama jadi tameng, aku juga butuh menjalankan hidup secara normal, termasuk mencari pasangan. Aku balik pulang sekarang ya." Dengan cepat Sandra ikut berdiri saat Farel sudah lebih dahulu bangkit dari posisi duduknya, "aku antar ke depan?" Farel mengangguk, "tentu, itu akan terlihat lebih normal."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN