Hari ini Jane tidak fokus dalam pekerjaannya. Ucapan Leo tadi pagi membuyarkan konsentrasinya. Apa Leo sudah tahu Vian adalah Ayah kandungnya? Apa waktu itu Leo paham pembicaraannya dengan Vian?
Jane merasa buruk sebagai ibu. Dia memaksa anaknya yang berumur 4 tahun memahami kenyataan yang pahit. Ahh! Sial- Leo seharusnya hanya memahami film kartun saja. Bukan hal-hal seperti ini!
"Maaf, aku tidak konsen hari ini." Jane menyerahkan beberapa berkas pada Raffael yang mengkhawatirkan dirinya.
"Ya, aku tahu apa yang terjadi padamu. Tapi jika kau tidak bisa konsen saat ini, lebih baik kau meliburkan diri saja. "
"Tidak, Pak. Saya akan bekerja sebaik mungkin. Sekali lagi maafkan saya."
Jane merasa tidak enak pada Raffael. Walaupun mereka bersahabat tapi profesionalisme tetap harus dijaga. Apalagi Jane menjunjung tinggi kesempurnaan dalam kerjaannya. Dia tidak akan mengijinkan Raffael memberikan kelonggaran untuknya. Dia tidak mau memanfaatkan Raffael yang sudah baik padanya.
"Jane... kamu khawatir soal Leo ya? Tenanglah... Vian tidak tahu alamatku. Kau aman."
"Maaf ya, Raff. Aku mengacaukan pekerjaanku. Sekali lagi, maaf..."
Jane hari ini hampir saja melupakan janji temu Raffael dengan beberapa investor. Jadwal yang disusun rapih olehnya terlupakan begitu saja karena kehadiran Vian. Untung saja Raffael yang peka dengan keadaan Jane melihat sendiri jadwalnya yang tertulis di jurnal pribadinya. Memang sudah kebiasaan bagi Raffael juga menyusun jadwalnya sendiri walaupun ada Jane sebagai sekretarisnya. Manusia kan bisa saja salah, itu alasan Raffael.
"Sudahlah... Santai saja. Ini pertama kalinya kok kamu salah begini. Hehehe."
Jane merasa beruntung memiliki sahabat serta atasan yang pengertian. Kupu-kupu hadir tanpa permisi datang ke dalam hatinya, geli menggelitik.
Apakah Jane mulai jatuh cinta? Sayangnya, Jane belum sadar akan perasaannya sendiri
.
.
.
.
.
Vian sudah berhasil mendapatkan informasi dimana Jane bekerja. Hatinya geram begitu mengetahui Jane bekerja dengan Raffael, pria asing yang dekat dengan anaknya.
Kenapa harus bekerja dengan pria itu?
Vian menunggu kemunculan Jane di depan gedung kantornya. Vian sengaja menunggu di dalam mobil agar Jane tidak lari begitu melihat sosoknya dari kejauhan.
Jane, wanita yang ditunggunya keluar dari gedung perkantorannya bersama dengan Raffael. Begitu akrab dan intens. Vian melihat Jane yang banyak tersenyum ketika berbicara dengan Raffael, sangat berbeda dengan respon terhadap dirinya. Maklum saja, Vian memang sudah melakukan kesalahan fatal.
Begitu Vian melihat Raffael memisahkan diri dari Jane, Vian segera melajukan mobilnya hingga ke lobby gedung perkantoran. Jane terlonjak saat melihat Vian turun dari mobil. Mata Jane menggarang melihat sosok Vian yang dibencinya.
"Jane, bisa kita bicara?" Vian dengan wajah memelas memohon pada ibu anaknya.
Jane mendesis, " Tak ada yang perlu dibicarakan. Pergilah."
"Ini tentang anakku. Kumohon Jane..." Vian sangat memohon.
"Anakmu? Siapa?" Jane melipat tangan didepan dadanya, gestur tubuhnya menandakan pertahanan diri terhadap Vian.
"Leo... Aku sangat yakin dia anakku. Jangan berbohong..."
