Anggara semakin terpaku ketika Gwen mulai berjinjit sehingga napas hangatnya bahkan sekarang sudah terasa di wajahnya. Kata hati Anggara menolak keras, tapi isi pikirannya sebagai lelaki normal tidak mau kalah. Di antara rasa bimbang dan penuh protes, dan jarak yang semakin mengikis, bibir mereka hampir menyatu ketika tiba-tiba dikagetkan suara gedebug di dekat pintu kamar. Keduanya kaget dan sontak menoleh. Saling menjauh, Anggara tampak canggung sedangkan Gwen kesal. “Ayara?” Kening Anggara mengernyit. Seingatnya memang tadi dia belum menutup pintu kamar. Segera Ayara bangkit dari lantai. Tadi dia jatuh terpeleset sampai lutut kirinya jadi korban dan sekarang terasa berdenyut nyeri. Sesekali Ayara mengusap lututnya. “Ma—maaf Tuan, Nona Gwen, ma—maaf aku mengganggu.” “Nah itu tau ud

