"Tentang kita?" Jane mengulangi ucapan Raffael. Jantungnya berdegup kencang menatap mata sahabatnya itu, "Maksudmu?" Jane memberanikan diri bertanya.
Drrrt.
Smartphone Jane berbunyi dan ada sebuah panggilan masuk dari nomor asing.
Mungkinkah ini, Vian?
"Maaf, Raff. Aku angkat telepon dulu."
Jane meninggalkan Raffael yang kecewa karena gagal mengutarakan perasaan yang sesungguhnya. Wanita itu duduk dikursi teras rumah agar lebih leluasa memaki Vian seandainya ini benar nomor milik pria k*****t itu.
"Halo?"
"Halo. Jane. Masih ingat suara Papa Mertuamu yang dulu?"
Mata Jane membulat lebar. Astaga. Ayah mertuanya yang paling baik menghubunginya. Betapa Jane merindukan suara beliau.
"Papa? Apa kabar? Bagaimana Papa bisa tahu nomor telepon Jane?"
"Apa sih yang Papa gak bisa lakuin jika Papa penasaran dengan cucu Papa yang kamu lahirkan itu?"
Deg. Jane merasa jantungnya seakan melambat detakannya.
"Maksud Papa apa?"
"Jane sayang... Boleh besok Papa bertemu denganmu? Kita bicarakan
berdua saja. Kalau boleh, ajak Leo sekalian. Papa mau lihat cucu Papa itu."
Jane menggigit bibir bawahnya. Ayah mertuanya itu sangat menyayanginya. Bahkan lebih dari Vian. Jane bimbang, takut Ayah mertuanya akan membawa Leo secara paksa.
"Jane gak bisa, Pa. Maafkan Jane."
"Papa sudah menduga kamu akan menolaknya. Kamu saja yang datang juga tidak apa. Kamu mau, ya?"
Ayah mertuanya sedang memohon. Jane menghembuskan nafas berat. Dia tidak bisa menolak yang satu itu.
"Jane akan datang. Kirimkan alamat pertemuannya, Pa."
.
.
.
.
.
Dihadapan Jane, Ayah mertuanya sedang menundukkan kepala untuk memohon maaf. Jane merasa risih dan tidak enak melihat Ayah mertuanya berlaku demikian.
"Pa... Angkat kepala Papa. Ini bukan salah Papa." Jane kini memohon pada pria renta itu.
"Ini semua salah Papa. Vian begitu Papa manja dan dia menjadi egois seperti itu. Semua permintaannya selalu didapatkannya dengan mudah hingga ia lupa rasa bersyukur telah memiliki kamu." mata Ayah mertuanya itu terlihat memerah. Hati Jane terasa nyeri.
"Dari awal, Vian tidak pernah mencintaiku. Yah-ini salah dia. Seharusnya dia menolak perjodohan. Itu jauh lebih baik daripada seperti ini. Namun, ini semua sudah terjadi. Nasi telah menjadi bubur. Tidak bisa diapa-apakan lagi."
"Maafkan Papa mertuamu ini, Jane. Semua ini berawal dari Papa yang menjodohkan kalian."
"Pa..." Jane mengusap punggung tangan Papa mertuanya,"Ini sudah berakhir."
"Jane... Papa memang tahu kau keberatan, tapi Papa mohon pertemukan Papa dan cucu Papa, Leo. Kamu boleh melarang Vian, tapi jangan untuk Papa ini. Sungguh, Papa sangat ingin lihat wajah kecil malaikat yang ditelantarkan anakku yang bodoh itu." Ayah mertuanya menitikkan air mata. Jane tidak pernah melihat beliau seperti ini sebelumnya. Biasanya beliau terlihat sangat keras, namun tanpa disangka semua itu bisa runtuh karena tahu keberadaan Leo.
"Aku membawanya. Papa mau lihat?"
Ayah mertuanya terkejut senang bukan main. Anggukan kepala semangat diperlihatkan pada mantan menantunya itu. Jane mohon pamit sebentar untuk pergi ke arena main bola yang tidak jauh dari restauran tempat pertemuannya. Suster Cecilia ikut menemani Jane, dia tidak mau melibatkan Raffael dalam urusan mertuanya ini. Bagaimana pun Raffael hanyalah orang luar.
"Leo... Keluar dulu sayang... Nanti lanjut lagi main mandi bolanya."
Leo menuruti permintaan ibunya. Dia segera keluar dari arena permainan dan memakai sepatunya sendiri walaupun tidak bisa mengikat talinya. Jane dengan gemas mengikatkan tali sepatu Leo.
"Kita mau kemana, Ma?" tanya Leo pada Jane yang masih berkutat dengan tali sepatu.
"Kita mau ketemu Kakek dari Papa. Papanya Papa."
"Leo bisa ketemu Papa? Papa sudah pulang?"
Jane mengernyitkan dahinya. "Papa gak pulang ke kita, Leo. Belum." ucap Jane.
Atau mungkin Vian tidak akan pernah pulang.
"Jadi yang pulang itu Kakek saja? Terus Kakek Edi juga ada?" Kakek Edi yang dimaksud Leo adalah Ayahnya Jane yang berada di Batam.