"Siapa yang berbohong? Vian, pergilah... Aku malas berdebat."
"Aku tidak mau berdebat. Aku mau kita bicarakan baik-baik soal Leo."
"Kau tidak ada hak pada Leo. Aku yang melahirkan sendirian, aku juga yang membesarkannya sendirian, aku yang mengajarinya, aku yang menemaninya saat sakit, aku yang selalu jadi pelindungnya! Aku ibunya! Aku! Aku! Kau tidak pernah ada untukknya selama ini dan Leo juga tidak butuh hadir dirimu!" Mata Jane memanas, ada bening-bening air yang akan turun membasahi pipinya. Jane sekuat tenaga menahan air matanya.
"Kalau dulu kau mengatakan kau hamil, aku tidak akan menceraikanmu!" ucap Vian yang membuat tawa sinis di wajah Jane.
"Lalu apa, Vian? Aku akan begitu saja menerima disakiti olehmu? Karena kehamilanku, kita akan tetap bersama? Lalu kau bebas menyakitiku terus menerus selama hamil? Ingatkah kamu hanya menjadikanku penghangat ranjang dan juga pajangan sebagai seorang istri. Kenapa kau tidak membuat anak saja dengan kekasih rahasiamu itu dan melupakanku serta Leo? Kenapa harus Leo?"
"Karena dia anakku!"
"Buat saja dengan wanita lain di luaran sana! Jangan ganggu aku dan Leo!"
Jane hampir gila meladeni Vian. Perdebatannya dengan Vian menarik perhatian pegawai satu kantornya. Bagus! Vian memang selalu menjadi sumber petaka Jane!
Raffael melihat Vian dari kejauhan, dengan segera Raffael melajukan mobilnya serta mengklakson agar Vian segera menyingkirkan mobilnya yang menghalangi jalan di lobby.
"Hey! Singkirkan mobilmu. Ini jalan umum, bukan jalan milikmu!" Raffael kesal dengan kehadiran Vian. Terlebih lagi si Vian tidak tahu diri asal memarkirkan mobil di lobby kantornya.
"b******k! Bisakah kau lihat aku sedang berbicara?"
PLAK.
Jane menampar Vian. Wanita itu susah habis kesabarannya melihat Vian yang selalu seenaknya sendiri.
"Pergilah. Singkirkan mobilmu. Jangan lagi kamu muncul dan menyakitiku. Kamu tidak akan pernah bertemu Leo untuk kedua kalinya."
.
.
.
.
.
"Mama! Peluk!"
Leo berlari menyambut kepulangan Ibunya dari kantor bersama dengan Raffael. Jane segera menggendong anaknya dan menciumi pipinya yang mungil.
"Uhmmm. Anak Mama ini memang bikin kangen." Jane mengusap kepala Leo. Menciumi puncak kepala anaknya.
"Om ganteng! Halo... Om ganteng toss dulu."
Raffael terkekeh melihat gaya Leo. Disambutnya tangan kecil Leo yang meminta toss darinya.
"Toss apaan ini?" tanya Raffael gemas.
"Kita ini kan satu geng, Om ganteng. Aku jadi ketuanya." penjelasan Leo membuat Jane khawatir.
"Ketua geng? Leo tahu darimana?" tanya Jane hati-hati.
"Tadi Leo lihat ada banyak kakak-kakak kumpul di depan komplek. Mereka toss-tossan, Ma. Katanya mereka itu satu geng. Terus geng itu main bareng. Aku sama om ganteng kan sering main bareng, jadi aku satu geng sama om ganteng." jelas Leo yang membuncah tawa Raffael.
"Leo memang ajaib. Gampang banget belajarnya. Kecil-kecil sudah jadi ketua geng."
Jane dibuat geli namun hadir juga kekhawatiran dalam dirinya. apalagi dia wanita karir dan tidak bisa selalu bersama dengan Leo untuk mengajari berbagai hal yang baik atau tidak. Dalam sekejap, Leo sudah tahu hal beginian.