"Hehehe. Kakek Edi gak ada. Nanti kita telepon Kakek Edi saja kalau Leo kangen."
Jane menggendong Leo. Suster Cecilia membantu Jane membawa tas mungil Leo yang berisikan perbekalannya.
Leo melihat seorang pria tua yang masih tegap untuk duduk sedang menatapnya dengan penuh haru. Leo bingung dengan Kakek yang tidak pernah ditemuinya.
"Halo Leo... Kenalkan ini Kakek Erik. Salam kenal." Ayah mertua Jane menjabat tangan kecil Leo. Jane menurunkan Leo dari gendongannya dan membiarkan Kakeknya memeluk anaknya.
Tangis Ayah mertuanya pecah saat merengkuh tubuh kecil Leo. Leo yang bingung dengan Kakeknya yang menangis malah mengusap d**a si Kakek.
"Kakek baik. Kakek baik. Jangan nangis. Leo bukan anak bandel. Jangan nangis."
Ucapan Leo memperat pelukan Kakeknya. Leo semakin bingung.
"Kakek tahu Leo anak baik."ucap sang Kakek terisak dalam tangis.
"Leo memang anak baik, buktinya Papanya Papa sudah pulang ke Leo. Tapi kenapa Papa gak ikut pulang sama Kakek, ya? Padahal Leo ingin sama Papa."
Jane dan suster Cecilia ikut menangis. Tidak disangka anak sekecil itu menyembunyikan keinginan terbesarnya. Leo diam-diam merindukan Ayahnya karena tak ingin Jane menangis.
Karena Leo ingin menjadi pahlawan bagi ibunya.
.
.
.
.
.
Vian menghabiskan hampir 10 botol minuman keras. Dia frustasi. Dia sudah tidak tahu lagi cara bertemu dengan Leo secara baik-baik pada Jane. Vian tahu dia salah namum tak ada keinginan untuk memperbaikinya. Itulah kebodohan Vian.
Erik melihat anak tololnya itu dengan mata menyala. Marah! Bagaimana bisa cucunya yang baik dan menggemaskan itu memiliki Ayah yang tidak punya nyali dan hati seperti Vian. Erik jadi bersyukur Jane merahasiakan kehamilannya waktu itu.
Jika tidak, mungkin perkembangan mental Leo akan terganggu dengan memiliki Ayah seperti Vian.
"Bangun!" Erik menendang kaki anaknya yang berbaribg di lantai kamarnya.
"Hmmm."
"Bangun anak sialan."
Prang.
Erik melempar salah satu botol minuman yang telah kosong ke dinding. Vian kaget dan segera bangun dengan susah payah.
"Kau memang tidak tahu diri! Kau memang tidak pantas bertemu Leo. Anak sebaik itu lebih baik tidak usah pernah tahu ayah kandungnya yang mana." ucap Erik kesal.
"Diam. Papa gak tahu hancurnya aku."
"Lalu Jane? Apa dia tidak hancur? Berjuang sendirian membesarkan Leo tanpa bantuan kita yang seharusnya itu adalah tanggung jawab kita? Pernahkah kamu memikirkan Jane dengan perjuangannya sementara kamu enak-enakan dengan Stevie si p*****r itu? Kau memang tidak perlu bertemu dengan anakmu."
"Memangnya Papa sudah bertemu Leo?"
"Sudah."
Vian segera bangun dan berdiri.
"Kok bisa? Apa Jane memberi ijin juga padaku?"
"Dia Ibu yang cerdas. Dia tidak akan pernah mempertemukanmu dengan Leo jika tidak berubah."
"Apapun. Asalkan aku bisa bertemu dengan Leo. Aku mohon Pa, bantu aku bertemu anakku."
"Berubahlah mulai sekarang! Jangan jadi manusia b******k seperti ini. Yakinkan Jane kalau kau ini pantas bertemu dengan Leo. Tunjukkan penyesalanmu!" Erik memberikan nasihat pada anaknya yang bodoh dan malang itu.
"Apa Jane mau memaafkanku? Setelah semua kesalahanku yang kejam dan menyakitinya? Apa berubah saja cukup?"
"Jangan banyak bicara. Berubahlah. Papa akan membantumu. Bagaimana pun Leo juga berhak bertemu denganmu."
Vian mengepalkan tangannya dan bertekad berubah menjadi ayah yang baik untuk Leo.
.
.
.
.
.
"Bagaimana tadi?" tanya Tante Gina memulai pembicaraan setelah hening lama diruangan tamu dengan Jane dan Raffael.
"Beliau minta aku menunggu perubahan Vian untuk Leo. Beliau memintaku untuk memberikan ijin pada Vian jika dia berhasil berubah."
"Kau mengijinkannya?"
"Ya... Leo tadi mengatakan keinginan terdalamnya. Dia sangat ingin bertemu Papanya."
Raffael malas mendengarkan pembicaraan ini. Dia beranjak masuk ke kamar tamu yang sekarang ditempatinya.
Raffael merasa Jane akan pergi kembali pada Vian bersamaan dengan Leo dalam waktu dekat ini.
Ini menyakitkan.