"Leo sayang... Leo gak boleh jadi ketua geng." ucap Jane lembut.
"Kenapa gak boleh?"
Duh- gimana yah jelasinnya. Jane bingung menjelaskan pada bocah 3 tahun kesayangannya itu. Kalau dia bilang geng itu buruk, itu juga tidak bagus. Jane tahu tidak semua geng itu buruk atau nakal. Ahh... gimana enaknya?
"Leo, kalau kamu jadi ketua geng, kamu gak bisa main polisi-polisian lagi." Raffael membantu menjelaskan.
"Kenapa gak bisa?"
"Soalnya Pak Polisi itu gak bisa jadi 2 ketua. Pak Polisi itu ikut nangkep ketua geng soalnya." Raffael jadi ikutan bingung menjelaskannya.
Masalahnya, Leo ini penasarannya itu tingkat dewa. Hal ini turunan dari si Ibu, Jane yang dulu selalu kepo sama pengetahuan. Ternyata yang dikatakan internet itu benar. Kecerdasan sang anak menurun dari ibunya. Beruntung Leo punya otak sang ibu tapi Jane dibuat pusing juga karena keingintahuan Leo yang besar.
"Ketua geng itu jahat?"
"Gak sih... Cuma bandel. Leo bukan anak bandel kan?"
"Leo anak baik! Leo gak bandel!" tegas Leo. Leo memeluk ibunya, "Leo gak jadi ketua geng. Leo jadi pahlawan Mama saja."
Kini Jane terenyuh mendengar keinginan Leo menjadi pahlawan baginya.
"Ehem, kalian ini sudah seperti keluarga sesungguhnya. Mama jadi terharu..."
Jane dan Raffael menoleh kearah sumber suara dan melihat Tante Gina yang ternyata mengamati mereka sedari tadi.
"Mama ikutan dipeluk dong..."
Lalu Tante Gina ikut berpelukan bersama Leo.
.
.
.
.
.
Jane mengamati wajah tidur anaknya, damai dan penuh senyum. Leo pasti sedang bermimpi indah. Dibelai lembut kepala anaknya yang tengah bermimpi itu, dikecup kening mungilnya dan Jane keluat dari kamar.
Raffael masih berkutat dengan laptopnya di ruang tamu untuk menyelasaikan beberapa pekerjaan. Jane berinisiatif kedapur membuatkan teh manis hangat untuk Raffael yang sibuk.
"Silahkan, Boss..." Jane meletakkan cangkir teh diatas meja. Raffael melihat Jane masih terbangun.
"Belum tidur atau tidak bisa tidur?" tanya Raffael.
"Tidak bisa..." Jane mengambil tempat duduk disamping Raffael dan menyandarkan punggungnya ke tubuh Raffael.
"Berat!!!" ucap Raffael ketika Jane bersandar padanya.
"Hehehe. Sengaja biar kamu berhenti dulu dari kerjaan. Kasihan tuh mata sudah merah."
"Kamu juga." cibir Raffael. "Kamu benar-benar gak akan mempertemukan Vian dengan Leo?"
"Entahlah. Aku bingung. Aku hanya mengikuti Leo maunya apa. Jika anak itu tidak pernah bertanya soal Ayahnya, aku tidak akan mempertemukan mereka lagi." Jane menarik dirinya dari sandaran punggungnya
"Raff... Aku tidak mau dibenci Leo jika aku memaksanya agar tidak menemui ayah kandungnya. Ah!! Aku bingung!"
Raffael mengusap punggung Jane. "Jane... aku akan selalu mendukungmu."
Jane menatap mata Raffael. Seandainya saja dulu dia menikah dengan Raffael, hidupnya tidak akan serumit ini.
"Terima kasih, Raff. Kamu sudah hadir dalam hidupku dan Leo. Aku bersyukur Tuhan mempertemukan kita... Hehehe." Jane tertawa sedih.
"Aku juga... Jane, bolehkah aku jujur padamu?" Raffael menatap Jane begitu intens.
"Soal apa?"
"Ini tentang kita..."